Jakarta, 1969
Jakarta pada masa itu belum sepadat sekarang namun pembangunan gencar dilakukan. Berbekal niat dan tubuh ringkih penuh tulang, Janri nekat untuk memadu nasib di Jakarta agar dapat menghidupi dirinya sendiri.
Meski badannya penuh lebam karena tak diberikan restu, ia siap melancong sendirian di Jakarta. Janri bertekad untuk hidup sendiri daripada mati di tangan orangtuanya.
Pada waktu shubuh, Janri memutuskan tidur di pelataran toko bangunan saat ia pertama kali tiba. Meski suhu hari itu dingin, Janri harus mengistirahatkan tubuhnya karena perjalanan hari ini.
Tak lama ia memejamkan mata, bahunya seperti dicolek oleh seseorang. Ia menengadah untuk melihat sumbernya. Ternyata, ada lelaki tua yang kini duduk di sampingnya.
Penampilan lelaki tua itu jauh dari kata menyedihkan, bahkan cenderung necis dan parlente. Karena terkejut, Janri dengan cepat duduk di samping lelaki tua itu.
"Mau kerjaan?" tanyanya to the point. Janri yang belum menyadari suasana di sekelilingnya mengerjap pelan.
Ia terdiam lama. Ia memang butuh kerjaan, namun bukankah waktu fajar saja belum menyingsing?
Ia menelan ludah. Ia takut jika menerima pekerjaan ini. Kalau pekerjaan yang diterimanya ini adalah pekerjaan yang harus memaksanya menjual organ tubuh, bagaimana? Akan tetapi jika ia tolak, kesempatan 'kan tidak datang dua kali?
Lelaki tua itu sepertinya paham dengan kekhawatiran yang dirasakan oleh anak muda tersebut. Ia juga mengalaminya sewaktu ia muda.
"Kalo kamu enggak percaya, dateng ke alamat ini." ucap lelaki tua itu sambil memberikan kartu namanya. Janri yang diberikan kartu nama itu menerimanya dengan bingung.
"Kerjanya buruh kasar dulu awal-awal. Nanti kalau kinerja kamu bagus, bisa dipromosiin. Yowes saya pulang dulu." ucap lelaki tua itu kemudian. Lelaki muda itu tambah bingung.
Di tengah kebingungannya, akhirnya lelaki tua itu berjalan ke luar halaman toko bangunan itu dan menaiki mobil Volvo yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia saat itu.
Janri memerhatikan langkah lelaki tua itu sampai ia masuk ke dalam mobil. Mobil itupun menancapkan gas dan melenggang pergi dari hadapannya.
"Ajaib." ungkapnya. Karena ia sudah tak bisa menahan kantuk yang ditahannya sedari tadi, ia pun kembali merebahkan tubuhnya dan bersiap untuk tidur.
****
Bapak kembali menemui Sira di rumah utama. Tidak ada acara penting, Bapak hanya ingin bercengkrama saja dengan salah satu pewaris pilihannya.
"Terus, Pak? Udahan begitu aja?" tanya Sira. Ia sudah kidung penasaran tentang cerita Bapak selanjutnya.
Bapak memperhatikan ekspresi Sira yang lucu kemudian beliau terkekeh geli. Anak itu penasaran sekali rupanya.
"Ternyata ada yang lebih ajaib dari Bapak, ya?" lirih Sira. Untung Bapak tidak mendengar celotehan anak itu.
Bapak tersenyum.
Kemudian Bapak menyeruput kopi Gayo yang dibuat oleh Riney. Sesuai dengan kebiasaan Bapak, Bapak suka sekali menikmati waktu di pinggir kolam rumah utama.
"Bapak langsung ke intinya aja, ya." gadis itu mengangguk kuat. Sira lucu sekali.
"Bapak ke sana, karena penasaran juga. Bener atau enggak ya lowongan kerja ini? Ternyata betul waktu Bapak cek disana,"
"Cuma, yang ngehandle bukan Kakek. Anak buahnya yang ngehandle. Karena anak buahnya liat kartu nama yang diberikan oleh Kakek ke Bapak, orang itu langsung ngurus administrasi dan Bapak dilatih kurang lebih selama seminggu. Setelah itu Bapak sudah bisa mulai bekerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
Genç KurguAisha, gadis miskin yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung memiliki berjuta mimpi. Awalnya ia tidak pernah bermimpi, toh... apa gunanya bermimpi baginya? Tapi karena pengalaman hidup yang pahit dan ia terus dituntut untuk hidup. Ia memutuskan harus...