"Kopi."
Rafael yang sedang duduk di bangku dekat kolam renang sambil mengetik pesan balasan di tab-nya, sontak menoleh mendengar suara orang dari sampingnya. Dokter Salman, kakak iparnya memberikan secangkir kopi dan Rafael segera menerimanya.
"Kita baru dua kali bertemu setelah kau pulang dari Amerika." Salman duduk di samping Rafael, kemudian menyeruput kopinya, tatapannya lurus ke depan, menatap kolam renang.
"Kakak terlalu sibuk. Aku segan untuk mengganggu."
"Kau terlihat baik. Juga menyesuaikan diri dengan cepat di perusahaan."
"Keadaan perusahaan baik-baik saja. Jadi aku tidak begitu kesulitan." Rafael ikut menyeruput kopinya, ia meletakkan tab-nya, tidak mau dianggap tak sopan karena mengabaikan kakak iparnya.
"Baguslah. Aku turut senang."
Keduanya terdiam sejenak, meminum kopi masing-masing sambil menatap kolam renang.
"Oh ya, kenapa melihatmu aku jadi teringat temanmu yang dulu. Kau benar-benar baik hati, hingga kakak ipar sendiri malu di akui."
"Ah, yang itu. Bukan begitu Kak. Aku hanya tidak mau dia merasa berhutang budi pada kakak. Dan aku juga tidak mau dia berpikiran macam-macam jika tahu kau itu kakak iparku. Itu saja. Dia sangat kesusahan waktu itu." Ucapnya bohong.
Tentu saja Rafael bohong. Ia harus merahasiakan hal itu karena tidak mau Friska meminta tolong pada kakak iparnya dan semua rencananya gagal total. Saat itu, Salman sudah berencana menolong Friska, tapi Rafael mencegah dan mengatakan pada Salman bahwa ia akan menolong Friska, asal Salman tidak berterus terang jika pria itu adalah kakak iparnya. Rafael harus terlihat seperti pahlawan sejati saat itu.
Salman yang menyadari kebohongan Rafael hanya tersenyum miring. Bisa-bisanya adik istrinya itu berbuat begitu bejat pada seorang gadis lugu yang kesusahan. Jika mertua perempuannya tahu, Rafael pasti akan digantung di Monas saat ini juga.
"Kamu udah putus sama perempuan itu?" Rafael mengangguk, kemudian kembali menyeruput kopinya.
"Friska yang dibicarakan Papa, itu bukan Friska yang sama kan? Kakak ingat dulu teman yang kamu tolong itu namanya juga Friska."
Rafael terdiam dengan kopi di depan bibirnya. Pria itu terkejut Salman masih mengingat nama Friska. Jangan-jangan laki-laki itu juga masih mengingat wajah Friska. Untuk jaga-jaga saja, Rafael memilih tidak berbohong.
"Dia Friska yang sama. Dan entah kenapa, dia jadi karyawan kepercayaan Papa." Rafael kembali meminum kopinya, menutupi rasa gugupnya dari pertanyaan Salman.
"Kau berpikir untuk CLBK?"
"Kakak ini bicara apa? Ya nggak lah."
"Baguslah. Kau sebentar lagi menikah dengan Alisa. Jangan terus bermain-main. Kasihan Mama setiap hari memikirkan kau belum juga menikah dengan Alisa."
"Ayolah kak. Itu salah mama sendiri karena sudah memaksaku untuk bertunangan dengan Alisa." Rafael terlihat kesal, Salman tergelak mendengar protes adik iparnya itu.
"Perempuan itu bilang sudah sering tidur denganku. Saat itu Mama langsung kebakaran jenggot dan memaksaku bertunangan. Akal-akalan Alisa benar-benar memuakkan."
"Wanita itu ingin pengakuan."
"Oh, come on. Dia bukan satu-satunya wanita yang ku tiduri."
"Nyatanya, dia yang paling sepadan denganmu menurut keluarga kita."
"Itu menurut mereka, bukan menurutku." Keduanya terkekeh bersamaan sambil kembali menyeruput kopinya.
"Lalu, siapa yang menurutmu cocok denganmu? Kepala divisi keuangan perusahaan Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...