Part 8

10.4K 314 6
                                    

Friska membuka matanya dengan cepat, jantungnya berdebar-debar dan keringat membasahi keningnya. Ia segera terduduk dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Entah kenapa, mimpi-mimpi mengerikan itu selalu muncul dan ia selalu menangis menyesali kebodohannya.

Mengalihkan tatapannya, Friska melihat Zafran masih tertidur nyenyak di ranjang kecil yang ada di kamarnya. Zafran masih belajar tidur sendiri, jadi belum berani pisah kamar dengan Friska. Anaknya itu berjanji, akan tidur di kamarnya sendiri satu minggu lagi.

Suara ketukan pintu menyadarkan Friska dari lamunannya. Ia segera berdiri sambil mengusap keringat di keningnya. Friska membuka pintu dan mendapati Marcell ada di depan kamarnya.

"Kak, hari ini weekend, aku mau jalan-jalan sama anak-anak yang lain. Aku sudah memasak sayur lodeh, lauknya kakak tinggal goreng apa saja. Zafran juga pasti suka sayurnya. Aku pergi dulu ya kak."

"Hati-hati. Jangan aneh-aneh. Masa depanmu masih panjang."

"Ya, Kak."

Marcell pergi setelah mencium punggung tangan Friska. Sejenak Friska menatap adiknya yang sedang membuka pintu. Ia bersyukur ada Marcell di sisinya. Menyemangatinya ketika ia tengah terpuruk. Membantunya mengurus Zafran tanpa mengeluh, dan bonusnya, Marcell juga sangat cerdas. Friska selalu bangga jika mengingatnya.

Friska berjalan ke dapur untuk membuat kopi agar pikirannya rileks. Mimpi mengerikan itu seolah menguras tenaganya. Sudah bertahun-tahun Friska berhenti memimpikan bajingan itu, dan entah kenapa tadi malam mimpi itu kembali menghantuinya. Apa mungkin karena kemarin mereka bertemu kembali setelah sekian tahun tidak bertemu.

Friska mengutuk dirinya sendiri yang terlalu terpengaruh oleh Rafael. Seharusnya ia sadar, kejadian itu sudah enam tahun yang lalu. Mengingat tabiat bajingan Rafael, Friska yakin, pria itu sudah tidak mengingat hubungan mereka. Jikapun ingat, Rafael pasti mengabaikannya karena pria itu sudah resmi bertunangan dan sebentar lagi akan menikah dengan model papan atas, Alisa Bridgesta Darwin.

**

"Aaaaah." Suara lenguhan terdengar saat dua anak manusia dengan tubuh telanjang bulat saling menindih. Kepala pria itu berada tepat di antara kedua paha sang wanita. Lidahnya menjulur, menikmati setiap jengkal tubuh si wanita yang kini terbaring pasrah di bawahnya.

Friska mendesah, ia meremas sprei, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, gelisah dengan apa yang di rasakan oleh tubuhnya. Sungguh, baru pertama kali ini ia merasakan sesuatu yang aneh, antara nikmat dan geli saat lidah Rafael terus-menerus bermain-main di bawah sana.

Beberapa saat kemudian, Friska merasakan gelombang yang aneh akan keluar dari tubuhnya. Kedua kakinya menjepit kepala Rafael, ia mendesah keras dan tangannya meremasi rambut Rafael. Sedetik kemudian, Friska lemas saat merasakan cairan aneh keluar dari miliknya.

Keringat membasahi keningnya, napasnya terengah-engah dan tubuhnya lemas tak berdaya. Friska menatap Rafael yang kini bergerak ke atas, tubuh besar pria itu melingkupi tubuh mungilnya. Pria itu tersenyum hangat kemudian mencium bibir Friska sekilas.

"Aku akan pelan-pelan, katakan jika rasanya sakit. Aku akan berhenti sebentar. Tapi percayalah, ini akan sangat nikmat jika kau sudah terbiasa."

Rafael menguasap keringat dikening Friska, pria itu tersenyum sejenak, kemudian dengan hati-hati memposisikan diri tepat di tengah tubuh Friska. Dengan pelan, Rafael memasukkan miliknya ke dalam milik Friska, membuat perempuan itu memekik kesakitan. Rafael sedikit memaksa karena kesulitan.

"Sakiiiit, Raaaf." Friska mencakar punggung Rafael, namun laki-laki itu bohong ketika mengatakan akan berhenti. Rafael terus mendorong miliknya hingga berhasil menembus pertahanan Friska.

Perempuan itu mengaduh sambil menangis sesenggukan, membuat Rafael berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya, kemudian kembali mencium bibir Friska sekilas. Rafael berusaha menenangkan Friska yang terlihat sangat kesakitan.

"Maafkan aku. Jika aku berhenti tadi, rasanya akan semakin sakit."

Friska masih sesenggukan, membuat Rafael mengumpat dalam hati. Ia tidak bisa berkonsentrasi jika Friska terus menangis seperti ini.

"Sayang, listen me. Rasa sakitnya mungkin hanya sebentar. Aku harus bergerak agar rasa sakitmu segera hilang. Please, jangan menangis, aku tidak tega jika kau terus menangis seperti ini."

Akhirnya Friska diam, tidak menangis lagi dan menurut saat Rafael menggerakkan pinggulnya. Pria itu sesekali mencium bibir Friska untuk menenangkan wanita itu. Meskipun tidak menangis lagi, Friska masih meringis menahan sakit.

Mau tidak mau Rafael terus bergerak, hingga lama-lama, bukan ringisan kesakitan lagi yang terdengar dari mulut Friska. Suara desahan seksi wanita itu membuat Rafael semakin bersemangat. Jangan lupa mata Friska yang sudah tidak berkacamata lagi menambah kesan seksi yang selama ini belum pernah Rafael lihat.

Kaki Friska tiba-tiba melingkar ke pinggang Rafael, membuat penyatuan mereka semakin dalam. Friska meremas rambut Rafael yang kini tengah menciumi lehernya. Friska melenguh saat milik Rafael semakin dalam menusuknya. Ia tidak menyangka, sesuatu yang menyakitkan tadi, berubah menjadi senikmat ini.

Setelah cukup lama keluar masuk tubuhnya, Friska mendengar Rafael menggerung pelan, kemudian bergerak cepat dan menancapkan miliknya sangat dalam ke dalam milik Friska. Friska tidak tahu apa yang terjadi, ia merasakan milik Rafael berkedut dan mengeluarkan cairan dibawah sana. Friska termenung menatap langit-langit kamar saat tubuh Rafael menindih tubuhnya.

Friska menyadari, sekarang masa depannya tidak sama lagi. Ia sekarang sudah menjadi milik Rafael seutuhnya. Namun, Friska tidak khawatir pria itu meninggalkannya. Rafael sangat mencintainya, bahkan sudah memberikan cincin yang sangat mahal sebagai pengikat. Friska menepis segala keraguan yang bersarang di hatinya tentang sifat playboy kekasihnya itu.

Rafael menggulingkan tubuhnya, napasnya terengah-engah dan matanya menatap Friska sejenak. Mereka saling bertatapan dalam diam, sebelum kemudian Rafael mencium singkat bibir wanita itu. Dalam hati, Rafael puas. Akhirnya gadis sok lugu itu kini tunduk padanya. Setelah bosan, Rafael bisa membuang wanita itu kapan saja.

"Raf."

"Iya sayang."

Friska merapatkan tubuhnya pada Rafael. Ia memeluk tubuh pria itu sambil meneteskan air mata. Sejujurnya Friska takut, tapi ia tidak berani mengatakannya pada Rafael.

"Jangan tinggalin aku ya Raf, aku sangat mencintaimu."

Rafael membalas pelukan Friska, memberikan kehangatan pada wanita itu. Ia mencium puncak kepala Friska sambil tersenyum miring, menertawakan kebodohan perempuan udik ini. Rafael menyelimuti tubuh keduanya dan kembali memeluk Friska.

"Nggak akan, kamu lupa, cincin ini pengikat di antara kita. Jadi, jangan meragukan semua kesungguhanku. Aku juga sangat mencintaimu." Rafael mencium punggung tangan Friska, kemudian mengeratkan pelukan mereka.

Keduanya saling berpelukan sejenak, mengatur napas dan sesekali Rafael membelai kulit mulus Friska. Rafael mengutuk miliknya yang kembali ereksi saat tangannya secara tidak sengaja menyentuh payudara Friska.

Karena tidak tahan, Rafael membuka selimutnya kemudian kembali menindih Friska. Perempuan itu terkejut sambil menahan dada Rafael. Mulutnya hendak bertanya namun sebelum itu ciuman Rafael sudah membungkamnya.

"Baby, i'm sorry, aku menginginkannya lagi." Ucap Rafael sambil kembali memasukkan miliknya ke dalam milik Friska, membuat perempuan itu memekik, namun tidak kuasa untuk memberontak. Wanita itu hanya pasrah saat Rafael kembali menggagahinya.

My Ex Slave (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang