SEPULANG sekolah, Sira kembali mengunjungi psikolognya. Hari ini pun bertepatan dengan hari dimana ia harus melakukan kontrol lanjutan.
"Jadi gimana hari ini?" tanya Kak Nata, psikolog yang menangani Sira.
"Semua berjalan normal, tapi..."
Kak Nata menaikkan kedua alisnya, menunggu Sira melengkapi kalimatnya.
"—Aku ngerasa sesek di dalem. Jadi, beberapa hari yang lalu... aku lagi nyaman banget denger suara azan. Entah—dua hari atau tiga hari? Aku yang semula ada kegiatan rutin, aku skip karena nunggu suara itu."
"Apa aku ngerasa rindu, ya?" tanya Sira kembali bertanya. Kak Nata memahami perasaan yang dirasakan oleh Sira. Namun, karena ia adalah psikolog, seorang psikolog harus bersikap netral dan tidak boleh terbawa secara empati akan penderitaan yang dirasakan oleh pasiennya.
"Aku jawab, ya?"
Sira mengangguk.
"Alesan kamu memberanikan diri ke psikolog karena kamu ngerasa ada yang enggak beres sama diri kamu, betul?" tanya kak Nata. Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kepala oleh Sira.
"Kadang, memang ada perasaan yang kaya gitu. Itu wajar dan apa yang kamu rasakan sekarang itu valid,"
"Sira, sebelum kita mempersiapkan diri bertemuNya, adakalanya memperbaiki diri karena merasa 'berantakan', adalah jawaban yang paling benar sebelum memulai pertemuan paling suci ketika kita sempat ngerasa jauh dariNya. Inget ya, Sira. Jawaban ketika kita ngerasa jauh sama tuhan kadang bukan cuman banyakin ibadah aja, bukan itu yang terpenting, justru, memperbaiki isi kepala bisa jadi jawaban yang kamu butuhin sekarang. Karena dengan memperbaiki isi kepala, bukankah perilaku juga dapat menyusul setelahnya?" ucap kak Nata.
Sira terdiam sebentar. Setelah itu ia mengangguk senang karena setuju dengan apa yang dikatakan oleh psikolognya itu.
Bukankah memang demikian? Banyak orang-orang religius yang mengatakan, "Kalau jauh dari tuhan, perbanyak ibadah." Itu bukan jawaban yang salah, tentunya. Namun, barangkali dari banyaknya jawaban, bukan itu yang paling kita butuhkan.
Bagaimana ingin khusyuk menjalani ibadah jikalau isi pikiran kita jauh lebih berantakan dibanding gerakan ibadah kita? Justru bukankah sebelum meletakkan takwa yang sebenar-benarnya, adakalanya kita perlu membenahi sesuatu hal itu?
Usai melalukan sesi terapi wicara dengan kak Nata, Sira bersiap menuju ke sasana untuk kembali melakukan kegiatan rutinitasnya.
****
Tepat pukul 21.00 dan gadis itu sudah kembali dari sasana. Setelah membersihkan diri dan makan malam, Sira kembali ke kamarnya. Ia sudah siap berwudhu setelah melihat tata cara wudhu dari internet.
"Oke pake bahasa Indonesia aja." gumamnya. Ia bersiap untuk melakukan shalat Isya walaupun ia cuma hapal surat Al-fatihah saja.
"Allahuu Akbar." Takbir berkumandang sesiapnya takhbiratul ikhram. Sira bersungguh-sungguh melakukan shalatnya.
Tak terasa lima menit sudah berlalu. Kini Sira sudah menyelesaikan shalatnya. Meski tidak sempurna, ia tetap merasa senang. Kemudian, ketenangan yang tak biasanya ia rasakan kini seperti menyeruak dari dalam dadanya.
Kucuran airmata kini keluar dari kelopak matanya dan Sira tidak menyadari hal itu. Begitu sadar, ia pun tertawa kecil.
"Haha, bisa nangis juga." Gumamnya sambil tertawa kecil. Kini bendungan airmatanya sudah tak tertampung lagi. Ia kini menangis dengan derasnya.
Sudah lama ia tak merasakan tangis yang begitu hebatnya. Karena tekanan dan kewajiban yang harus dilakukannya, menjadi lemah adalah suatu momok yang tidak boleh ia perlihatkan oleh siapapun.
Apa menjadi kuat dan tidak terkalahkan berarti tidak boleh terlihat lemah pada siapapun? Namun... bukannya ia perempuan? Bukankah ia masih gadis belia? Bukankah...?
Kejadian itu, jika bukan karena Bapak yang menolong, bukankah ia akan mati saat itu juga?
Mengapa...? Mengapa harus orang lain yang menyelamatkannya dan justru orang lain yang menyayanginya? Mengapa ayahnya yang bahkan darah dagingnya sendiri tega melakukan perbuatan tak manusiawi itu? Bukankah ia anaknya?
Mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya?
Jika karena tuntutan hidup, mengapa begitu besarnya ego yang dimiliki oleh ayahnya? Bukankah korban dari segala korban ini ialah ibunya?
Kenapa pada akhirnya perempuan lagi yang menjadi korban? Karena perasaan mencintaikah yang membuatnya lemah? Perasaan berkorban? Atau perasaan lemah dan nestapa?
Gadis itu benci sekali jenis perasaan semacam itu.
Usai menangis dengan hebatnya, ia melantunkan doa yang sama sekali belum pernah ia rapalkan sebelumnya.
Gadis itu bukanlah gadis yang suka berharap. Bukan juga gadis yang lemah dalam memperjuangkan sesuatu. Namun karena perasaan 'lemah' yang sudah tak mampu lagi ia bendung, ia memilih merapalkan lantunan doa itu menuju ke langit tertinggi.
Selesai, ia pun merapikan mukena dan sajadah yang sudah selesai ia gunakan. Ia bersiap untuk tidur.
Malam ini merupakan malam yang luarbiasa. Bagaimana tidak? Sira yang tadinya mengidap insomnia akut menjadi lelap sekali tertidur karena rapalan tidak biasa yang dia dengungkan pada hari ini.
Enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
Teen FictionAisha, gadis miskin yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung memiliki berjuta mimpi. Awalnya ia tidak pernah bermimpi, toh... apa gunanya bermimpi baginya? Tapi karena pengalaman hidup yang pahit dan ia terus dituntut untuk hidup. Ia memutuskan harus...