Rafael mengetuk-ngetuk pulpennya di meja. Sesekali ia memutar kursi kebesarannya. Wajahnya tampak berpikir keras, entah penting atau tidak yang sekarang ini ada di dalam pikirannya.
Sudah dua hari ini, Rafael terus saja membaca informasi tentang Friska, si budak culun dan bodoh yang sayangnya sekarang menjadi cantik. Entah bagaimana perasaannya sekarang, yang jelas, dengan status wanita itu yang sudah tidak bersuami, Rafael pikir tidak salahnya bermain-main lagi dengan si culun.
Namun, ketika mengingat si culun itu dulu meninggalkannya tanpa kabar, entah kenapa membuat Rafael kesal sendiri. Berani-beraninya si bodoh itu meninggalkannya, benar-benar tidak masuk akal. Seharusnya ia yang meninggalkan si bodoh itu, bukan sebaliknya.
Apa jangan-jangan Friska dulu tahu ia bertunangan dengan Alisa? Tapi, siapa yang berani membocorkan hal itu? Dan lagi, kenapa Friska tidak mengkonfirmasi padanya? Malah pergi diam-diam. Apa mungkin saja alasannya bukan itu. Rafael kesal sendiri pada otaknya yang kurang kerjaan memikirkan Friska, masa lalu itu sama sekali tidak penting sekarang. Yang terpenting, saat ini budak bodoh itu akan menjadi budaknya kembali.
Kemarin, Rafael secara diam-diam memperhatikan wanita itu dari atas sampai bawah. Lumayan berubah drastis. Dan Rafael yakin, wanita itu masih sama menggairahkannya seperti dulu. Ditambah bodi dan seksi dan matang, Rafael yakin, Friska akan sangat memuaskan ketika terdampar di tempat tidurnya.
Rafael meraih interkom yang ada di mejanya. Pria itu menghubungi Romi, asisten pribadinya.
"Romi, suruh Pak Malik dan Pak Riko ke ruanganku sekarang. Dan jangan lupa, panggil kepala divisi keuangan. Kita akan rapat mendadak jam sebelas siang."
"Baik, Pak. Ada lagi?"
"Tidak, itu saja." Rafael menutup interkomnya sambil tersenyum miring. Friska, saatnya bermain-main lagi dengan wanita itu. Pasti sangat menyenangkan bisa reuni dengan wanita itu di atas ranjangnya. Rafael benar-benar tidak sabar menantikannya.
**
Friska gugup saat hendak mengetuk pintu ruangan Pak Rudi yang kini di tempati oleh anaknya yang brengsek itu. Sejujurnya ia gugup, beberapa kali menarik napas kemudian membuangnya. Begitu terus sebanyak empat kali, hingga Friskapun akhirnya memberikan diri untuk mengetuk pintu dan masuk.
Di dalam ruangan itu, sudah ada Pak Riko dan Pak Malik yang menunggunya. Tidak ketinggalan bajingan brengsek yang kini tersenyum miring padanya. Entah apa arti senyuman itu, Friska tidak mau berpikir. Ia hanya menunduk hormat pada ketiganya, kemudian bergabung duduk di sofa saat Rafael menyuruhnya.
"Ini yang saya ceritakan tadi Pak Rafael. Friska Aryani, dia kepala divisi keuangan yang sangat handal. Pak Rudi sangat mengandalkannya. Selain cantik, Friska juga sangat pintar, kompeten dan juga cekatan. Jika bapak ingin pembahasan mengenai keuntungan perusahaan, Friska bisa menjabarkannya dengan sangat baik sekarang."
Riko memperkenalkan Friska dan menatap wanita itu penuh kekaguman. Sudah jadi rahasia umum jika GM itu menaruh hati pada Friska, namun karena tidak tanggapan darinya, Riko mungkin memilih menahan diri.
"Jadi, Nona Friska adalah kepala divisi keuangan di sini, sudah lama?"
"Baru dua tahun Pak." Jawab Friska diplomatis sambil tersenyum hangat.
"Oooh, sebelumnya?"
"Di anak perusahaan, Pak."
"Maaf, soalnya saya baru lihat sekarang. Selama dua tahun ini saya juga terkadang berkunjung kemari meski tidak sering. Tapi, saya baru melihat Anda sekarang. Saya benar-benar ketinggalan informasi jika ada karyawan secantik dan secakap Anda."
Friska tersenyum kikuk, tidak enak hati pada pujian Rafael. Meskipun Riko dan Malik terlihat santai, entah kenapa Friska jadi gugup sendiri. Ia merasa tatapan Rafael seolah mengulitinya.
"Baiklah, kita mulai rapatnya. Meskipun papaku dan Romi sudah menjelaskan garis besarnya padaku, aku ingin mendengar sendiri dari kepala divisi keuangan kita. Karyawan yang sangat di andalkan oleh papaku, ia terus-terusan memujimu hingga aku sangat penasaran dengan kenerjamu."
"Papa Anda terlalu berlebihan, Pak. Saya hanya bekerja sesuai tugas saya."
"Pekerjaan Anda sangat mengagumkan Bu Friska. Saya yakin Pak Rafael akan mengagumi kecakapan Anda." Malik tak kalah memuji. Laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya itu juga menaruh hati padanya. Namun sekali lagi Friska menjaga jarak, tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya hanya karena seorang pria.
"Heeem, tampaknya saya semakin penasaran dengan kinerja Anda. Presentasikan sekarang. Saya ingin melihat dan mendengarnya langsung."
Meskipun Rafael juga sangat yakin dengan kemampuan Friska, ia ingin menguji perempuan itu. Apa benar sebagus yang dikatakan oleh papa dan para bawahannya. Perempuan itu memang berotak encer, dan mendengar semua presentasi Friska disertai bukti-bukti yang akurat dari keterangannya, Rafael mengakui bahwa semua yang dikatakan papanya memang adalah fakta.
Setelah selesai, Friska membungkuk hormat kemudian duduk kembali. Rafael bertepuk tangan ringan, membuat Malik maupun Riko ikut kagum dengan kemampuan wanita itu. Cantik, cerdas, mandiri dan cakap dalam segala hal. Ditambah, berstatus janda. Meskipun sudah memiliki satu anak, tetap saja tidak mampu meredupkan pesona Friska dari lawan jenisnya.
"Bagus sekali. Keterangan Anda sangat mudah di pahami. Pantas saja papa saya memuji Anda setinggi langit. Anda memang sekompeten itu. Saya menyukai cara kerja Anda." Friska tersenyum hangat dan sopan, membuat Malik dan Riko ikut bangga mendengar pujian bosnya itu pada pujaan hati mereka. Meskipun Friska tidak pernah merespon keduanya, Riko dan Malik sepakat untuk bersaing secara sehat, tidak saling tikung.
"Baiklah, rapat selesai. Saya akui, saya kagum dengan kinerja Anda Bu Friska. Kapasitas Anda melebihi ekspektasi saya. Tapi, nanti setelah ini, bisa kita bicara sebentar. Ada yang ingin saya bahas berdua dengan Anda. Bisakah Pak Malik dan Pak Riko meninggalkan kami berdua."
Malik dan Riko saling pandang, kemudian mengangguk setuju. Sedikit heran dengan sikap atasan baru mereka. Bukankah tadi sudah dibahas semua seputar keuangan perusahaan, lalu apa lagi yang akan dirapatkan berdua dengan Friska?
Namun, karena itu bukan urusan mereka, Malik dan Riko memilih keluar ruangan sesuai arahan Rafael, bos muda mereka. Sedangkan Friska sendiri, kini gemetar sambil meremasi kedua tangannya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Rafael. Friska memejamkan matanya, kemudian menatap Rafael sambil tersenyum hangat.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak? Kalau untuk laporan keuangan, semua sudah saya bahas tadi. Untuk kekurangannya, bapak bisa kirim Email tentang apa yang ingin Bapak ketahui nantinya."
Rafael tersenyum miring, menatap Friska yang seksi dari atas sampai bawah. Membayangkan membuka rok span wanita itu dan menjilati bagian dalamnya, membayangkan jika payudara yang besar dibalik kemeja dan blazer itu ada di dalam mulutnya.
Shiiitt, milik Rafael menegang seketika.
Sementara Friska yang ditatap terang-terangan dengan tatapan melecehkan seperti itu sontak merapatkan kedua kakinya dan berdehem, berusaha sebaik mungkin agar hubungan mereka profesional sebagai atasan dan bawahan. Sungguh, Friska memohon kepada Tuhan agar Rafael bisa bersikap profesional seperti dirinya, hanya itu keinginannya.
"Friska sayang, bagaimana kabarmu? Kau tidak mungkin melupakan aku kan?" Tanya Rafael sambil menatap Friska penuh minat. Friska melotot, tidak menyangka kata-kata Rafael yang keluar pertama kali adalah kata-kata seperti itu. Friska sontak menelan ludahnya, menetralisir rasa takut yang mulai berkecamuk di hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex Slave (On Going)
RomansaBest seller 21+ Rafael Sebastian Hartono tidak menyangka, sepulangnya ia dari Amerika dan kini ditugaskan di perusahaan induk ayahnya, membuatnya bertemu seseorang yang sudah ia lupakan. Wanita pintar secara akademik tapi culun dan bodoh dalam hal...