"Hoeek, hoeeek."
Friska terus saja memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya. Ia duduk di lantai kamar mandi karena lemas. Marcell yang khawatir, terus memijat tengkuknya. Adiknya itu menangis karena takut terjadi sesuatu padanya. Friska juga heran, belum pernah ia menderita masuk angin separah ini hingga makanan yang masuk ke dalam mulutnya terus mental keluar.
"Sudah, jangan menangis. Kakak tidak apa-apa. Hanya masuk angin biasa."
"Tapi, Kak. Beberapa hari ini kakak terus muntah. Aku takut kakak meninggalkanku seperti ayah dan ibu."
"Kakak tidak apa-apa, tolong bantu kakak berdiri."
Marcell membantu Friska berdiri, kemudian menuntun kakaknya berbaring di ranjang. Marcell juga menyiapkan air jahe hangat untuk Friska. Setidaknya kemarin air itu yang sedikit meredakan mual-mual yang diderita oleh kakaknya.
"Kak, apa kakak akan ke dokter?" Tanya Marcell sambil memijat kaki Friska.
"Iya, tapi nanti saja. Kakak ingin istirahat. Biasanya kalau sore agak baikan."
"Apa sebaiknya kita panggil Bu bidan saja, supaya kakak bisa segera di obati."
"Tidak usah. Nanti biar kakak ke dokter saja. Kakak ingin istirahat sekarang, kau juga istirahatlah."
"Baik kak, kalau butuh sesuatu, kakak bangunkan saja aku. Aku tidur di kamar."
"Baiklah. Sana istirahat." Marcell mengangguk kemudian keluar dari kamar kakaknya.
Sepeninggal Marcell, Friska menatap langit-langit kamarnya. Badannya benar-benar tidak bisa diajak bekerjasama akhir-akhir ini. Friska bahkan harus dari kegiatan magang maupun mengajar les privat. Badannya lemas dan tidak selera makan. Mungkin saja ini bukan masuk angin, tapi asam lambungnya naik kereta kelelahan dan stres.
Memang sebaiknya Friska sedikit mengurangi aktifitasnya. Mungkin karena magang juga melelahkan, jadi fisiknya lama-lama tidak kuat. Lagi pula sekarang Marcell sudah sembuh, hanya perlu obat jalan yang biayanya tidak terlalu besar seperti sebelumnya. Jadi, Friska tidak perlu bekerja seperti mesin lagi.
Semuanya berkat Rafael. Pria itu benar-benar membantunya secara materi hingga sangat meringankannya. Friska tidak perlu banting tulang lagi. Uang dari Rafael, lebih dari cukup untuk pengobatan Marcell. Meskipun terkesan menjual diri, tapi Friska menekankan pada dirinya sendiri bahwa ini yang terbaik.
Ngomong-ngomong soal Rafael, pria itu entah kenapa beberapa hari ini tidak ada kabarnya. Pesan chat Friska juga belum dibalas meskipun sudah centang biru. Ia sudah mengabari jika dirinya sakit, tapi kenapa tidak direspon. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada kekasihnya itu?
Tapi, tidak mungkin jika seperti itu. Grub kampus pasti heboh jika bintang kampus mereka itu kenapa-napa. Meskipun sudah banyak yang tahu ia kekasih Rafael, namun sebagian dari mereka hanya menganggapnya mainan pria itu. Tidak apa-apa, suatu saat mereka semua pasti akan tercengang jika Rafael menikahinya.
Friska akhirnya tertidur setelah melamun tak tentu arah. Ia bangun ketika jam empat sore dan mendapati Marcell sudah mau berangkat ke masjid untuk mengaji. Friska sekalian mengatakan pada adiknya itu bahwa ia akan ke rumah sakit.
Setelah mandi dan bersiap, Friska berangkat ke rumah sakit dengan taksi online. Suasana jalan ramai karena bersamaan dengan orang-orang pulang bekerja. Mengurai kemacetan, Friska akhirnya tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Ia segera bergegas ke dokter spesialis penyakit dalam untuk memastikan sakit lambungnya.
Setelah menunggu beberapa saat, Friska dipersilahkan masuk. Ia menjalani pemeriksaan ringan, dan beberapa kali dokter memeriksa perut dan nadinya. Setelah memastikan, Friska turun dari ranjang periksa dan duduk berhadapan dengan dokter.
"Bagaimana keadaan saya, Dok? Apa asam lambung saya naik lagi. Soalnya beberapa hari ini setiap pagi saya selalu muntah-muntah hingga lemas."
Dokter itu tersenyum, kemudian menatap Friska dengan tatapan cerah, seperti ada kabar gembira yang hendak disampaikan.
"Begini Bu Friska. Keadaan Anda baik-baik saja. Asam lambung Anda sedikit naik karena efek muntah-muntah. Tapi, yang jadi masalahnya bukan itu. Anda hamil, dan muntah di pagi hari adalah hal yang wajar bagi wanita yang hamil muda."
Deg
Ucapan dokter itu bagaikan petir di siang bolong bagi Friska. Ia mematung beberapa saat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bermimpi. Ia hamil, bagaimana itu bisa terjadi padahal ia mengkonsumsi pil KB selama ini.
"Ha, hamil, Dok. Tapi, bagaimana bisa, saya minum pil kontrasepsi."
"Iya Bu Friska, Anda hamil. Usianya kehamilannya lima minggu, masih sangat rentan. Dan masalah pil kontrasepsi, mungkin Anda tidak rutin meminumnya. Makanya bisa terjadi kebobolan seperti sekarang."
Ya, Friska ingat. Ia memang beberapa kali lupa minum pil KB-nya. Karena kesibukan dan pikirannya yang terkadang stres karena pekerjaan, Friska kadang lupa minum pil. Dan Rafael selalu mengajaknya setiap ada waktu senggang, mengingat hal itu kemungkinan hamil memang sangatlah besar. Friska merutuki kecerobohannya sendiri.
"Saya akan meresepkan obat penguat kandungan. Saya harap Bu Friska meminumnya dengan rutin agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
Friska bahkan tidak mampu menjawab ucapan sang dokter. Ia hanya mengangguk dan pikirannya melayang tak tentu arah. Ia hamil. Bagaimana ini? Kenapa bisa jadi seperti ini?
Friska keluar dari ruangan dokter dengan langkah lunglai. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ia masih harus menyelesaikan magangnya baberapa bulan lagi baru dinyatakan lulus.
Tapi, Friska tidak mungkin memendam masalah ini sendirian. Rafael juga harus tahu. Ini anak mereka, tidak mungkin Friska menyembunyikan fakta itu. Akhirnya, Friska memutuskan duduk di ruang tunggu dan menghubungi Rafael.
Beberapa kali Friska mencoba, namun tidak di angkat. Panggilan berdering dan chatnya juga centang biru. Namun Rafael tidak meresponnya sama sekali. Pikiran-pikiran buruk mulai bersarang dibenak Friska. Jangan-jangan Rafael kecelakaan atau terjadi sesuatu yang lain.
Friska berdiri, dengan langkah gontai, ia mencari alamat rumah Rafael yang pernah diberikan pria itu beberapa bulan yang lalu di dalam tasnya. Saat itu Friska tidak begitu menanggapi karena mereka sering bertemu di apartemen. Tapi, kali ini Friska ingin memastikan dimana ia mencari Rafael jika nanti di apartemen tidak ada.
Setelah ketemu, Friska segera mencari taksi online kemudian menuju apartemen Rafael. Di sana, ia harus kecewa karena mendapati Rafael tidak ada. Hari sudah semakin gelap dan Friska memutuskan langsung akan ke rumah Rafael. Ia segera turun dari gedung apartemen dan masuk ke dalam taksi.
Jantung Friska berdebar-debar di sepanjang perjalanan. Ia bingung dan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi hal yang tak terduga ini. Dan hal pertama yang akan ia lakukan adalah memberitahu Rafael. Hanya itu pilihan satu-satunya.
Friska terkejut saat taksi yang membawanya masuk ke dalam kompleks perumahan elite. Rumah-rumah di sana berjejer megah-megah. Mungkin semua pemiliknya adalah milyuner. Tidak mungkin orang kaya dikalangan kaya yang biasa punya rumah sebagus ini. Pasti para pemiliknya adalah bos-bos di perkantoran.
Sopir taksi menghentikan mobilnya saat sampai disebuah rumah yang luar biasa bagus dengan arsitektur khas Eropa. Rumah itu tampak ramai, seperti ada acara, semacam pernikahan atau entahlah. Yang jelas didepan rumah sudah ada gerbang dekor penyambutan yang luar biasa indah.
Friska keluar dari taksi dan menyuruh sopirnya menunggu. Ia menatap rumah itu dengan tatapan datar. Rafael sangat kaya, pantas saja pria itu dengan mudah menyanggupi biaya operasi Marcell. Mungkin saja uang segitu tidak ada artinya bagi pria itu.
Friska menatap tulisan besar yang ada di depan rumah. Matanya seketika melotot mendapati nama Rafael dan Alisa di sana. Mereka akan mengadakan pesta pertunangan. Jadi, ini alasan Rafael tidak mengangkat panggilannya. Tapi, kenapa bisa jadi seperti ini? Kenapa Alisa?
Tidak. Rafael tidak mungkin mengkhianatinya. Friska harus mencari Rafael di dalam dan memastikan jika Rafael tidak membohonginya. Pria itu sangat mencintainya, Friska percaya, Rafael pasti punya alasan yang logis dibalik semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...