Chapter : 14

1.1K 74 1
                                    

[•••]

Semua orang terdiam setelah suara yang begitu keras terdengar. Seorang siswi terlihat terengah-engah dengan baskom yang tergenggam erat di kedua tangannya.

Dia Lusi, cewek itu lantas berlari menuju keributan setelah mendapat kabar dari salah seorang teman seangkatannya mengenai kondisi Dera saat ini.

Tiba di pintu kantin ia berbalik. "Mbak Ina, pinjem 'senjata'." pinta Lusi dengan napas yang tak beraturan. Di matanya terpancar kekhawatiran.

"Senjata apa? Dan buat apa?" tanya Mbak Ina heran. Ia melepas centong sayur yang semula ia pegang. "Ya buat senjata lah." jawab Lusi sewot.

Mbak Ina sibuk mencari 'senjata' yang dimaksud siswi di depan stannya ini. Di tengah-tengah itu, sebuah suara terdengar.

"Centong sayurnya mbak tadi aja." seru Lusi ketika ikut membantu mencari dan matanya tertuju pada centong itu.

"Eh, jangan!" Mbak Ina buru-buru mencengkeram gagang centong sayurnya. "Nanti saya pakai apa kalau kamu pinjam?"

"Ya apa aja nanti, ini itu urjen, Mbak!" desak Lusi. Kakinya sudah tak sabar untuk berlari lagi.

Mbak Ina menatap sekelilingnya. Tak lama matanya berbinar, senyumnya mengembang. "Ini aja!" usulnya mengangkat sebuah baskom alumunium berukuran sedang. Ia menyodorkan benda itu pada Lusi.

Lusi menatap benda di tangannya lalu menatap Mbak Ina dengan tatapan tak percaya. "Ini?" Mbak Ina mengangguk.

"Multifungsi itu. Udah sana!" Mbak Ina lebih dulu menjelaskan sebelum Lusi protes dan diakhiri dengan usiran. Padahal itu penjelasan yang sangat tidak jelas.

Sembari berjalan mundur Lusi menatap baskom dan Mbak Ina bergantian. Ia masih tak tahu apa yang bisa digunakan oleh benda yang mampu memantulkan dirinya itu nanti.

Dapat!

Cewek bermata amber itu tersenyum lebar menatap Mbak Ina yang sudah tak melihatnya. Lusi masa bodo, akhirnya ia menemukan cara itu.

Segera cewek itu berbalik dan berlari sekencang yang ia bisa.

"JANGAN SAMPAI LECET!!"

Di depan sana terdapat kerumunan. Meski tak riuh seperti 'biasanya', suara bisik-bisik itu mencapai gendang telinga Lusi di jarak lima meter.

Ia memelankan laju kakinya. Perlahan kerumunan itu terbelah oleh Lusi, tak seperti saat Dera yang melakukannya.

Lusi tiba di depan lingkaran kerumunan, di depannya berjarak tiga meter, Dera tengah duduk setengah terlentang dengan siku kirinya sebagai tumpuan. Sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menggenggam erat tangan kiri di depannya.

Cowok di depan Dera, Lusi kenal wajahnya namun tidak dengan namanya. Rambut hitam yang sedikit panjang cukup untuk menutupi seluruh wajahnya dari sudut Lusi.

Dari tubuhnya terlihat atletis, terlihat sering berolahraga.

Cewek dengan baskom di tangan kirinya itu menatap sekitar. Alisnya mengerut, matanya menelisik aneh. Ini nggak ada yang mau nolongin?

Tak ia sangka salah seorang dari kerumunan itu adalah pasangan kencan butanya waktu itu. Lusi semakin merasa aneh. Tidakkah cowok itu, siapa namanya? Varo? Var- Varon! Iya, itu namanya. -merasa harus melakukan sesuatu?

Melihat kekerasan di depan mata cowok itu malah bersedekah dada dan tertawa ringan dengan (mungkin) temannya yang lain.

Lusi terkekeh sinis. Tak salah jika dirinya menolak meski itu tetap terjadi. Namun, keberuntungan masih berada di pihaknya. Akhir dari kencan itu, ia sungguh puas.

Selain karena cowok itu ternyata satu sekolah dengannya, juga ternyata cowok itu tak memiliki belas kasihan. Lihatlah Dera-

Tunggu! Dera! Lusi melupakannya!

Dengan amarah yang siapa meledak, cewek itu berjalan mendekat. Beberapa orang yang menyadari kehadirannya menatap heran dan was-was. Mau apa cewek itu?

Siap sedia, Lusi memukul kepala cowok itu, Leon di sisi kirinya atau tepatnya di sekitar telinga. Akibatnya cowok itu tersungkur ke arah kanan.

Hantaman Lusi begitu keras atau mungkin telinganya mendengung sekarang.

"Lusi..." gumam Dera tak percaya. Ia menatap tak percaya, cewek itu datang sebagai penyelamatnya.

Yang disebut namanya menoleh dan memberikan senyum simpul. Setelah memastikan cowok tadi tak ada tanda-tanda mendekat, Lusi menghampiri Dera.

Dera tersenyum dan memeluk Lusi singkat sebelum dilepas paksa oleh sang empu. "Ayo bangun dulu, pelukannya nanti aja." bisiknya. Masih ada sisa kekhawatiran di nada bicaranya.

Setelah mengangguk Dera bangkit, sebelum itu ia meraih sesuatu yang tak jauh dari dirinya.

Dengan dipapah Lusi Dera berjalan keluar dari kerumunan. Asli, orang-orang itu hanya menonton saja. Dimana rasa kemanusiaan mereka?

Jangan tanyakan lagi suasana di sana setelah Lusi melayangkan hantamannya. Ada yang menjerit, berteriak mendukung, ada juga yang protes. Semakin bertambah ricuh dan keras suara mereka.

Sudah pindah gedung pun masih terdengar. Heran, ruang guru tak jauh, tapi anehnya tak ada yang datang satupun.

[•••]

Varon tersentak dan menoleh kaget setelah suara hantaman menggema. Ia tak begitu memperhatikan karena sedang menatap kebelakang menyahuti perkataan salah seorang temannya.

Di sana berdiri seorang siswi dengan baskom di tangannya serta napasnya berhembus berat. Dari wajahnya tersirat sebuah amarah.

Sekilas Varon menyadari. Cewek itu yang tempo hari kan? Yang kencan buta dengannya. Iya, benar. Untuk apa ia di sini? Lalu apa di tangannya itu? Baskom?

"Ada apa-ada apa?" tanyanya menuntut jawaban segera. Gio yang berada di belakang Kaisan, orang yang Varon tanyai, menyahut, "Leon dihantam baskom."

Varon masih bingung dengan semua ini. Ia menatap sekelilingnya linglung. Di tengah sana Rion dan Candra sudah menghampiri Leon yang menggeram kesakitan.

"Le, jangan mati dulu ya?!" seru Rion panik.

"Bajingan." gumam Candra mengumpat. "BANTUIN WOI!! DIEM AJA!!" teriaknya.

Ia marah karena tak ada yang bergerak membantu. Malah ada yang meringsut mundur. Ada beberapa yang menggeleng pelan.

Dengan asal Kaisan mendorong seseorang siswa di dekatnya. "Lo, panggil petugas UKS! Cepet, sialan!"

Leon menggeram lebih parah lagi. Tubuh atletisnya yang tergeletak itu meringkuk selayaknya bayi dalam kandungan.

Dengan kedua tangan menutup rapat telinganya, cowok itu masih terus mengerang kesakitan.

Dalam sekejap Leon berbalik selayaknya posisi sujud. Namun, tangannya bergerak menjambak rambutnya sendiri, erangannya semakin keras. Sesekali cowok itu membenturkan kepalanya pada lantai keramik di bawahnya.

Tak ada kata atau bahkan kalimat satupun yang keluar, hanya erangan dan geraman. Jangan lupakan, ia memiliki luka baku hantam juga tadi.

"Can, San, kalian gotong ini si Leon!" perintah Rion.

"Gio aja." ucap Kaisan menolak.

"Nanggung, mending langsung rumah sakit aja." saran Gio.

"Ya ini diangkat dulu, anjing! Lagi pula gue nggak ngomong buat dibawa ke UKS kok!"

Akhirnya Candra, selaku yang berbadan paling besar diantara mereka bergerak mendekat Leon. Diikuti Kaisan dan Varon.

Karena Leon masih sadar walaupun sudah lemas, cowok itu hanya di papah oleh Candra di sebelah kiri dan Gio di sebelahnya lagi.

Sebelum pergi Rion berucap, "Awas lo semua!" ancamnya sembari menggerakkan jari telunjuknya pada semua orang yang tersisa di sana.

[•••]

Behind the Script [Upload Ulang]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang