Part 18

10.3K 386 9
                                    

Tangan Friska gemetar sembari memegangi amplop coklat yang cukup besar. Matanya menatap kantor polisi yang ada di depannya. Sesekali ia meremas amplop itu, berusaha memikirkan kembali niatnya.

Tadi pagi jam 6, ia kabur dari kantor Rafael. Pintu terbuka cukup mudah karena sepertinya pria itu memang sudah membukanya. Tanpa pikir panjang, Friska naik taksi ke rumah sakit untuk melakukan visum. Setelahnya, ia memutuskan akan lapor polisi tentang tindak kejahatan seksual yang tadi malam dilakukan oleh Rafael padanya.

Friska masuk ke dalam kantor polisi dengan langkah tertatih. Rafael semalam benar-benar memperkosanya dengan kasar. Ia benar-benar diperlakukan seperti binatang. Friska benar-benar tidak bisa menerima perlakuan itu. Jika ia diam, bukan tidak mungkin Rafael akan mengulangi perbuatan itu lagi.

Sesampainya di dalam kantor, Friska segera membuat laporan dan menyerahkan bukti visumnya. Ia sesekali menangis saat polisi melakukan interogasi. Hingga satu jam kemudian, ia keluar dari kantor polisi setelah semuanya selesai.

Friska sedikit lega. Pria itu sebentar lagi akan masuk penjara. Persetan dengan anggapan rekan-rekannya nanti. Setelah ini, ia akan mengundurkan diri dari perusahaan itu.

Sambil berjalan, Friska mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online. Hari sudah mulai panas, ia ingin segera pulang dan mandi. Zafran pasti sudah bersekolah di antar Marcell. Rumahnya pasti dalam keadaan kosong.

Saat Friska duduk di halte bus menunggu taksi pesanannya, sebuah mobil Van besar berhenti di hadapannya, membuat Friska mengernyit heran. Namun, saat pintu Van terbuka, mata Friska melotot seketika. Ia nyaris lari sebelum suara pria yang ada di dalam Van menghentikan langkahnya.

"Masuk." Ucap Rafael datar, seperti menahan kesal.

"Aku tidak mau. Mau apa kau kemari? Jika kau berani macam-macam, aku akan teriak. Di sini dekat kantor polisi. Jangan berani macam-macam padaku!!" Friska akan beranjak, namun kedua bodyguard Rafael menghentikan langkahnya.

Friska menoleh ke arah Rafael yang kini tersenyum miring menatapnya. Laki-laki itu tampak santai duduk di dalam Van dengan pintu terbuka.

"Apa-apaan ini. Lepaskan aku!! Sebenarnya apa maumu bajingan!"

Rafael meraih tab-nya kemudian mengutak-atik sekilas. Setelah beberapa saat, Rafael menunjukkan sebuah foto di dalam tab. Foto itu membuat mata Friska kembali melotot. Zafran bersama seseorang yang tidak dikenal makan es krim bersama di pinggir jalan.

Ya Tuhan, ada apa ini sebenarnya. Apa yang pria itu lakukan pada putranya.

"Beraninya kau mendekati anakku. Lepaskan dia!! Jangan berani menyakitinya atau kau akan menyesal!"

"Dengar Friska, nasib anakmu saat ini, tergantung pada keputusanmu. Kau sudah berani macam-macam padaku. Tidak patuh bahkan melaporkanku pada polisi. Kau sudah melewati batas."

"Lalu aku harus diam saja saat kau perlakukan seperti itu! Dengar Rafael, aku tidak sudi. Kau harus mempertanggungjawabkan sebuah perbuatan bejatmu di kantor polisi."

"Oh ya, dan sekarang lihat apa yang akan aku lakukan pada anak dan adikmu."

"Apa maksudmu bajingan? Jangan pernah libatkan mereka dalam rencana konyolmu!!"

"Dengarkan aku sekali lagi Friska. Ini penawaran terakhir untukmu. Jika kau setuju dengan penawaranku tempo hari, aku bisa memberikan apapun yang kau mau dan tidak akan mengusik adik dan anakmu. Jika kau masih melawanku, jangan salahkan aku jika aku mengambil anakmu dan kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Dan adikmu, aku pastikan masa depannya akan sulit. Itu baru permulaan. Aku bisa berbuat lebih jauh lagi jika kau masih membangkang."

Friska mematung sejenak, tidak percaya Rafael setega itu mengusiknya. Bagaimana mungkin hanya karena ingin menaklukkannya, Rafael melakukan cara-cara keji seperti itu. Benar-benar bajingan.

"Masuklah sekarang. Maka aku akan melepaskan putramu. Jangan terlalu banyak berpikir karena aku tidak suka menunggu dan juga tidak memberikanmu pilihan. Suka tidak suka, itu pilihanmu."

Air mata Friska menetes seketika. Tidak menyangka beberapa hari bertemu dengan Rafael menjadi hari yang sangat sial baginya. Kenapa pria itu kembali mengusiknya saat hidupnya sudah baik-baik saja. Dan sekarang, pria itu tidak memberikan Friska pilihan sama sekali.

"Cepat!! Aku tidak suka menunggu. Masalah laporanmu, pengacaraku akan mengurusnya. Jangan kebanyakan tingkah."

Friska menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Perempuan itu kemudian beranjak dan naik ke dalam Van milik Rafael. Mereka duduk bersebelahan dengan Rafael yang tersenyum penuh kemenangan. Ia menyuruh sopirnya menjalankan mobil kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Lepaskan anak itu. Kembalikan ke sekolahnya."

Friska memejamkan matanya, menghapus air matanya yang terus mengalir. Ia tidak mengira, Rafael tega berbuat sekejam ini padanya.

"Mudah bukan jika menurut. Dari sekarang belajarlah untuk tidak menentangku. Maka hidupmu akan tetap baik-baik saja." Friska mematung di tempatnya, tidak menanggapi perkataan Rafael. Saat ini ia tidak bisa berbuat banyak karena masa depan anak dan adiknya terancam. Satu-satunya cara agar bisa terlepas dari belenggu Rafael, adalah menunggu pria itu bosan padanya.

**

Marcell mengajak Zafran berbelanja ketika selesai menjemput keponakannya itu sepulang sekolah. Ia menghubungi kakaknya untuk menanyakan kabar, kakaknya mengatakan sedang baik-baik saja dan akan pulang nanti sore. Jadi, Marcell kembali bertugas menjemput Zafran.

"Om, Zafran mau jajan yang itu."

Zafran berlari ke bagian rak snack, membuat Marcell segera berlari, takut jika Zafran membeli chiki-chiki yang mengandung banyak MSG, dan ujung-ujungnya pasti nanti radangnya kambuh, membuat ia dan kakaknya kerepotan.

"Hai, Zafran, jangan mengambil yang itu. Nanti mamamu marah."

"Cuma ini kok Om."

Zafran menyengir manja, Marcell mengacak-acak rambut keponakannya itu. Saat Marcell sibuk memilih sabun yang akan ia gunakan untuk piknik, tiba-tiba Zafran kembali berlarian. Marcell menghembuskan napas berat, pasti Zafran melihat es krim atau snack kesukaannya lagi.

Saat Marcell hendak mengejar, ia terkejut ketika Zafran menabrak tubuh seorang wanita. Marcell segera berlari, pasti Zafran ceroboh lagi hingga tidak melihat di hadapannya ada orang. Seperti biasanya.

"Aaaaww, aduuuh, kukuku. Ya Tuhan, anak siapa ini. Kenapa dibiarkan berlarian sendiri." Perempuan itu bersungut-sungut, Zafran tampak ketakutan. Bahkan tidak sadar snack yang dipegangnya berjatuhan.

Marcell yang melihat itu segera menggedong Zafran, mengusap kepala anak itu agar tidak ketakutan.

"Maafkan keponakan saya. Saya yang salah karena lalai menjaganya." Marcell membungkuk meminta maaf, membuat perempuan seusai kakaknya itu kembali memberengut kesal.

"Lain kali kalau bawa anak dijaga. Kalau begini, saya rugi karena baru keluar dari salon. Kuku saya berantakan lagi. Huh, dasar anak kecil."

Ucap perempuan itu ketus sambil berlalu meninggalkan Marcell dan Zafran. Marcell mematung sambil menggendong Zafran, menatap kepergian perempuan yang baru saja bicara kasar padanya.

Meski sudah bertahun-tahun dan waktu itu ia masih kecil, Marcell masih ingat dengan jelas wajah perempuan muda tadi. Meskipun samar-samar, Marcell tidak pernah lupa pada wajah dua perempuan yang menghancurkan hidupnya dan ibu kandungnya.

Alisa Mariella dan ibu wanita itu. Dua perempuan tidak tahu diri yang sudah merenggut kehidupan bahagia keluarga kandungnya. Meskipun setelah ia dibuang justru mendapatkan keluarga baru yang begitu menyayanginya, tetap saja rasa sakit karena dibuang itu tidak akan hilang sampai kapanpun.

My Ex Slave (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang