Sesuai janji, Mrs. Riney pun menjemput Aisha di hall. Mrs. Riney langsung mengambil tas Aisha dan menggandengnya menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, Mrs. Riney kembali menjelaskan jadwal kegiatan Aisha sehabis pulang sekolah.
"Bagaimana sekolahnya tadi?" tanya Mrs. Riney. Sebenarnya perempuan itu tidak penasaran, hanya saja ia harus melampirkan laporan mengenai perkembangan Aisha melalui laporan mingguan yang harus dikirimkannya pada Bapak Tua yang menjadi bosnya.
"Sangat seru! Aisha mendapatkan banyak sekali teman. Ada yang mengajak Aisha ke kantin. Mereka baik-baik sekali..." seru Aisha kegirangan. Mrs. Riney yang melihat ekspresi senang Aisha berusaha mengontrol ekspresi bahagianya juga.
"Bagaimana dengan pelajarannya?" tanya Mrs. Riney lagi. Aisha yang langsung ditanyakan bagaiamana pelajarannya hanya bisa diam membisu. Mrs. Riney yang paham dengan sikap Aisha pun tersenyum kecil.
"Nanti akan ada mata pelajaran tambahan berupa kursus bahasa Inggris di rumah. Guru yang mengajarkannya merupakan guru terbaik, jadi Aisha tak perlu sungkan. Kamu hanya perlu belajar dengan baik." jelas Mrs. Riney kemudian. Aisha yang mendengar pernyataan itupun melunak.
Aisha terdiam. Ia bertanya-tanya. Apakah sungguh boleh ia mendapatkan semua fasilitas ini?
Gadis cilik itu menunduk sambil memilin jarinya. Apa ia akan dipukuli jika menolak semua pemberian ini?
"Ta-tapi... apa aku boleh nerima ini? Aku enggak akan dipukuli 'kan kalau enggak bisa? Kenapa aku boleh nerima semua ini?" tanya Aisha. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut mungilnya. Sontak ia pun menutup mulutnya ketika sadar ia berbicara selantang itu.
Mrs. Riney yang pernah ada di posisi Aisha pun tersenyum lembut. Ia mengelus pucuk rambut Aisha perlahan. Awalnya Aisha menutup matanya erat-erat, takut dipukuli. Nyatanya Mrs. Riney hanya mencoba membuatnya tenang.
"Ya. Kamu boleh nerima semua ini. Tahu Bapak Tua kemarin yang bawa kamu? Dia yang menyuruh saya melakukan ini semua. Dan, tidak akan ada yang bisa menyakitimu selama Bapak naungin kamu, oke?" jelas Mrs. Riney runut. Aisha mengangguk.
"Tapi, kenapa Bapak itu begitu baik?" tanyanya lagi. Mrs. Riney tersenyum simpul.
"Kamu akan tahu jawabannya ketika kamu dewasa. Sekarang, kamu hanya harus belajar dengan tekun, ya?" pernyataan Mrs. Riney sukses membuat Aisha bingung. Karena tidak terlalu mengerti dengan pernyataan Mrs. Riney, Aisha pun hanya bisa terdiam.
Sesampainya di rumah, Aisha pun mandi kemudian berganti pakaian. Makanan telah disiapkan oleh pelayan lainnya yang tinggal di rumah megah ini. Selesai makan, Aisha pun berjalan-jalan di taman belakang sembari menunggu guru kursus Bahasa Inggrisnya yang akan datang tak lama lagi.
Sejujurnya, Aisha sangat bingung dengan keadaan ini. Tidak ada orang yang sebaik Bapak. Orang tuanya saja tak segan-segan memukulinya hingga hampir mati. Namun, mengapa orang yang bahkan tidak dikenalnya sudi menanggungnya?
Mereka hanya bertemu di rumah kardus itu. Apa Bapak iba melihat ada seorang gadis dengan tubuh ringkih babak belur dimana-mana sehingga memutuskan untuk membawanya saja?
Bagaimana dengan ibu? Apa ibu menganggap kalau putrinya sudah mati karena dipukuli bapak?
Kasihan ibu. Pikir gadis cilik itu.
Apa ibu sedang mencariku? Pikirnya lagi.
Namun, waktu sebentar lagi telah menunjukkan pukul setengah empat. Guru itu sebentar lagi akan sampai. Apa ia harus keluar dari rumah ini dulu lalu memberitahu ibu kalau dia tidak kenapa-kenapa?
Tapi... ia 'kan tidak tahu jalan menuju ke rumahnya.
Gadis itu harus bagaimana?
Setelah itu, guru yang akan mengajarkannya bahasa Inggris pun datang. Ia menyalimi guru itu dan duduk di samping guru itu di sofa. Aisha di damping oleh Mrs. Riney. Karena alat tulisnya telah disiapkan sedari tadi oleh Mrs. Riney, pembelajaran pun dimulai sehingga mengaburkan pikiran Aisha untuk keluar sejenak dari rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
Fiksi RemajaAisha, gadis miskin yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung memiliki berjuta mimpi. Awalnya ia tidak pernah bermimpi, toh... apa gunanya bermimpi baginya? Tapi karena pengalaman hidup yang pahit dan ia terus dituntut untuk hidup. Ia memutuskan harus...