Chapter 60

1K 73 4
                                    

Happy Reading!!!


Suara dering telepon membuat mereka menatap sang empu telepon. Arga –yang merupakan ayah Vando- mengangkat telepon saat melihat nomor asing menghubunginya. Di seberang sana terdengar suara berat seorang pria.

"Halo Pak Arga! Bagaimana kabar Anda?" Tanya seseorang di sambungan telepon dengan nada mengejek.

" Siapa kamu? Dimana kamu sembunyikan anak saya?" Tanya pria itu geram.

"Santai dong, gitu aja marah," kekeh orang itu melihat tipisnya kesabaran Arga.

Detektif dengan kacamata itu menatap Arga dan menyuruhnya untuk me-load speaker agar mereka bisa mendengarnya.

"Ulur waktu!" Ujar detektif itu –tanpa suara- yang diangguki oleh Arga.

"Bang Hen, gue nemuin sesuatu di dalam." Ujar seorang pria yang sebelumnya masuk ke dalam ruangan bersamaan dengan pria yang dipanggil Hen itu.

"Lama amat nemuin itu doang, padahal dah gue kasih clue loh.." Sahut pria di seberang telepon yang mendengar percakapan mereka.

"Jangan main-main dengan saya! Cepat kembalikan putri saya!" Ujar Arga terbawa emosi merasa dipermainkan oleh orang itu.

"Hahahah, calm down pak tua, lo tinggal datang ke tempat lo bunuh adik gue beberapa tahun yang lalu. Masih ingat kan?" Mereka semua terdiam mendengar ocehan orang itu.

"Jangan bilang kau lupa pak tua? Waahh, aku takjub sekali dengan mu," sarkas pria itu saat tak mendengar balasan apapun dari pria yang disebutnya pak tua.

"Ku beri waktu dua jam dari sekarang, kalau tidak siap-siap saja berpamitan pada putrimu yang lemah ini." Ujarnya lalu mematikan sambungan telepon.

"Kau tau tempatnya?" Tanya pria yang dipanggil Hen tadi. Arga yang masih mencerna menggangguk ragu begitu ditanya.

"Yah?" Tanya Vando melihat sang ayah tertegun.

"Apa maksudnya?" Tanyanya dengan suara tercekat.

Keterdiaman Arga membuat Vando tak tahan, pria itu mulai emosi melihat ayahnya yang tak bereaksi apa-apa seolah mengiyakan perkataan orang itu.

"Jawab Yah! Yang dibilang orang itu nggak bener, kan?" Tanya Vando menggoyangkan pundak Arga dengan suara tercekat.

"Sudah, lebih baik sekarang kita temukan lokasi Tata dulu. Kita hanya mempunyai waktu dua jam." Detektif Hen yang meilhat situasi kurang kondusif menjadi penengah di antara anak dan ayah itu.

"Tenang Van, kita bisa bicarain itu nanti. Kita harus nemuin Tata dulu." Rafael menarik Vando ke dekatnya untuk menenangkan pria itu.

"Ar, lo tau dimana tempat yang dibilang orang itu?" Tanya Detektif Hen menatap Arga.

***

Tata tersadar dari pingsannya. Gadis itu menatap sekeliling dengan takut. Gelapnnya ruangan dan rasa dingin yang menusuk tulang membuat mentalnya kembali tertekan. Namun, gadis itu berusaha tetap kuat dan memikirkan cara agar keluar dari tempat ini. Sungguh nafasnya sesak lama-lama berada di ruangan ini. Ia ingin pulang dan memeluk Bunda untuk membuatnya tenang. Ia ingin menangis dan menumpahkan segalanya pada sang bunda.

"Bundaaa... Tata takut," lirihnya saat tak mendapati celah untuk keluar dari ruangan ini. Semuanya tertutup, sayup-sayup gadis itu melihat sekitar, namun tak mendapati celah berupa cahaya yang dapat membantunya keluar dari sini. Sepertinya hanya pintu itu satu-satunya jalan agar ia bisa keluar dari ruangan ini. Gadis mungil itu menelungkupkan kepalanya diantara lututnya. Darah yang sudah mengering di telapak tangannya tak ia hiraukan. Malah kedua tangannya saling meremas karena rasa takut yang kini hinggap.

Dalam renungannya Tata mendengar suara pintu terbuka hingga Tata menatap ke arah sumber suara. Ruangan yang awalnya gelap itu sekarang diterangi lampu temaram bersamaan dengan seorang pria datang menghampiri gadis itu. Dapat ia lihat sekeliling ruangan yang sepertinya bekas kebakaran dengan beberapa barang hangus dan sebuah tali menggantung di tengah-tengah ruangan.

Tata menelan ludah melihat tali itu meninggalkan jejak hitam di sekitar lingkarannya. Bukan itu yang membuatnya takut, melainkan tali baru yang sepertinya sudah disiapkan di samping tali terbakar itu. Pikirannya melayang kemana-mana, terlebih melihat orang itu menyeringai kepadanya. Pria yang tadi memberinya –memaksanya menggenggam- mawar hingga tangannya terluka. Tapi kali ini ia merasa tak asing dengan waja itu. Apa karena ia sudah melihatnya tadi?

Tidak, sepertinya ia memang pernah bertemu pria itu sebelumnya. Bau parfum yang yang tadi tidak tercium sekarang membuatnya menatap orang itu dengan raut wajah berusaha mengingat lantaran baunya yang tak asing.

"Sudah ingat baby girl?" Pria itu menyunggingkan senyum saat melihat Tata yang berusaha mengingatnya.

"Kamu?"

***

"Ayah yakin ini tempatnya?" Tanya Vando melihat kondisi rumah sakit ini yang tak berpenghuni. Suasana sekitar terasa mencekam hingga membuat bulu kuduk merinding.

Vando, Rafael, Edgar, Arga, dan Detektif Hendra serta timnya menelusuri gedung terbengkalai ini. Alden dan Vito sudah disuruh pulang oleh Arga, tak lupa mengamankan korban yang mereka temukan di gedung sebelumnya.

"Lebih baik kita berpencar untuk menghemat waktu." Saran Detektif Hendra.

Saat ini mereka berada di lantai dasar rumah sakit jiwa yang sudah ditutup. Waktu dua jam yang diberikan oleh penculik Tata sudah hampir habis. Hal itu dikarenakan jarak dari gedung sebelumnya hingga gedung ini memakan waktu yang tak sebentar.

"Kamu tahu ruangannya dimana?" Tanya Detektif Hendra kepada Arga.

"Sepertinya di lantai 3, tapi aku tidak ingat ruangannya." Ujar pria paruh baya itu sembari mengingat.

Rumah sakit ini cukup luas, namun bekas bangunan yang roboh dan seperti jejak kebakaran membuatnya terlihat menyeramkan.

Mereka sampai di tangga yang akan menuntun mereka ke lantai tiga, akan tetapi beberapa orang pria menghadang mereka disana. Tak ada pilihan lain selain menghadapi orang-orang itu, terlebih waktu yang kian menipis membuat mereka harus bergerak secepat mungkin.

"Kalian hadapi mereka disini!" Titah Detektif Hendro kepada timnya.

Selagi beberapa orang itu saling adu kekuatan, mereka melanjutkan jalan menuju lantai tiga. Disana ternyata sudah ada yang menunggu mereka. Siapa lagi kalau bukan kumpulan pria yang siap menghadang mereka.

Orang-orang berbaju hitam itu langsung menyerang dengan membabi buta seolah sudah menantikan kehadiran mereka. Untungnya orang-orang itu tak banyak, jadi mereka bisa membagi tugas. Arga segera mencari ruangan yang sekiranya menjadi tempat putrinya disekap.

Waktu yang diberikan pria itu sebentar lagi habis. Nafas Arga memburu, pria itu berusaha menyembunyikan paniknya sedari tadi. Langkah kakinya dipercepat untuk mengecek ruangan di lantai itu.

Jam yang melingkar di pergelangan tangannya berbunyi yang menandakan waktu tinggal 10 menit lagi. Pria itu dibuat panik, membayangka nasib putrinya di dalam sana yang entah bagaimana kondisinya.

Arga berusaha mengingat dimana ruangan yang dimaksud pria itu. Walau tak sering, setidaknya dulu ia pernah mengunjungi orang yang dimaksud oleh penculik Tata. Arga mengingat dimana letak ruangannya. Hingga sebuah bayangan melintas di benaknya. Ia ingat, di pintunya terdapat sebuah gambar –yang sepertinya gambar mawar biru- namun tak terlalu jelas. Pria paruh baya itu menatap sekeliling dan tak lama ia menemukan gambar yang dicarinya. Itu dia, sebuah gambar yang sepertinya dibuat oleh pasien itu. Gambarnya tak begitu jelas dikarenakan kertasnya yang sudah lecek dan hampir hancur.

Arga membuka pintu itu dan berdo'a semoga putrinya baik-baik saja di dalam sana. Namun, jantungnya serasa jatuh melihat keadaan Tata yang terikat di depannya. Tubuhnya melemah dan hampir jatuh di daun pintu.

"Tata..." Panggilnya lirih.

***

Mau lanjutannya cepet atau lama? wkwk

30-07-23

ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang