"Kak, kok kakak pucet banget. Lagi sakit ya? Aku perhatiin dua hari ini kakak kayak lemes gitu." Marcell yang sedang menyuapi Zafran tidak tahan untuk tidak bertanya. Ia perhatikan belakangan ini kakaknya tampak pucat dan lemas, tidak seperti biasanya yang selalu bersemangat.
Friska hanya menatap Marcell dan Zafran sekilas, kemudian menggeleng pelan. Ia meneruskan kembali sarapannya tanpa selera. Menyadari kakaknya tidak baik-baik saja, Marcell tidak bertanya lagi. Ia memilih diam dan fokus menyupi Zafran yang makan sambil berceloteh riang.
Melihat gambar bara api di ponsel Zafran, kepala Marcell mendadak pusing. Keringat dingin mengalir di keningnya, membuat Marcell terlihat pucat dan ketakutan.
"Marcell, kau baik-baik saja?" Menyadari wajah pucat adiknya, Friska segera berdiri dan menyentuh kening adiknya.
"Kau berkeringat dingin."
"Aku baik-baik saja, Kak. Mungkin kurang istirahat."
"Kalau begitu istirahatlah. Biar kakak yang menyuapi Zafran. Tidurlah pumpung hari ini kau tidak kuliah."
"Zafran bagaimana?"
"Biar kakak yang antar nanti."
"Kakak nggak capek?"
"Nggak kok. Nanti habis nganterin Zafran kakak langsung ke kantor."
"Kalau gitu aku istirahat dulu ya kak."
Friska mengangguk, Marcell kemudian berdiri, meninggalkan Zafran yang masih asyik berceloteh riang sambil bermain ponsel. Di dalam kamarnya, Marcell membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar dengan air mata yang mengalir di pipinya. Entah kenapa setiap melihat api, bayangan menakutkan itu kembali hadir dalam ingatannya.
Suara keributan yang Marcell tidak tahu sebabnya. Ia sekarang sedikit memahami jerit tangis ibunya saat itu. Ayahnya berselingkuh. Dulu Marcell tidak faham perselingkuhan itu apa. Sekarang ia memahami, ibunya dulu di khianati oleh ayahnya.
Wanita yang dulu adalah sekretaris ayahnya, kini berkuasa di rumah mereka. Meskipun sedikit demi sedikit ia sudah ingat dan faham apa yang dulu menimpa dirinya dan ibunya, Marcell enggan kembali ke keluarganya. Ia sudah bahagia bersama Kak Friska dan Zafran, tidak ingin mengingat masa lalunya lagi meskipun beberapa kali ia mengenali ayahnya di televisi dengan keluarga barunya.
Kenangan kecelakaan itu, tidak bisa hilang dari benaknya. Bagaimana ia dan ibunya hampir meledak di dalam mobil. Mereka berdua terlempar ke tepi jurang. Ibunya meninggal di tempat, sedangkan ia berlari kebingungan, sampai kedua orang tua Friska menyelamatkannya.
Sebenarnya waktu itu mereka berniat menyerahkannya ke kantor polisi. Namun Marcell menangis, takut jika kembali pada ayahnya yang begitu kasar pada ibunya. Suara pukulan itu terus menerus membayangi otaknya. Hingga akhirnya kedua orang tua Friska sepakat mengangkatnya sebagai anak dan menanggung biaya pengobatan paru-parunya. Sungguh mereka berdua adalah orang tua Marcell yang sesungguhnya setelah ibunya meninggal.
Selama ini Friska juga tidak pernah membahas asal usulnya. Mengurusnya dengan ikhlas tanpa pamrih. Bahkan meskipun orang tuanya sudah meninggal dan meninggalkan dirinya yang sakit-sakitan, Friska tidak pernah mengeluh sama sekali. Memberikannya pengobatan terbaik hingga ia bisa sehat seperti sekarang. Marcell berjanji, ia akan menjaga Friska dan Zafran sekuat tenaganya. Dan ayahnya, Marcell tidak mau bertemu pria itu lagi seumur hidupnya.
**
"Gila. Jadi si Friska mantan lo itu jadi kepala divisi keuangan di perusahaan lo. Gila gila gila. Kok bisa sih." Fano tidak bisa menutupi rasa terkejutnya saat mereka bertiga berkumpul di club malam, Rafael malah bercerita jika wanita mainan Rafael saat kuliah dulu malah jadi karyawan lelaki bejat itu. Sungguh apes sekali nasib Friska, batin Fano dalam hati.
"Gue juga nggak tahu. Dia dua tahun ini kerja di perusahaan induk. Di anak cabang prestasinya bagus. Jadi dipindahkan ke perusahaan induk."
"Ya jelas bagus. Otak dia emang encer banget. Dia dulu lulusan terbaik seangkatan kita. Ngalahin lo Raf."
"Nggak usah berlebihan deh, Von. Biasa aja lah. Cuma IPK segitu aja."
"Nyatanya emang dia pinter sih. Eh, terus terus, gimana. Dia ngasih penjelasan nggak kenapa waktu itu ninggalin lo."
"Nggak jelasin apa-apa dia. Tapi kayaknya intinya dia tahu deh kalau cuma gue jadiin mainan. Terus dia kabur. Sekarang statusnya udah janda. Berarti selama kabur dari gue, dia nikah sama orang lain. Shiiitt, benar-benar sialan perempuan itu."
"Seriusan dia udah janda?"
"Yap. Janda satu anak. Gue bener-bener nggak habis pikir."
"Terus sekarang gimana? Lo masih kesemsem sama dia kayak dulu."
"Ya nggak lah, Fan. Kurang kerjaan banget. Cewek goblok itu cuma cocok dijadiin mainan aja. Bukan pasangan."
"Terus yang cocok siapa? Alisa?"
"Gue nggak tahu. Yang jelas gue belum punya keinginan buat nikah. Males banget hidup dikekang sana sini. Penuh aturan-aturan nggak guna. Apalagi sama Alisa. Heeeeih, males banget gue bayanginnya." Rafael menyeruput wine-nya sambil memejamkan mata, menikmati setiap tegukan minuman memabukkan itu.
"Terus terus, gue masih penasaran sama si culun. Dia tetap culun kayak dulu atau berubah makin cantik? Atau jangan-jangan tambah nggak karuan." Tanya Fano penuh semangat. Penasaran dengan perubahan wanita udik tapi pintar itu.
"Gue juga heran, kenapa dia bisa jadi cantik kayak gitu. Padahal wajahnya tetap sama. Kok sekarang jadi cantik dan seksi." Jawab Rafael tanpa sadar, membuat Fano dan Devon saling berpandangan tidak percaya.
"Beneran, Raf. Gue kok jadi penasaran ya."
"Jangan macem-macem Von. Dia mainan gue."
"Kata lo tadi nggak minat."
"Nggak minat jadiin istri. Cuma minat gue jadiin gundik."
"Gila, Lo. Emang Friska-nya mau lo jadiin gundik?"
"Mau nggak mau dia harus mau, Fan. Dia nggak punya pilihan dan gue nggak ngasih dia pilihan."
Ketiganya tergelak, kemudian minum wine bersama-sama. Suara musik yang berdentum keras membuat otak ketiganya fresh. Plus, menatap wanita cantik yang berlenggak lenggok membuat mata mereka bening seketika.
"Lo udah ngapain aja sama si Friska?" Tanya Fano sambil tersenyum menyebalkan, Rafael menatapnya jengah.
"Ya udah ngewe lah. Emangnya ngapain lagi."
"Dianya mau aja?"
"Ya nggak. Gue paksa. Gue iket."
"Gila lo. Itu kejahatan, Man."
"Mana gue peduli. Dia sok-sokan mau nolak gue, nggak bisalah. Dan lagi, dia masih legit kayak dulu. Mungkin dulunya suaminya mati muda. Jadi mereka masih bentaran gituannya."
"Lo kok sempat-sempatnya mikir sampai segitunya Raf."
"Von, dia masih sempit banget. Padahal udah pernah bunting dan lahiran. Dia kayak masih perawan aja. Kaku banget."
"Kok gue jadi penasaran. Boleh nyoba nggak Raf." Fano mengedipkan sebelah matanya, membuat Rafael yang meminum wine-nya hampir saja tersedak.
"Jangan macem-macem. Friska punya gue."
"Posesif amat. Kayak cuma lo aja yang nidurin dia. Lo lupa, dia janda, Man."
"Eh, tunggu tunggu. Jangan berdebat dulu."
"Ada apa sih, Von. Serius amat."
"Lo udah lihat anaknya Friska?" Tanya Devon dengan mimik muka yang sangat serius.
"Belum, emang kenapa?" Rafael menggeleng seperti orang bodoh, kemudian kembali meminum wine-nya.
"Lo nggak mikir, Raf. Jangan-jangan itu anak lo."
"Uhuk, uhuk!!"
Fano dan Rafael tersedak bersamaan saat mendengar perkataan Devon. Ketiganya saling menatap bingung. Keadaan di sekitar mereka seketika hening meskipun suara musik masih berdentum-dentum dengan kerasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...