SUDAH hampir tiga tahun lamanya Sira berjuang perihal insomnianya. Bukannya semakin membaik, dari tahun ke tahun justru insomnianya kian memburuk.
Saat ini ia sedang berada di kantin bersama Kieva. Walaupun sempat ada yang mengganjal di hatinya perihal sikapnya yang kadang membuatnya tak nyaman, ia membiarkan perasaan itu dan mencoba untuk memahami Kieva lebih dalam.
"Apa menurut kamu aku harus ke psikolog?" tanya Sira. Ia memberanikan diri untuk menceritakan hal ini yang telah dialaminya beberapa tahun belakangan.
Kieva menenggak botol mineralnya dan mengangguk kemudian kembali melanjutkan makan siangnya, "Coba aja. Aku saranin begitu. Kadang... mungkin kita udah tau permasalahan kita, tapi enggak semua orang bisa solve itu, 'kan?" tanya Kieva kembali. Ia berusaha untuk memberikan perspektif baru untuk teman masa kecilnya itu.
Sira terdiam agak lama lalu mengangguk. Sepertinya ia akan mencoba saran yang diberikan oleh Kieva.
****
Sepulang sekolah, Sira memutuskan untuk segera membuat janji temu dengan psikolog yang akan menanganinya. Tadi setelah makan siang, Sira menghubungi Pak Kos untuk membooking psikolog lewat aplikasi kesehatan.
"Nanti ketemuan dimana, Pak?" tanya Sira setelah supirnya itu menjemputnya.
"Di Klinik Dahlia, Neng." jawab Pak Kos. Dari spion, terlihat gurat wajah khawatir Pak Kos. Sira yang melihat itu langsung tersenyum simpul.
"Pak Kos jangan terlalu khawatir, ya? Aku cuma pemeriksaan biasa, kok." hibur Sira. Sejak kapan Sira punya kemampuan untuk menghibur orang lain?
Sejenak gurat wajah Pak Kos melunak. Sepertinya beliau lega ketika Sira mengatakan hal demikian.
Di tengah perjalanan, suara Pak Kos memecah keheningan. Ia sebenarnya masih sedikit mengkhawatirkan Sira.
"Sakit ya, Neng?" Pak Kos memastikan. Sira terdiam sejenak.
Kemudian ia pun menarik lengkungan senyumnya sedikit seraya berujar, "Kayanya makin parah, Pak. Aku tidur sering ngelindur." jelas Sira jujur. Pak Kos pun mengangguk paham.
"Maaf ya neng bapak enggak bisa bantu apa-apa." ucap Pak Kos kemudian.
"Enggak, kok. Bapak ngebantu aku selama ini. Aku lumayan sering cerita ke Bapak, kan? Cuma kali ini kayanya trauma aku bener-bener harus disembuhin. Aku enggak mau menderita lagi." ujar Sira jujur. Dari balik spion, seperti ada gurat kebanggaan yang terpancar dari wajah Pak Kos. Pak Kos sepertinya amat bangga pada Sira karena gadis itu telah berkembang menjadi sebaik ini walaupun trauma masih membayangi dirinya.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke klinik yang dituju. Sira membuka pintu klinik itu dan ia disambut oleh frontliner klinik tersebut.
Setelah mencocokkan data diri dan janji temu, akhirnya Sira beranjak dari tempat itu menuju ruangan psikolog itu berada. Ia disambut baik oleh kakak psikolog itu.
Mulai hari ini, sesi terapi Sira dimulai.
****
"Gimana?" tanya Kieva sewaktu menghampiri Sira di kelasnya. Sira menimbang sebentar.
"Udah lumayan lega, sih. Karena baru sesi pertama, psikolognya nyaranin aku buat cerita dulu." tukas Sira kemudian. Kieva yang mendengar kabar itupun mengangguk takzim.
Kieva sedikit lega karena gadis itu mulai membuka diri untuknya. Hal itu terlihat karena Sira sudah mau jujur tentang apa yang dirinya rasakan.
Setibanya di kantin, Kieva langsung menanyakan aktivitas Sira sepulang sekolah nanti.
"Biasa. Bela diri. Nanti kamu duluan aja, aku pulang dijemput pak Kos." ujar Sira menjelaskan. Keva yang mendengarnya sedikit kecewa.
"Kayanya kamu sibuk banget, deh. Akhir-akhir ini langsung pulang terus." Kieva merengut. Sira yang mendengarnya langsung terhenyak.
Oke. Sira harus menegaskan ini.
"Sebelum kita ketemu, rutinitas aku emang begini. Asal kamu tau, aku bahkan sempet ngeremove beberapa jadwal karena luangin waktu buat kamu. So, please—" jelas Sira kemudian. Kieva terdiam agak lama, kemudian anak laki-laki itu mengangguk.
"—Oke." tukasnya.
****
Sepulang sekolah, ia berdiam diri sebentar di mobilnya sembari menunggu Pak Kos yang tengah menerima informasi perihal ayah Sira yang mendekam di penjara. Ia ingin mengetahui kelanjutan soal berkas perceraian orangtuanya yang sudah ditandatangani oleh ibunya.
"Gimana, Pak?" tanya Sira saat Pak Kos memasuki kemudi mobil.
Pak Kos menoleh ke arah Sira dan berujar, "Bapak eneng marah-marah pas di sel, tadi. Karena bapak tahu yang ngasih berkas itu tetangga lama eneng, dia minta penjelasan kenapa ibu mau minta cerai." jelas Pak Kos. Sira masih menyimak lanjutan cerita dari Pak Kos.
"Informannya bilang, ibu udah lelah banget sama bapak. Mana sekarang cuma ibuk yang ngehidupin Razka sama Nindy. Wajar ibuk minta cerai. Belum lagi perihal kematian eneng yang bikin ibuk sedih tiap malem." ujar Pak Kos lagi. Sira menghela napas pendek.
"Bapak tadi keliatan sedih si neng, matanya berkaca-kaca pas nandatanganin berkasnya. Tapi ya mau gimana lagi? Kalo bebas nanti pun emang bapak bisa langsung kembali ke ibuk? Ibuk juga udah bisa hidup sendiri tanpa bapak." tutur Pak Kos lagi. Sira jadi penasaran perihal ibunya yang akhirnya mau menandatangani berkas perceraian itu.
"Ibuk jadi mau nandatanganin kenapa, Pak?" tanya Sira.
Pak Kos terdiam sebentar lalu kembali berkata, "Si informannya bilang kalo kehidupan ibuk akan terjamin selepas bercerai nanti. Bapak suruh si informan bilang aja bakal ada yang nafkahin ibuk. Itu juga neng yang minta, kan?" jelas Pak Kos kembali. Sira mengangguk.
Jadi, inti permasalahan dulu kenapa ibu tidak mau bercerai karena itu, ya?
Baiklah, Sira mengerti.
Kemudian ia menarik napas lega. Akhirnya, penderitaan ibunya berakhir karena sudah lepas dari ayahnya.
Sira pun memutuskan untuk segera ke sasana untuk melanjutkan latihan rutin bela dirinya.
.
.
.
Aku update lagi! Sorry for late update. Hope u enjoy this chap!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
Teen FictionAisha, gadis miskin yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung memiliki berjuta mimpi. Awalnya ia tidak pernah bermimpi, toh... apa gunanya bermimpi baginya? Tapi karena pengalaman hidup yang pahit dan ia terus dituntut untuk hidup. Ia memutuskan harus...