Bab 2 - Keinginan Untuk Pulang (Part 2)

5 0 0
                                    

ENAM TAHUN KEMUDIAN

Suara keras dan erangan kesakitan memenuhi ruangan kala itu. Gadis itu sudah semakin kuat dan lincah. Selain kuat, gadis itu juga semakin pintar.

Ia diterima di salah satu sekolah menengah atas internasional bergengsi di Jakarta. Selain pesaingnya yang banyak, biaya masuk kesana juga tidak murah. Minimal ia harus mengeluarkan kocek seharga ratusan juta hanya untuk membayar iuran semester di sekolah itu.

SMA Raffles International Boulevard merupakan sekolah berstandar internasional level tinggi yang hanya menerima murid kaya sekaligus pintar. Pintar saja tidak cukup, siapapun yang masuk ke sana juga harus berprestasi.

Aisha, gadis itu sudah tumbuh dengan baik. Ia kini sedang menghadiri sesi latihan beladirinya terakhir minggu ini. Hari ini dia sudah mendapat kenaikan sabuk.

"Yaudah gue pulang dulu, dah." pamitnya pada teman seperguruan dan keluarganya itu. Meskipun diselamati, raut wajahnya seolah seperti tidak senang.

Sesaat memasuki mobil, sang supir menyelamati Aisha juga. Gadis itu lagi-lagi hanya tersenyum tipis.

"Selamat neng Aisha atas kenaikan sabuk dan sekolah barunya. Sekarang mau kemana, neng?" tanya pak Kos, sang supir yang telah menjadi supirnya selama enam tahun setelah ia bergabung di keluarga ini.

"Mau ke markas 001, Pak." ujar Aisha singkat. Si supir mengangguk patuh.

Jikalau Aisha sudah berkata singkat, tak ada siapapun yang berani menjawab dengan celetukan panjang. Walaupun ia perempuan, Aisha merupakan gadis yang irit sekali berbicara, berbeda jauh sekali dengan imagenya sekitar enam tahun yang lalu.

Tak butuh waktu lama, ia pun sampai ke tempat yang ia maksud. Ia memperhatikan dari kaca mobil rumah yang ditempatinya dulu.

Rumah itu sudah banyak berubah. Karena ada kebijakan untuk menggusur tempat yang tak layak huni menjadi tempat tinggal, beberapa tetangga yang ia tahu sempat bersinggungan dengan rumahnya dahulu pun pindah dan hanya menyisakan beberapa petak rumah.

Ia melihat ada seorang ibu yang tengah termenung lesu tengah melihat pemandangan jalan yang padat akan kendaraan.

Tatapannya seperti tengah menunggu anaknya kembali dari kubur.

Ya, ibu itu adalah ibu sang gadis itu. "Keluarga" barunya memalsukan kematiannya agar ayah kandungnya yang keparat itu lekas dipenjara.

Bayangkan saja, sudah berapa banyak orang menderita karena ayah sialannya itu hidup?

Tetangga yang selalu ia ajak ribut, anak-anak yang selalu ia pukuli hingga nyaris mati. Belum lagi pencurian berulang yang selalu ia lakukan.

Keparat satu itu, pantaskah disebut ayah? Sudah banyak menumpahkan sperma pada rahim ibunya, tidak bertanggungjawab pula. "Rezeki sudah diatur," demikian pula katanya. Bajingan, kau saja tidak bisa secara penuh bertanggungjawab atas kehidupan orang lain, namun berani-beraninya kau menumpahkan cairan hina lagi menjijikkan pada seorang wanita mulia yang terlalu naif memandang dunia?

Bajingan. Sungguh bajingan.

Setelah agak lama memandangi ibunya, ia pun memutuskan untuk pergi. Dibalik deru mobil itu, masih terbesit pertanyaan yang ingin ia curahkan pada ibunya itu.

Apakah ia tidak membenci ayah? Gadis itu sama sekali tak pernah membenci ibunya, bahkan ia amat sangat menyayangi ibunya itu. Ibunya seperti pelita untuknya. Di malam yang gelap lagi dingin, tangan ibunya itu selalu sigap membelainya agar tak kedinginan.

Ibu, tak bisakah kau membenci ayah atas kehidupanmu yang telah secara percuma ia rusak? Tak bisakah kau membenci ayah?

Karena tak ingin menjatuhkan tangisannya secara percuma, ia memutuskan untuk menafikkan perasaannya dan kembali merencanakan kegiatan bulanan perusahaan untuk menambah pemasukan keuangan keluarga barunya itu.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang