"Mama, hari ini aku mau es krim."
Zafran merengek saat hari ini Friska menjemputnya di sekolah. Marcell yang baru saja lulus SMA, disibukkan dengan pendaftaran kampusnya. Friska kasihan melihat adiknya yang lelah otak dan tenaganya. Makanya beberapa hari ini ia yang menjemput Zafran di sekolah. Ia juga terpaksa membawa Zafran ke tempatnya bekerja karena tidak putranya tidak memiliki pengasuh.
"Sayang, bukannya kemarin sudah beli. Nanti kalau kena radang gimana?"
"Nggak kok, Ma. Kata Om yang beberapa hari lalu ngasih es krim ke Zafran, es krim rasa coklat itu aman, nggak bikin radang."
Friska sontak menepikan mobilnya mendengar perkataan putranya. Ia segera menatap Zafran yang kini asyik memainkan rubik di tangannya. Sama sekali tidak menyadari keterkejutan mamanya.
"Zafran."
"Iya, Ma."
"Mama lupa bilang, lain kali, jangan menerima apapun pemberian orang yang tidak kita kenal. Itu berbahaya Sayang. Zafran ngerti?" Zafran menoleh, tangannya berhenti memainkan rubik dan beralih menatap bingung ke arah mamanya.
"Memangnya kenapa Ma? Om yang kemarin cuma kebetulan berhenti di depan sekolah Zafran. Katanya pamannya teman Zafran, terus ngasih es krim."
"Sayang, dengerin mama. Kita nggak tahu orang itu punya niat jahat sama kita atau nggak. Kelihatannya baik, belum tentu baik. Memangnya Zafran tahu, orang yang ngasih es krim tempo hari itu pamannya siapa?" Zafran menggeleng polos, membuat Friska menghembuskan napas berat.
"Zafran nggak tahu kan? Makanya lain kali, jangan mudah mau di kasih apapun sama orang asing. Kita nggak tahu, mereka sebenarnya jahat atau nggak. Zafran masih kecil, harus hati-hati sama orang yang jahat. Kemarin mama sudah bicara sama Bu guru dan satpam agar lebih hati-hati. Sekarang Zafran paham kan?"
"Iya Mama. Zafran ngerti."
"Good. Anak mama memang pintar."
Friska menghembuskan napas lega, ia mengelus rambut hitam Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya menuju kantor. Jam makan siang hampir selesai, ia harus segera sampai agar tidak dipandang teledor oleh anak buahnya.
Beberapa saat kemudian, Friska sampai di kantor dan berjalan beriringan sambil menggandeng tangan Zafran. Beberapa anak buahnya menyapanya dan Zafran. Terkadang kalau Marcell sibuk, Friska memang mengajak Zafran ke kantor. Putranya itu tidak rewel, hanya bermain puzzle dan game ponsel saat menungguinya bekerja. Ia berdoa dalam hati, agar Rafael tidak melihat Zafran dan menyadari kemiripan mereka.
Begitu sampai di ruangannya, Friska segera memulai pekerjaannya yang sebenarnya tidak begitu banyak. Sesekali ia mengawasi Zafran yang terlihat sedikit mengantuk. Friska tersenyum, kemudian kembali menatap laptop dengan serius agar tidak ada kesalahannya di laporan keuangannya.
Saat Friska sibuk bekerja, suara pintu yang terbuka mengalihkan fokusnya. Matanya melotot saat menyadari Rafael masuk ke ruangannya dan berjalan ke arahnya. Pria itu duduk di kursi yang ada di seberangnya, membuat Friska gugup dan bingung. Sesekali ia melirik Zafran yang tengah fokus bermain ponsel meskipun sedikit mengantuk.
"Berkas yang kemarin aku kirimkan lewat email sudah kau kerjakan?" Tanya Rafael sambil melirik Zafran, mengikuti ekor mata Friska yang terlihat gugup.
"Ehh, sudah, Pak. Ini hampir selesai. Nanti saya kirimkan."
"Itu anakmu."
"Apa?"
"Aku tanya, apa itu anakmu?" Tanya Rafael dengan nada sedikit meninggi, membuat Zafran yang mendengar itu sontak berlari ke arah mamanya dan memeluk perut sang mama.
"Iya, Pak. Ini anak saya." Jawab Friska gugup, ia lalu mengelus rambut Zafran, lalu mencium keningnya.
"It's oke, baby. Nggak apa-apa." Ucap Friska menenangkan, Rafael mengernyit tak suka. Entah kenapa ia sama sekali tidak menyukai kedekatan Friska dan anaknya.
"Apa perusahaan memberi izin kalau karyawannya boleh bekerja sambil mengasuh anak? Ini kantor, bukan taman kanak-kanak." Ucapan Rafael benar-benar menyiratkan rasa tidak suka. Membuat Friska segan sendiri.
"Maaf, Pak. Tapi adik saya yang biasa mengurusnya sedang sibuk. Zafran juga tidak punya pengasuh, jadi saya membawanya kemari. Lagi pula dia sudah besar dan tidak rewel."
"Tetap saja, nanti memberi contoh buruk bagi karyawan lain. Ingat jabatanmu, kau harus memberi contoh yang baik pada mereka. Bukan bertindak sesuka hati."
"Pak, saya rasa ini berlebihan. Anak saya tidak menggangu sama sekali dan karyawan lain juga tidak mempermasalahkannya."
Zafran semakin erat memeluk Friska, menatap takut pada Rafael yang melayangkan tatapan tidak suka pada anak kecil itu.
"Itu menurutmu, menurut karyawan lain, kau tidak tahu. Kali ini aku memaklumi, tapi jangan diulangi lagi."
Friska tampak tidak terima, namun enggan membantah atasannya itu. Mungkin ia harus menitipkan Zafran di penitipan anak jika Marcell dan dirinya sibuk. Friska tidak ingin Zafran ketakutan karena dianggap menganggu di sini.
"Baiklah. Nanti biar anak saya dijemput oleh adik saya. Mungkin sebentar lagi." Putusnya kemudian, enggan berdebat.
"Bagus. Jangan terlalu banyak membantah. Satu jam lagi ada rapat dengan PT Friptama. Usahakan dia sudah pulang sebelum rapat."
"Baik, Pak."
Friska mengangguk meski hatinya kesal bukan main. Rafaelpun tanpa mengatakan apapun lagi, pergi dari ruangannya Friska setelah mendelik tidak suka pada anak wanita itu.
Sepeninggal Rafael, Friska segera menggedong Zafran yang terlihat masih ketakutan. Anak itu memang belum mengerti sepenuhnya tentang pembicaraannya dan Rafael tadi. Namun, Friska yakin, Zafran menyadari tatapan tidak suka yang dilayangkan Rafael padanya.
"Jangan menangis, mama akan menghubungi Om Marcell agar menjemputmu kemari."
"Zafran takut mama. Orang itu tadi menakutkan. Matanya lebar seperti monster. Zafran takut." Zafran terisak lirih digendongan Friska, membuat Friska mengelus rambut putranya itu dan menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan.
"Oke oke. Nggak usah takut. Mama di sini."
Friska kemudian menghubungi Marcell sambil menggendong Zafran. Ia menyuruh adiknya itu segera menjemput Zafran ketika nanti pulang dari kampus. Friska berjanji pada dirinya sendiri, ini kali terakhir ia membawa Zafran kemari. Kasihan putranya yang tidak tahu apa-apa harus mendengar omongan pahit dari pria bajingan itu.
Sementara di tempat lain, Rafael masih memantau karyawan khususnya itu dari laptop di hadapannya. Tadi saat ia memantau gerak gerik Friska lewat Cctv, tidak sengaja melihat perempuan itu membawa anak ke kantornya.
Rafael kesal bukan main. Friska pikir kantor ini adalah taman kanak-kanak, mana bisa bekerja sambil seenaknya membawa anak seperti itu. Tanpa pikir panjang, Rafael segera menghampiri Friska dan memperingatkan wanita itu.
Selain tidak ingin kantornya menjadi taman kanak-kanak, entah kenapa Rafael tidak menyukai anak Friska. Membayangkan bagaimana Friska membuat anak itu dengan pria lain membuat Rafael mual dan kesal bukan main.
Memang sih tidak seharusnya seperti itu. Dulu ia hanya mempermainkan Friska, dan sekarangpun perempuan itu masih mainannya. Rasanya tidak adil jika Rafael ikut membenci anak yang tidak tahu apa-apa. Tapi entahlah, perasaan itu muncul begitu saja tanpa bisa dicegah setiap membayangkan Friska bahagia bersama anak dan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...