Marcell sedang sibuk membersihkan rumah saat Friska dan Zafran tidak ada. Kakaknya itu pagi-pagi sudah berangkat bekerja, sedangkan Zafran sudah berangkat sekolah. Jadi Marcell memutuskan bersih-bersih karena karena dapurnya masih berantakan karena ulah si centil Syafa. Kasihan juga jika Friska yang harus bersih-bersih.
Setelah membersihkan dapur, ruang tamu dan halaman, Marcell masuk ke dalam kamarnya. Ia bermaksud istirahat karena tubuhnya sangat lelah. Namun, ketika punggungnya hendak menyentuh kasur, suara bel pintu mengurungkan niatnya.
Marcell berdiri, kemudian berjalan menuju ruang tamu. Ia membuka pintunya dan berniat menyemprot siapapun yang mengganggu istirahat siangnya. Biasanya tukang sayur. Namun, saat melihat siapa yang memencet bel rumahnya tadi, Marcell sontak membatu di tempat.
Mau apa pria itu kemari? Apa kemarin pria itu mengenalinya?
"Anda." Pria itu tersenyum, membuat Marcell semakin keheranan.
"Ya, aku. Bisa kita bicara?"
"Maaf, ada perlu apa Anda kemari? Sepertinya kemarin saya sudah minta maaf karena tidak sengaja menabrak Anda."
"Boleh aku masuk? Agar kita bisa bicara dengan baik. Tenang saja, aku bukan orang jahat dan aku yakin kau tahu betul akan hal itu." Rendi tersenyum hangat penuh arti, membuat Marcell yang tadinya membantu, secara tidak sadar menggeser tubuhnya, memberi akses pada tamunya itu untuk masuk.
Pria itu berjalan sambil sesekali memperhatikan sudut rumah Marcell kemudian duduk di sofa, Marcell menyusul duduk di seberangnya. Dan, Marcell harus menahan diri mati-matian untuk tidak menghajar pria yang sudah membuat mamanya meninggal itu. Tapi, bagaimanapun juga sekarang mereka tidak saling kenal, hubungan ayah dan anak mereka sudah berakhir saat ayahnya itu berselingkuh dan mengusir ibunya.
"Bagaimana kabarmu? Aku yakin kau masih mengenaliku." Rendi menatap putranya penuh kerinduan, sedangkan Marcell hanya menatap datar pada ayahnya itu, tidak bergeming sama sekali.
"Maafkan papa baru menemukanmu sekarang. Maafkan papa yang mudah putus asa mencarimu dulu. Asal kau tahu, papa tidak pernah berhenti memikirkanmu. Papa sangat merindukanmu."
Keduanya terdiam sejenak. Marcell bersedekap, tidak tersentuh sama sekali oleh ucapan ayahnya barusan. Dari umur enam tahun hingga sekarang, jasadnya tidak ditemukan, bagaimana mungkin seorang ayah menyerah secepat itu. Mungkin satu alasannya, ayahnya memang tidak pernah menginginkannya yang kala itu sakit-sakitan.
"Jika Tuan kemari hanya untuk bicara omong kosong itu, sebaiknya Anda pulang. Saya lelah dan ingin istirahat."
"Revan, papa masih ingin bicara."
"Bicara apa? Kalau hanya bicara omong kosong tentang betapa rindunya anda pada putra anda yang sudah meninggal, datang saja ke makamnya. Jangan kemari."
"Tapi dia belum meninggal. Dia ada di sini dan terlihat sangat baik. Papa sangat bahagia, Van."
"Tidak usah menipu saya dan diri anda sendiri. Tidak akan ada yang percaya ucapan laki-laki yang menyelingkuhi istrinya. Dan ketika terbongkar malah mengusir anak dan istrinya. Satu hal yang saya sadari, mungkin anak seperti saya merepotkan bagi Anda. Hingga tidak ada sedikitpun rasa kehilangan saat mama meninggal dan saya hilang waktu itu."
"Tidak seperti itu, Van. Kecelakaan saat itu sangat parah. Papa sudah berusaha keras mencarimu, tapi sama sekali tidak ada hasil. Semua orang mulai menyakinkan papa kalau kau sudah meninggal. Dan dengan bodohnya papa percaya begitu saja."
"Bukan semua orang. Hanya satu orang dan papa begitu mempercayainya. Bahkan ketika tidak ada bukti saya meninggal, Anda tidak ada niat mencariku sama sekali."
"Van, papa menyesal. Sungguh, andai waktu bisa diulang, saat itu pasti papa akan menahan kalian agar tidak pergi. Tidak bisakah kita berdamai sekarang dan melupakan semuanya. Kembalilah pada papa. Kau putra papa satu-satunya, semua milik papa adalah milikmu."
"Sayangnya saya tidak tertarik. Anda berikan saja semuanya pada Alisa dan wanita simpanan Anda itu. Saya tidak mau menerima sepeserpun. Sejak dimana Anda mengusir saya dan mama saat itu, saya sudah bukan putra Anda lagi."
"Van, tolong jangan seperti ini. Kau anak papa, bukan Alisa atau siapapun. Jadi, semua milik papa adalah milikmu, bukan orang lain."
"Tolong pergilah. Hentikan semua omong kosong ini. Mungkin mudah bagi Anda menyuruh saya melupakan semuanya. Namun, pernahkah anda berpikir jika anda adalah saya. Saya trauma seumur hidup karena kecelakaan itu. Saat itu bahkan saya memohon-mohon pada orang yang menolong saya agar tidak dipulangkan. Hingga mereka sepakat mengadopsi saya. Bahkan dengan ekonomi yang pas-pasan, mereka begitu menyayangi saya dan memberikan pengobatan yang terbaik. Kak Friska bahkan harus bekerja siang malam tanpa henti demi membayar biaya operasi saya. Saat itu, Anda dimana. Bersenang-senang dengan selingkuhan Anda dan putri bawaannya?"
"Van, tidak seperti itu!"
"Lalu saya harus berpikir seperti apa? Bahkan mungkin Anda senang saya tidak menjadi beban Anda lagi."
"Kau bukan bebanku, Van. Kau putraku."
"Keluarga saya sekarang adalah Kak Friska dan Zafran. Keluarga Anda Alisa dan mamanya. Jadi, kita urus keluarga masing-masing. Anggap saja kita tidak pernah mengenal sebelumnya. Jika bertemu di suatu tempat, anggap saja kita tidak pernah saling kenal."
Rendi menghembuskan napas berat, mungkin bukan sekarang saat yang tepat untuk bicara dengan putranya. Revan sedang emosi, mungkin solusi terbaik adalah memberikan putranya itu waktu.
"Baiklah, papa tidak akan memaksamu. Tapi asal kau tahu, semua milik papa akan papa atas namakan menjadi milikmu. Setelah papa meninggal, kau pewaris tunggal papa. Sekarang tidak masalah kau menolak. Tapi, papa harap suatu saat nanti kau mau menerimanya dan juga memaafkan papa. Asal kau tahu, papa sangat menyayangimu. Sekarang papa pulang dulu."
Rendi berdiri, kemudian keluar dari rumah Marcell tanpa mengatakan apapun lagi. Ia berharap, setelah ini putranya itu mau berpikir untuk menerima semua miliknya dan milik almarhum ibunya. Bagaimanapun juga, Marcell pewaris sah, bukan Vena atau Alisa. Hanya Marcell pewaris asli dan satu-satunya untuk semua hartanya.
**
Alisa datang ke kantor Rafael dengan wajah penuh sukacita. Dulu, sewaktu perusahaan ini di pegang oleh papanya Rafael, Alisa jarang sekali berkunjung, hanya sesekali karena ia harus sedikit mencari muka.
Sekarang berbeda. Rafael sudah pulang total dan berkantor di sini. Calon suaminya itu pewaris utama perusahaan ayahnya, jadi Alisa harus menekan egonya agar lebih bisa memahami Rafael. Pria itu kaya raya, jadi Alisa harus sedikit lebih bersabar agar cita-citanya menjadi nyonya kaya raya terkabul.
Hari ini ia dan Rafael janjian untuk membahas rencana pernikahan mereka. Kali ini ia harus lebih bersabar membujuk Rafael, itu kata mamanya kemarin. Entah kenapa papa Rendi belum juga mengesahkannya sebagai pewaris sah. Jadi untuk berjaga-jaga, ia harus segera menundukkan Rafael bagaimanapun caranya agar posisinya aman.
Lift berdenting dan Alisa keluar dari kotak besi itu. Ia berjalan sumringah menuju ruangan Rafael sambil sesekali menyapa karyawan pria itu. Hingga tidak sengaja, ia menabrak seseorang yang keluar dari salah satu pintu.
Alisa hampir saja oleng. Ia mengumpat marah sambil memelototi orang yang baru saja menabraknya. Dan mata Alisa bertambah melotot ketika menyadari siapa yang ia tabrak.
"Kau, mau apa kau kemari!!" Tanya Alisa marah sambil menunjuk perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Friska. Perempuan sok lugu yang dulu waktu kuliah berhasil merebut perhatian Rafael darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomanceBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...