"Aaaaahh." Friska mendesah, memejamkan matanya erat saat Rafael terus menghujam tubuh lemasnya. Setelah dari kantor polisi, pria itu membawanya ke apartemen kemudian kembali menyetubuhinya.
Friska hanya pasrah. Ia tidak bisa melawan karena masa depan Marcell dan Zafran menjadi taruhannya. Sekarang Friska tidak tahu bagaimana caranya agar bisa lepas dari jeratan Rafael, sementara waktu ini ia tidak bisa berpikir.
"Ayo bergeraklah seperti dulu. Jangan pasif begini." Ucap Rafael sambil menghujam Friska penuh semangat.
Bosan dengan posisi biasanya saja, Rafael bangkit, melepaskan penyatuan mereka. Ia meraih tubuh Friska kemudian menggedongnya seperti koala. Friska hanya pasrah, ia menyandarkan kepalanya di bahu Rafael.
Setelah sampai di jendela yang menunjukkan pemandangan kota jakarta, Rafael menurunkan tubuh Friska. Ia membalikkan tubuh Friska, menekannya ke jendela kaca besar itu kemudian kembali memasuki Friska dari belakang.
Rafael menggeram penuh kenikmatan, sedangkan Friska hanya diam saja. Ia juga tidak menangis karena air matanya sepertinya sudah habis. Di tengah hujaman Rafael yang semakin cepat, Friska mengigit bibirnya, menahan desahan kenikmatan yang beberapa kali lolos dari mulutnya.
Rafael meremas payudara Friska, mengigit kecil cuping telinga wanita itu hingga Friska menggeliat, sesekali tanpa sadar, Friska membalas gerakan Rafael, membuat pria itu tersenyum penuh kemenangan.
Rafael membalikkan tubuh Friska, mengangkat tungkai wanita itu, kemudian kembali memasukinya. Tubuh Friska terlonjak, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Rafael sambil memeluk leher pria itu. Tubuhnya berkhianat, ia menikmati setiap gerakan Rafael yang bersemangat memasuki tubuhnya.
Hingga beberapa saat kemudian, gerakan Rafael semakin cepat. Pria itu menggeram, bergerak cepat mengejar pelepasannya. Cairan itu masuk sempurna ke dalam tubuh Friska, membuat napas keduanya terengah-engah.
"Kau masih hebat seperti dulu. Benar-benar jackpot menemukanmu bekerja di kantorku." Ucap Rafael sambil membawa tubuh Friska ke atas ranjang.
Pria itu membaringkan tubuh Friska, menatap tubuh lemah tak berdaya yang entah kenapa membuatnya kembali ereksi. Rafael kembali merangkak ke atas ranjang, pria itu melingkupi tubuh Friska yang kini sudah memejamkan matanya karena kelelahan.
"Ja, jangan, Raf. Aku tidak kuat."
Dan Rafael tidak peduli. Pria itu kembali merenggangkan kedua kaki Friska, kemudian kembali memasuki wanita itu penuh gairah. Rafael menggeram berkali-kali, menikmati saat-saat dimana milik Friska menjepit miliknya dengan hangat.
Hari itu, Rafael terus menahan Friska di apartemennya seharian. Memasuki wanita itu dengan berbagai gaya di sudut apartemennya. Hingga sore hari, Rafael membangunkan Friska yang nyaris pingsan kemudian mengantarkan wanita itu pulang.
Jangan sampai adik wanita itu tahu dan membuat ribet semuanya. Saat ini, hanya anak dan adiknya yang menjadi kelemahan Friska. Selama dua orang itu aman, Rafael akan mengendalikan wanita itu hingga ia bosan dan akan membuangnya dengan mudah, seperti niatnya dulu.
**
"Bagaimana pekerjaanmu di kantor? lancarkan?" tanya Rudi pada putranya saat mereka sekeluarga makan malam bersama. Malam ini ia mengundang anak-anaknya untuk makan malam karena rindu berkumpul bersama anak dan cucunya.
"Lancar, Pa. Nggak ada yang sulit."
"Rafael nggak sulit kalau kerja, Pa. Dia itu sulitnya kalau di suruh nikah." Erika, kakak perempuan Rafael menyahut, menatap jahil pada adiknya. Rafael tidak menanggapi, ia tetap fokus makan sambil sesekali berbincang dengan kakak iparnya.
"Mama juga heran. Tunangan sejak zaman kuliah sampai sekarang udah lulus S2 dan kerja mapan. Kok Alisa nggak dinikahi, mama tu kadang sampai malu sama mas Rendi dan mbak Vena. Mereka kayaknya juga butuh kepastian. Tapi malu juga karena keseringan nanya."
"Aku belum siap kalau sekarang, Ma. Alisa sendiri juga nyaman-nyaman aja karena kami sudah ada perjanjian. Jadi, aku nikah sama dia kalau emang bener-bener udah siap."
"Raf, umur kamu udah 28 tahun. Udah mapan juga. Kakak kamu anaknya sudah dua. Kamu masih mau nunggu, yang kamu tungguin itu apa sih?" Sarah, mamanya Rafael tampak menahan kesal. Jika membahas masalah pernikahan, entah kenapa Rafael tidak bersemangat sama sekali.
"Nggak nungguin apa-apa, Ma. Nunggu siap aja."
"Terus kapan siapnya? Jangan bikin mama sama Papa malu dong."
"Udah, Ma, udah. Kita makan malam, jangan bahas tentang sesuatu yang bikin dagingnya jadi alot dong. Ganti topik."
"Tapi, Pa."
"Papa bener, Ma. Ganti topik."
"Dasar kamu, Raf."
"Kakak ipar sedari tadi diam saja. Nggak lagi berantem sama Kak Erika kan?" Rafael mengalihkan pembicaraan. Sangat bosan dengan topik seputar pernikahan.
"Kamu ini ngomong apa sih Raf. Ya nggak lah. Kami meskipun jarang ketemu, tapi selalu punya quality time kok. Iya kan sayang." Suami Erika hanya mengangguk sambil tersenyum hangat, sesekali ia mengelus rambut Syafa, putri sulungnya.
"Kerjaan kamu di rumah sakit lancar kan?"
"Alhamdulillah lancar Pa."
"Hati-hati Kak. Kak Salman ganteng banget. Dokter sukses lagi. Kalau ada pasien yang ganjen, kakak siap-siap aja." Ucap Rafael sambil mengedipkan mata, menatap jenaka pada dokter Salman, kakak iparnya. Erika cemberut, namun sang suami segera memegang tangannya, menenangkan istrinya yang emosian.
"Kamu nggak usah kompor deh, Raf. Bilang aja kamu iri. Kakak udah punya dua anak, suami kakak ganteng dan tajir. Dari pada kamu, sebentar lagi jadi bujang lapuk."
"Yeeh, nggak akan. Aku jentikin jari, yang antri bejibun."
"Mana buktinya? Dari kuliah udah tunangan tapi nggak nikah-nikah."
"Udah udah udah. Makan-makan kok berantem. Lihat Syafa sama Ega jadi nggak enak makannya."
"Iya, kek. Om sama Mama tiap kita kemari berantem mulu." Protes Syafa yang langsung di angguki oleh Ega yang sedang menjilati tangannya yang terkena saos barbeque.
"Halah. Kayak kamu sama Ega nggak pernah berantem aja."
"Sayang, udah dong. Makan yang enak. Papa bener, kamu sama Rafael kayak kucing sama tikus. Berantem mulu. Padahal kalau salah satunya nggak ada nyariin terus."
"Nggak!! Protes Rafael dan Erika bersamaan. Membuat semua orang menghembuskan napas berat.
"Oh ya, Raf. Gimana kinerja Friska, kepala divisi keuangan andalan papa. Bagus kan?" Rafael langsung terdiam mendengar pertanyaan papanya. Di detik selanjutnya, ia tersenyum menatap papanya.
"Bagus, Pa. Kemarin aku udah tes. Semua sesuai dengan omongan Papa. Kinerja yang lainnya juga bagus. Ada beberapa kendala di bagian pemasaran menurut Malik. Tapi, Rafael bisa mengatasinya."
"Bagus. Oh ya, pesan papa, jangan cari masalah sama Friska. Dia karyawan andalan papa. Selama ini papa diam saja setiap kamu buat skandal sama karyawati-karyawati papa. Papa nggak mau ikut campur selama masih wajar. Namun pesan papa, jangan Friska. Selain karena dia janda satu anak dan merupakan tulang punggung keluarga, Papa juga tidak mau kehilangan karyawan secakap dan seprofesional Friska. Dia juga bukan tipe-tipe yang bisa kamu jadikan mainan. Kamu ngerti?"
"Ngerti, Pa." Jawab Rafael sambil menyantap spaghetti bolognese kesukaannya.
"Lagi pula, udah mau nikah masih juga main-main. Jangan bikin mama pusing dong Raf. Mama malu."
Protes Sarah dan langsung diangguki oleh Erika. Namun sekali lagi, Rafael tampak tidak peduli. Pria itu tetap meneruskan makannya, tidak menyadari tatapan penuh arti yang dilayangkan dokter Salman padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...