Friska menangis sesenggukan saat terbangun dari tidurnya. Ia memiringkan tubuhnya sambil meremas selimut. Sudah jam 12 malam dan ia tidak mungkin pulang karena tidak memiliki pakaian. Menyuruh Marcell kemari di jam segini, ia juga tidak tega.
Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Beberapa saat kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Friska enggan menoleh, ia tidak ingin melihat wajah bajingan itu lagi. Besok Friska akan mengundurkan diri, terlalu beresiko bekerja di kantor ini. Sewaktu-waktu ia bisa jadi korban pelecehan lagi.
"Pakaianmu sebentar lagi diantar oleh Alfred. Ini sudah jam 12 malam, sebaiknya kita tidur di sini. Makan malam kita juga sebentar lagi di antar oleh Alfred."
Dari nada bicaranya, pria itu tidak merasa bersalah sama sekali. Friska yakin, Rafael sudah merencanakan ini semua. Pria itu sengaja membuatnya lembur agar bisa memperkosanya. Sungguh benar-benar tindakan yang keji. Friska akan melaporkan hal ini ke kantor polisi.
Friska sama sekali tidak menoleh saat terdengar pria itu membuka lemari, mungkin untuk mengambil pakaian dan memakainya. Pria itu kemudian keluar dari ruangan, entah kemana, Friska tidak peduli. Saat ini, ia hanya ingin menangis, itu saja.
Beberapa saat kemudian, suara pintu yang terbuka kembali terdengar. Rafael kembali. Pria itu sudah memakai kaos oblong dan celana pendek, meletakkan paper bag di atas nakas, menatap Friska yang menangis dengan tatapan biasa. Tidak ada tatapan bersalah sama sekali.
"Ini pakaian barumu. Mandi dan pakailah. Setelahnya kita makan malam. Tadi makan malammu pasti tertunda karena lembur. Aku tunggu lima belas menit lagi. Sebaiknya jangan membantah atau kau ingin yang terjadi tadi terulang kembali."
Setelah mengatakan kalimat itu, Rafael berjalan menuju balkon. Pria itu duduk di balkon sambil merokok. Friska yang ketakutan kemudian beranjak ke kamar mandi dengan selimut yang dililitkan ke dada. Wajahnya masih sembab dan Friska juga tidak selera makan. Namun, karena takut dengan ancaman Rafael tadi, ia memilih menurut.
Friska mandi sedikit lama. Ia ingin Rafael makan terlebih dahulu kemudian ia makan sendiri. Friska masih canggung dan takut jika berhadapan dengan pria itu secara langsung. Mengingat apa yang dilakukan Rafael tadi, masih membekas di benak Friska.
Namun, alangkah apesnya Friska. Setelah keluar dari kamar mandi, ia melihat Rafael duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Di hadapan pria itu tersaji dua piring steak Wagyu kesukaannya dan dua gelas orange jus. Friska heran, dari mana jam segini Rafael mendapatkan makanan seperti itu.
"Pakai pakaianmu dan kemarilah. Jangan bengong seperti orang bodoh."
Mendengar perkataan ketus Rafael, Friska segera tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng cepat kemudian berjalan menuju nakas, mengambil pakaian ganti yang dibelikan oleh Rafael.
"Pakai saja di situ. Tidak usah ribet ke kamar mandi."
Friska memejamkan matanya, merasa terhina dengan semua ucapan Rafael. Namun begitu, ia menuruti perkataan lelaki itu untuk ganti baju di kamar, tidak ke kamar mandi. Setelahnya, ia membuka ponsel dan mengirimi pesan pada Marcell bahwa ia lembur agar adiknya itu tidak mencemaskannya.
Setelah selesai, Friska yang pucat seperti mayat hidup duduk di hadapan Rafael. Wanita itu tampak tidak memiliki tenaga dan malas bicara, membuat Rafael kesal sendiri melihatnya.
"Ayo makan. Setelah itu tidurlah. Kita tidak usah pulang malam ini, tidur di sini saja."
Friska tidak menjawab. Ia memakan steak-nya tanpa minat. Berusaha menikmati setiap gigitan meskipun daging empuk itu entah kenapa jadi terasa alot. Namun begitu, Friska tetap memakannya tanpa bicara sama sekali.
"Besok kau boleh istirahat. Pekerjaanmu tidak banyak. Kalau kau ingin cuti, cutilah. Jika kau selalu menurut begini, aku jamin hidupmu akan baik-baik saja. Seperti dulu. Kau bisa mendapatkan apapun asal menurut padaku." Friska tidak menjawab. Ia terus makan dan minum, mengabaikan semua ucapan Rafael.
Mereka makan dalam diam. Rafael terlihat sangat menikmati, sedangkan Friska seperti zombie yang makan. Wajahnya pucat dan tidak ada ekspresi sama sekali.
Setelah selesai, Friska berdiri kemudian berjalan menuju ranjang. Ia merebahkan tubuhnya. Tidak mempedulikan keberadaan Rafael. Friska ingin pulang, namun mengingat sudah tengah malam, ia takut menjadi korban kejahatan lagi. Jangan sampai ia malah dua kali jadi korban kejahatan. Mengerikan.
Rafael sendiri memilih kembali merokok. Bingung dan kesal dengan sikap dingin Friska. Mungkin perempuan itu syok dengan apa yang terjadi. Namun, jika terus diam seperti ini, entah kenapa Rafael juga kesal sendiri.
Rafael berjalan menuju ranjang dimana Friska sedang berbaring. Ia menatap kesal pada wanita angkuh yang kini tidur memunggunginya. Rafael bercak pinggang, kemudian menghembuskan napas kasar.
"Berhenti bersikap seperti itu. Aku tahu kau marah. Tapi aku ingatkan, kau wanitaku sekarang, kau juga bekerja di perusahaanku. Jadi, belajarlah patuh seperti dulu. Selain memudahkanmu bekerja, posisimu di kantor juga akan semakin kuat."
Mendengar perkataan Rafael, amarah Friska menggelegak seketika. Ia bangun dari tidurnya kemudian berdiri, menatap Rafael dengan tatapan berang. Apa Rafael lupa, ia di sini karyawan, bukan pelacur.
"Dengar Rafael, aku bukan budak bodohmu seperti dulu. Aku juga bukan pelacur, aku karyawanmu. Setidaknya hormati aku. Jika kau berani macam-macam padaku lagi, aku akan melaporkanmu pada polisi, camkan itu!!"
"Jangan menunjukkan jarimu ke wajahku wanita sialan!! Patuhlah agar mudah bagi kita berdua!!"
"Aku tidak sudi!!"
Keduanya saling bertatapan sengit, membuat amarah Rafael memuncak. Friska yang sekarang memang sudah berbeda dengan dulu. Tapi, apapun itu, perempuan itu harus tahu bahwa dirinya berada di bawah kekuasaan Rafael.
"Kau harus diberi pelajaran sekali lagi, agar mulut besarmu itu bungkam."
Rafael meraih tubuh Friska kemudian membantingnya ke ranjang. Friska melotot, ia hendak melawan dan berteriak namun semuanya percuma. Malam itu, ia kembali menerima pelecehan untuk yang kesekian kalinya.
**
Marcell melihat jam sudah melewati tengah malam. Ia belum bisa tidur karena kakaknya belum pulang. Tidak biasanya kakaknya itu lembur. Dan kalaupun lembur, harusnya sudah pulang dari tadi.Berulang kali ia menghubungi kakaknya, namun tidak di angkat. Zafran bahkan sudah tidur karena kelelahan menunggu mamanya. Sebenarnya kakaknya kemana? Marcell tidak bisa tidur sebelum mendapatkan kepastian dari kakaknya itu.
Mengingat apa yang sudah terjadi beberapa tahun ini, Marcell selalu mencemaskan kakaknya. Ia tidak tahu siapa yang menghamili kakaknya hingga terpaksa membesarkan Zafran seorang diri. Dulu, ia masih sangat kecil untuk mengerti masalah ini. Marcell hanya bingung dan tidak berani bertanya.
Kakaknya hanya mengatakan agar berterima kasih pada dokter Salman yang sudah banyak membantu mereka. Malam itu, saat mereka terjebak hujan lebat, dokter Salman lah yang membantu mereka, bahkan memberikan tempat tinggal sementara karena iba dengan nasib mereka berdua. Bahkan dokter Salman membantu membuat pernikahan fiktif agar Zafran bisa di akui negara.
Sekarang Marcell bertanya-tanya, siapa yang menghamili kakaknya jika bukan dokter Salman. Wajah Zafran juga tidak mirip dokter Salman. Apa kakaknya dulu korban kejahatan atau apa, Marcell masih menyelidikinya meskipun tidak berani bertanya pada Friska.
Suara pesan masuk membuyarkan Marcell dari lamunannya. Ia menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar di sofa. Pesan dari kakaknya. Syukurlah, Marcell bisa menghembuskan napas lega.
Kakak lembur dan tidur di kantor dengan teman-teman kakak. Tidurlah terlebih dahulu, jaga Zafran.
Pesan singkat itu membuat Marcell sedikit lega. Setidaknya kakaknya baik-baik saja. Ia berdiri, kemudian berjalan menuju kamarnya. Sudah tengah malam dan Marcell tidak mau bangun kesiangan karena ia besok juga harus mengurus Zafran.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomansaBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...