Bab 3 - Sira & Keluarga Mafia (Part 2)

4 0 0
                                    

Sesampainya di rumah, Sira mencari Mrs. Riney untuk ditanyai beberapa hal. Ia sungguh kalut dan takut jikalau ada teman masa kecilnya yang mengenali dirinya.

"Riney, riney!" serunya sesampai di rumah. Riney yang mendengarkan seruan itu segera berlari ke ruang tengah.

"Ada apa, nona?" tanya Riney santai. Ia bisa melihat kekalutan bertengger di wajah Sira.

Ia mengatur napasnya sejenak, lalu kembali berujar, "Riney. Aku mau bertanya. Apa ada dari masa laluku yang mengenali diriku saat ini?" tanya Sira serius.

Riney berpikir sejenak. "Seharusnya tidak ada. Orang-orang dari masa lalumu sungguh sedikit dan kebanyakan dari mereka sudah diusir secara terorganisir untuk mengecilkan peluang kau dikenali oleh khalayak ramai. Setidaknya, mungkin hanya satu atau dua orang yang dapat mengingat persis rupamu saat ini." jawab Riney detail. Namun, jawaban yang didapatnya tidak membuatnya puas.

Sira melakukan tindakan operasi perubahan wajah untuk membuatnya sukar dikenali. Meski prosedur yang digunakan hanya memakai sedikit tindakan, harusnya tak ada orang yang dapat mengenalinya secara seratus persen. Namun lelaki itu adalah pengecualian.

"Tapi, Sira. Mengapa kau takut sekali dikenali? Bukankah kau tidak melakukan kesalahan apapun?" tanya Riney. Pertanyaan itu jelas sekali menyentil nurani Sira.

Gadis itu menjadi gugup. Ia jatuh dan menangis tersedu-sedu. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya bersamaan. Airmatanya meluruh seketika.

"Ya. Memang. Namun sebagian memori itu kadang menghantuiku. Aku dapat dengan mudah mengenali tatapan orang yang berusaha memecundangiku dengan mata telanjang mereka. Aku, aku... Aku takut. Aku takut dan benci jenis tatapan semacam itu..."

"Dimana mereka di saat aku butuh pertolongan? Dimana mereka saat aku nyaris sekarat? Mengapa mereka diam saja ketika aku dipukuli?"

"Mereka bilang itu masalah rumah tangga. Mereka bilang aku pantas dipukuli karena aku tidak menuruti perkataan ayah selaku kepala keluarga. Ia haus kata-kata hormat, bahkan ia dengan ganas memukuli ibu agar aku tak dipukuli. Kakak-kakakku yang sama lemahnya dengan ibu hanya diam membiarkanku dipukuli hingga terdiam bersamaan dengan redanya tangisanku."

"Ba... bahkan... sialnya ia tak pantas dihormati! Lagaknya dengan tengil memecundangi anaknya yang lagi lemah nan nestapa. Ia dengan ego besarnya merasa pantas dihormati hanya karena ia orangtua! Padahal ia hanya seonggok daging dengan nyawa tak berharga. Ia pantas membusuk di penjara!"

"Bodohnya, sungguh tak ada hal apapun yang pantas dibanggakan oleh orangtua pengecut semacamnya. Namun, mengapa ibu sangat mencintai ayah seolah ibu akan menyembah dia layaknya dewa selamanya?" cerocos Sira. Akhirnya, setelah Riney memeluknya dan membiarkan gadis itu berbicara sesuka hati, ia beringsut sadar. Pasti gadis itu telah menyimpan banyak luka dan emosi terpendam sejak ia keluar dari neraka itu.

Pandangan gadis itu tak stabil. Air mata masih bercucuran dan hembusan napasnya masih tak beraturan. Aih, sial. Ia sudah kelewat batas.

Salah satu perjanjian yang ia buat pada dirinya sendiri yakni membatasi emosinya. Kepalang bukan bajingan trauma ini, menyusahkan saja.

"Ri, riney. Maafkan aku. Aku pasti sudah kelewat batas, ya?" ungkapnya. Riney yang ditanyai hanya menggeleng.

"Tidak. Keluarkan saja. Keluarkan semuanya. Kau sudah menanggung beban berat selama ini. Sejak kapan kau memendamnya agar tak keluar? Kau merasa tidak enak pada Bapak jika terus-terusan bersikap lemah, ya?"

"Sira, Bapak memang laki-laki. Tapi Bapak bersikap jauh lebih hangat dan lebih mengutarakan emosinya dulu sewaktu muda. Hanya saja seiring berjalannya waktu, Bapak semakin minim menunjukkan emosi karena Bapak semakin renta."

"Tak apa, Sira. Keluarkan saja emosimu. Oh ya, mengenai orang-orang yang dengan kemungkinan mengenalimu itu minim. Kau tak perlu khawatir. Apakah orang itu suspek orang yang mungkin mengganggu ketentraman hidupmu? Tidak, bukan? Kalau iya, bukankah kita bisa dengan mudah melenyapkannya?" hibur Riney. Sira menggeleng.

Sebenarnya ia masih ragu, akankah orang dengan kemungkinan itu akan mengganggu ketentraman hidupnya? Namun, jika nyatanya dengan adanya kehadiran orang itu dapat membantu pengelolaan jiwanya, bukankah orang itu akan berguna untuknya?

Semoga saja orang itu bisa membantunya sesuai dengan dugaan awal yang sudah ia rencanakan.

Semoga.

.

.

Enjoy!

Sorry for late update, hope you enjoy this chap!

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang