Terik mentari seakan bisa melelehkan seisi bumi. Terangnya membuat siapa pun menunduk. Tak berani menatap langsung sang surya di atas sana. Sedikit pun dedaunan tak menunjukkan gerak. Angin pembawa kesejukan benar-benar hilang. Meninggalkan dataran ini di masa musim panas.
“Ugh…. Biasanya aku minum es cendol depan gang. Habis itu pulangnya mampir beli sayur tempak Cik Nani.”
“Hmm, kangen makan nasi. Tiap hari kalau nggak roti ya daging. Kalau nggak olahan kentang. Hais! Masalahnya lidah ku Indonesia banget. Belum kenyang kalau belum makan nasi.”
Bunyi ketukan pintu terdengar. Tanpa menoleh Ziya mempersilahkan siapa pun itu masuk.
“Nyonya, saya membawa lemon tea dan beberapa biscuit. Terik begini biasanya Nyonya minum lemon tea,” ucap sumringah Rahel, pelayannya.
“Hah, Mau judulnya lemon tea atau jengkol tea. Kalau tidak ada esnya sama aja. Badan ku tetep gerah.”
“Jengkol?” gumam Rahel. Terpantau ia memikirkan secara mendalam kata asing itu.
“Di sini tidak ada yang jualan es cendol ya? Ah tidak! Menemukan es balok saja sudah untung.”
Rasanya pesimis, di dunia yang serba ‘zaman dulu’ ini mungkin Ziya tidak akan menemukan kecanggihan teknologi. Seperti kulkas yang bisa menghasilkan es.
“Apa yang dimaksud Nyonya es balok untuk mengawetkan ikan?”
Spontan Ziya menoleh. “Hm? Memang ada yang begitu?”
“Ada Nyonya. Pabrik pembuatan es balok terletak di semenanjung Karapan. Itu adalah satu-satunya pabrik es balok di Negara kita.” Mata Ziya berbinar-binar. Ia menggenggam tangan Rahel erat seraya berkata, “Sumpah? Kau tidak bohong kan?”
Akhirnya Ziya punya harapan. Setidaknya masalah dahaga ini terselesaikan. Kalau ada pabriknya pasti ada distribusi. Ziya hanya perlu ke pasar dan membelinya.
“Aku tidak bohong Nyonya. Di sana memang ada pabrik es balok.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi! Ayo ke pasar!” sahut Ziya semangat. Yah, setidaknya harapan itu masih ada sebelum kandas oleh pernyataan begini, “Di pasar tidak ada es balok, Nyonya. Hanya ada di semenanjung Karapan. Emh… perjalanan dari sini ke sana dua hari pakai kereta. Itu pun kalau tidak ada badai di jalan.”
“Du-dua hari?”
“Hum! Memang untuk apa Nyonya membutuhkan es balok?”
“Tentu untuk diminum!” pekik Ziya jengah. Bisa-bisanya hal seperti itu saja ditanyakan.
“Eh? I-itu kan tidak layak. Es balok hanya digunakan untuk mengawetkan ikan. Itu sebabnya letaknya di dekat pesisir pantai. Sebab banyak nelayan yang membutuhkan agar ikan segar dapat terdistribusi dengan aman.” Lagi-lagi Rahel memperlihatkan pose berpikir mendalam. “Aku tidak pernah mendengar es balok jadi sajian di kalangan bangsawan. Nyonya mendengar itu dari mana?”
Detik itu juga semangat Ziya menguap bersamaan dengan panasnya mentari. Hah, ternyata susah juga hidup di sini.
Butuh waktu dua hari untuk Ziya membulatkan tekad. Ia harus ke pabrik es balok itu. Jika tidak, hawa panas ini akan membunuh mental dan fisiknya secara perlahan.
Ayolah, tubuh ini memang milik Lilyana. Tapi jiwanya milik Ziya yang hidup hanya di dua iklim saja. Itu pun Ziya akan cosplay menjadi vampire jika musim kemarau tiba. Tidak melakukan banyak aktivitas di luar. Kecuali disuruh bimbingan oleh dosennya.
Gini-gini juga Ziya masih pingin lulus tau! Yah, tapi sekarang tidak perlu repot-repot mengurusi skripsi. Ziya bebas. Tanpa melakukan apapun dirinya sudah mendapat gelar. Gelar bangsawan malah! Tapi kok agak nyesel juga ya? Ziya tidak dapat menikmati kecanggihan teknologi di era modern.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUKE! Let's Have Babies! (END)
FantastikKalau orang lain tidak terima setelah terlempar ke dunia novel. Berbeda dengam Ziya. Dengan lantang ia mendeklarasikan amat sangat berminat. Kenapa? Jelas kan karena Ziya ingin bertemu dengan second male lead impiannya. Namun alih-alih sesuai hara...