Bab 7 - Start (Part 2)

4 0 0
                                    

Kemarin, tak lama Sherina mengobrol dengan Sira, teman-temannya langsung mengerubungi meja Sherina dan bertanya.

"Lo enggak takut ngobrol sama Sira emangnya?" tanya Lim, anak laki-laki yang duduk di depan Sherina. Gadis itu menggeleng.

"Enggak lah, ngapain? Sira walaupun keliatan susah dideketin, dia baik kok. Cuma emang agak tertutup aja anaknya." jelas Sherina. Lim yang sepertinya tidak puas dengan jawaban Sherina bertanya lagi.

"Emangnya lu enggak tau gosip tentang dia, ya?" tanya Lim kemudian. Sherina terdiam.

"Tau, terus kenapa? Emang kebukti kalo dia beneran oplas? Kalo oplas juga cantik tuh, dia." ujarnya kemudian. Lim yang mendengar pernyataan Sherina pun menepuk jidatnya.

"Bukan itu." sanggah Lim. Sherina jadi penasaran.

"Apa, dong?" tanya Sherina. Lim pun membisiki Sherina dan gadis itu lantas terkejut ketika Lim berkata demikian.

"Emangnya iya? Terus kalo emang begitu kenapa, njir? Lo 'kan enggak ngebiayain biaya sekolahnya." kata Sherina lantang. Lim yang menerima kalimat itupun langsung mendengus.

"Yah dibilangin enggak percaya." ungkap Lim kemudian. Karena dia tak mau menjawab perkataan Lim, akhirnya ia pun mendiamkan Lim sampai guru mata pelajaran bersangkutan tiba di kelasnya.

****

Bel istirahat berbunyi, Sira bertemu dengan salah satu anggota keluarga yang sekolah bersama dengannya itu. Ia dibawa paksa ke ruang tangga darurat sekolahnya. Sesampainya di sana, gadis itu langsung mendengus kesal.

"Ngapain, sih?" ucap Sira emosi. Anak laki-laki yang membawanya ke tangga darurat menatap gadis itu dengan tatapan yang cukup mengintimidasi.

Ia menghela napas dan menatap gadis itu seraya berujar, "Bapak tau soal ini?" tanyanya serius. Gadis itu mengerlingkan mata dan melipat tangannya.

"Kalo enggak tau kenapa dan kalo tau kenapa?" Sira bertanya balik. Gadis itu sungguh sudah kepalang kesal.

Laki-laki itu menelan ludah, "Gue tau lo termasuk salah satu pewaris dan petinggi keluarga, bisa ga sih lo enggak usah menarik perhatian? Apalagi si Kieva itu, lo tau enggak lo jadi salah satu pembicaraan satu sekolah?" tanya anak laki-laki itu tak kalah kesal. Sira menatap anak laki-laki itu dengan tatapan biasa.

"Terus?" tanyanya nyolot. Si anak laki-laki itu beringsut kesal.

"Lo mau ngebuka kedok keluarga kita?" tanyanya lagi. Sira memandangi anak laki-laki yang kelewat hati-hati itu dengan tatapan meremehkan.

Ia maju satu langkah dan mengacungkan telunjuk di dadanya sambil menatap pria itu, "Ngebuka apa? Kedok? Tau apa lo, bocah?" ucap Sira mengintimidasi lawan bicaranya. Laki-laki itupun mundur sampai ke tembok.

"Lo baru idup kemaren, ya? As you know, duh anjir, ini 'kan pelajaran dasar. Gue di bagian 'light' kali? Lo di darker kali makanya norak?"

"Dan ya... iya gue anak kesayangan Bapak, terus mau apa lo? Lo tau Bapak nyuruh gue apa? Nyuruh gue masang image sebaik mungkin sebagai pelajar yang berprestasi. Bapak ngerancang gue as person senormal mungkin. Lo tau apa orang di dark nyampe nyuruh gue berhati-hati di bagian light? Bukannya lo juga tau kalo orang-orang yang di bagian light itu cuma orang terpilih?" serang Sira kemudian. Laki-laki itu menelan ludah. Sira pun mundur selangkah.

Ronald, si anak laki-laki sebayanya itu tak bisa berkata-kata ketika Sira mengkonfrontasinya. Niatnya 'kan baik agar dia berhati-hati?

"O-oke Ra kalo kaya gitu. But as you know, gue ga sedarker itu, cuma dua tingkat di bawah lo," bela Ronald kemudian. Sira tak peduli.

"Gue cuma mau lo agar berhati-hati, udah itu aja. Sebagai orang biasa, sebenernya Kieva itu siapa?" tanyanya lagi. Ronald berupaya memastikan.

"Apa urusan lo mau tau siapa Kieva?" tanya Sira balik. Aih, Ronald sudah seperti kehabisan tenaga berbincang dengan gadis itu.

Dia mengerjap pelan lalu menghela napas panjang, "Kalo ga orang yang lo kenal, ga mungkin sedeket itu. Apa dia salah satu bagian dari masa lalu lo?" tanyanya kembali.

"Lo tau 'kan dia bisa berbahaya buat lo ke depannya?" Ronald berusaha memastikan lagi.

Sira tahu hal itu, namun bagian yang rumpang ini serasa seperti gambling baginya. Kieva bisa berguna untuk pemulihan psikologisnya. Orang-orang di sasana tidak tahu kalau Sira mungkin mengidap salah satu gangguan kepribadian akut.

Sira terdiam lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Dia temen masa kecil gue, apa menurut lo dia bisa berbahaya?" tanya Sira lagi. Ronald diam.

"Riney tau?" tanya Ronald. Sira mengangguk. Sebelum menyelesaikan obrolan ini, Ronald kembali mengatakan salah satu obrolan yang mungkin mempengaruhi pikiran gadis itu untuk ia kaji ulang.

"Gue tau lo bisa aja manfaatin Kieva. Tapi, untuk ke depannya bisa aja bahaya, Ra. Bagi kita gampang aja musnahin orang macem dia. But, itu berpengaruh besar bagi keluarga Kieva kalo keluarganya kehilangan dia. Gue mohon, bijak. Dia orang baik sekaligus berguna buat keberlangsungan keluarga kita. Mungkin lo gatau dari sebahagian masa lalu dia yang menderita banget ketika kehilangan Sira kecil." ungkap Ronald kemudian. Sehabis mengatakan hal itu, Ronald lantas pergi seolah-olah ia tak pernah bertemu dengan Sira.

Setelah laki-laki itu pergi, Sira berdiri mematung dan menelan ludah. Ia tahu. Ia sungguh tahu kalau langkahnya memang berbahaya. Namun, ia juga tak mengetahui secara pasti bagaimana Kieva bisa membawa perubahan baik baginya.

Ini semua seperti perjudian bagi Sira. Di sisi lain ia tak ingin bertemu Kieva secara tidak sengaja dengan keadaan seperti ini, akan tetapi di sisi lain Sira juga mengamini keberadaan Kieva yang membuatnya bahagia secara tidak langsung.

Ia juga belum tahu bentuk apakah perasaan ini? Perasaan rindu karena bertemu teman lama kah? Perasaan lega kah? Atau perasaan cinta dan rasa aman karena ia akhirnya menemukan orang yang bisa ia percaya? Gadis itu masih belum mengetahui perasaan macam apa yang dirasakannya.

Yang ia tahu saat ini, keberadaan Keva membuatnya senang. Meski laki-laki itu sering melakukan hal yang tidak diduga, Sira tak ingin membohongi perasaannya sendiri jikalau keberadaan Kieva yang tidak direncanakannya itu sangat berpengaruh besar pada kehidupannya saat ini. Ia jadi bisa memahami sedikit demi sedikit apa yang dirasakannya. Bersama Kieva, ia bebas menjadi dirinya sendiri. Ia tak perlu takut dijustifikasi. Ia tak perlu mengkhawatiri kalau Kieva menyukai tingkahnya atau tidak. Baginya, Kieva seperti penawar yang kini bisa membasuh dahaganya.

Tapi... apakah perasaan Kieva bisa bertahan selama itu? Bagaimana bila Kieva mengetahui semuanya dan memutuskan berpaling padanya? Apakah ia bisa bertahan?

Namun... bukankah Kieva pernah mengatakan kalau ia adalah ia? Bukankah Keva tidak peduli dari mana Sira berasal? Bukankah Kieva akan menerima Sira luar dan dalam?

Tapi mengapa ia mesti mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi? Bukankah ia seharusnya fokus saja pada masa ini? Toh mengenai hal yang belum terjadi, Sira akan menjelaskan semua disaat ia sudah menyiapkan hatinya agar dapat melepas Kieva.

Usai bergumul dengan pikirannya sendiri, Sira pun kembali menuju ke kelasnya. Dari kejauhan, terlihat Kieva tengah berdiri seperti menunggu seseorang.

Dan tentu saja kalau seseorang itu adalah Sira.

Sira berjalan santai lalu Keva kemudian menyadari kalau Sira ternyata berada di luar kelas. Saat sampai di hadapan Keva, gadis itu tersenyum.

"Habis dari mana?" tanya Keva penasaran. Tak biasanya Sira keluar kelas saat jam istirahat kedua.

Sira menimbang. Ia pun menjawab, "Habis dari toilet. Udah lama nunggu?" tanya Sira penasaran.

"Enggak kok. Baru aja aku sampe. Ke kantin, yuk?" ajak Kieva. Sira pun mengiyakan ajakan Kieva lalu pergi bersama menuju ke kantin.

Tanpa sadar, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Tatapan itu seperti tengah mengintai dan menyuruh mereka berhati-hati.

.

.

.

Sorry for late update!
Enjoy ❤️

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang