"Oooom!" Zafran berlari ke arah Marcell yang baru saja masuk ke ruangan Friska. Keponakannya itu langsung masuk ke dalam gendongannya saat Marcell berjongkok.
"Maaf, Om telat. Tadi ada perlu sebentar."
"Cell, kakak rapat dulu. Udah mau mulai. Titip Zafran ya."
"Iya kak. Setelah ini aku langsung pulang kok."
"Oke, kakak tinggal dulu."
Friska keluar dari ruangannya setelah mencium pipi Zafran yang ada di gendongan Marcell. Anak itu terlihat kecewa, entah karena apa, Marcell akan bertanya setelah nanti sampai rumah.
"Ayo pulang."
"Oke, Om."
Marcell menggedong Zafran lalu keluar dari ruangan Friska. Ia menyapa beberapa orang bawahan Friska yang duduk di kubikel masing-masing. Karena beberapa kali kemari, sebagian bawahan Friska sudah mengenalinya.
"Om, om, itu ada monster Om."
Marcell mengernyit mendengar celotehan Zafran yang ada di gendongannya. Iya mengikuti arah pandang yang ditunjuk Zafran, dan menemukan seseorang yang tidak asing baginya. Pria itu, bukankah itu mantan kekasih kakaknya saat kuliah dulu. Laki-laki itu berbicara dengan Friska dan ayah kandungnya, sepertinya mereka akan rapat.
Kenapa pria itu ada di sini? Dan, siapa yang disebut monster oleh Zafran.
"Monster?"
"Iya, Om. Itu, yang ada disebelahnya Mama. Dia tadi matanya melotot gede kayak monster. Lalu marah-marahin Mama. Zafran takut. Makanya Zafran ngajak pulang."
"Laki-laki itu pelototin kamu."
"Iya Om. Marah-marah juga sama mama. Zafran takut."
Marcell mengembuskan napas berat, kemudian mengelus rambut Zafran.
"Nggak usah takut. Sekarang ada Om. Nggak ada yang berani pelototin Zafran lagi."
Marcell segera mengajak Zafran pergi dari tempat itu. Untuk masalah mantan kekasih kakaknya, Marcell akan bertanya pada Friska nanti jika sudah di rumah jika ada kesempatan. Meskipun hatinya bertanya-tanya, sekarang bukan saat yang tepat karena Friska kelihatan sangat sibuk. Marcell berspekulasi, mungkin pria itu yang membuat kakaknya murung akhir-akhir ini.
Taksi berhenti tepat di hadapan mereka. Marcell memasukkan Zafran terlebih dahulu kemudian dirinya menyusul masuk ke dalam taksi. Ia menyebutkan alamat pada sopir dan taksi pun melaju membelah jalanan ibukota.
Dalam perjalanan pulang pikiran Marcell berkecamuk tak tentu arah. Mengenai kakaknya dan mantan kekasihnya, juga mengenai ayah kandungnya. Hingga suara cekikikan Zafran yang sedang bermain ponsel mengalihkan fokusnya.
Ia menatap Zafran yang tengah tersenyum-senyum, sekilas pikiran buruk singgah di otaknya. Wajah Zafran, wajah itu mirip dengan seseorang. Dan sudah tidak asing lagi. Jangan-jangan Zafran___
Astaga, kenapa Marcell baru menyadarinya sekarang. Wajah Zafran sangat mirip dengan mantan kekasih Friska. Apa jangan-jangan Zafran anak dari pria itu? Jika benar, untuk apa Friska merahasiakannya? Atau setidaknya kakaknya itu meminta pertanggungjawaban.
Pasti ada sesuatu yang Friska sembunyikan darinya hingga memilih bungkam selama ini. Dan ketika menyadari bahwa pria itu tidak menyukai Zafran, besar kemungkinan laki-laki juga tidak tahu kalau Zafran adalah putranya.
Marcell mengembuskan napas berat. Ia menetralisir rasa penasaran yang berkecamuk di hatinya. Jika Friska menyembunyikan Zafran selama ini, pasti ada sebabnya. Dan jika pria itu pria yang baik, tidak mungkin Friska memilih pergi dan bersembunyi dari pria yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilannya.
Pria itu mungkin jahat, akan lebih baik jika pria itu tidak tahu mengenai Zafran. Friska sangat tulus, tidak pantas jika disia-siakan oleh pria yang jahat. Jika keinginan Friska adalah menyembunyikan Zafran dari ayah kandungnya, Marcell akan membantu. Friska dan Zafran adalah segalanya bagi Marcell. Jadi apapun yang terjadi, ia harus melindungi keduanya.
Taksi berhenti tepat di depan rumahnya, Marcell dan Zafran keluar dari taksi setelah membayar. Ia menuntun Zafran yang sibuk berceloteh ini itu, yang ujung-ujungnya nanti pasti minta es krim coklat. Meskipun sering terkena radang, anak itu seperti tidak ada kapok-kapoknya.
"Kak Marceeeell!!" Suara cempreng yang tidak asing membuat Marcell terkejut. Ia segera menoleh dan mendapati si centil Syafa berjalan ke arahnya sambil tersenyum riang. Gadis itu sudah berganti seragam, dan kini berlari-lari kecil ke arahnya.
"Ya ampun, Kaaaak. Akhirnya ketemu rumahnya. Tau nggak, aku harus nyogok sana sini biar rumah ini ketemu." Ucap Syafa dengan napas ngos-ngosan. Gadis itu berjongkok kelelahan di hadapan Marcell dan Zafran.
"Menyogok? Maksudnya apa?"
"Tentu saja menyogok uang teman-teman kakak agar mau memberitahuku alamat ini. Tadi waktu aku ke kampus kakak, kak Marcellnya udah pulang. Kita nggak papasan."
Bukan tidak papasan, tapi Marcell yang bersembunyi dari gadis centil ini. Tapi naas, rupanya gadis ini mempunyai seribu cara untuk menemukannya, bahkan sampai menyuap teman-temannya.
"Ini keponakan kakak. Lucu sekaliii." Syafa mencubiti pipi gembul Zafran, membuat anak itu risih, namun tidak mengatakan apapun. Hanya tampak risih dengan kehadiran gadis aneh ini.
"Ayo masuk kak, buka pagarnya, kenapa kita bertiga tetap di luar. Aku sudah menyuruh sopirku untuk pulang."
"Emangnya kamu nggak ikut pulang?"
"Ya nggak lah kak. Aku kan masih pengen main di rumah kakak. Aku juga capek perjalanan. Masak harus pulang lagi. Sekarang ayo buka pintunya."
Marcell yang kebingungan hanya menurut seperti orang bodoh. Ia membuka pagar dan masuk bersama Zafran, gadis itu dengan tidak tahu malunya mengikuti dari belakang. Saat membuka pintu rumah, bahkan gadis kecil itu masuk terlebih dahulu.
"Waaaah, rumah kakak sangat rapi. Pasti kak Marcell rajin bersih-bersih ya."
"Tidak juga. Kakakku yang rajin bersih-bersih."
"Oooh, gitu."
"Zafran, ayo ganti baju."
Zafran mengangguk dan masuk ke dalam kamarnya, Marcell mengikuti. Namun sebelum itu, ia menoleh ke arah Syafa yang duduk manis di sofa ruang tamu.
"Tetap di situ. Aku akan mengurus Zafran dulu."
"Oke, Kak." Jawab Syafa sok manis, membuat Marcell menghembuskan napas berat. Ia masuk ke kamar Zafran dan menguncinya. Takut jika wanita tidak tahu malu itu tiba-tiba masuk nyelonong begitu saja.
"Om, siapa sih itu. Kenapa cerewet sekali?" Keluh Zafran saat mereka berdua ada di kamar. Marcell dengan telaten berjongkok mengganti baju seragam Zafran agar Zafran nyaman.
"Dia temannya Om. Orangnya memang cerewet begitu."
"Tadi dia mencubit pipiku. Sakit."
"Jangan lebay. Kau laki-laki, harus kuat."
"Ya, harus kuat." Zafran mengepalkan tangannya ke atas, lalu bertos ria dengan Marcell.
"Sudah selesai. Sekarang waktunya makan lalu nonton TV, Oke."
"Oke, Om."
Keduanya berjalan keluar kamar. Mereka di sambut dengan senyum manis wanita centil itu yang masih dengan anggunnya duduk di sofa ruang tamu.
"Sudah selesai?" Tanyanya penuh semangat.
"Sudah, kami makan siang dulu." Jawab Marcell malas, perempuan itu berdiri seketika.
"Ayo, aku juga ikut kalau begitu. Nanti aku yang masak."
Dan dengan tidak tahu malunya, anak SMP itu menyelonong masuk ke dapur milik Marcell. Zafran dan Marcell saling pandang, mereka tidak mengatakan apapun saat gadis centil itu mulai merusak dapurnya dan menumpahkan apa saja yang berada di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...