Bab 2. Memilih kesialan.

1.4K 27 0
                                    

Pergi ke kampus Ran menggunakan sepeda, setiap harinya begitu, sepeda adalah kendaraan sehari-hari Ran. Sampai di kampus Ran memarkirkan sepedanya lalu kemudian berjalan dengan senyuman mengembang di bibir.

“Hai Bro,” sapa Ran pada sekumpulan laki-laki yang duduk di parkirkan namun tak ada yang membalas sapaan Ran.

Sampai di kelas Ran tetap menyapa teman kelas, walaupun tidak ada satu pun yang peduli dengannya. Setiap hari begitulah yang Ran lakukan, tetap ceria walaupun seluruh dunia membencinya.

“Pagi gays kalian lagi apa?”

Lagi-lagi Ran diabaikan, sudahlah. Ran pun duduk di bangkunya yang paling depan dekat meja dosen. Ran tidak punya satu pun teman baik di sekolah ini.

“Eh kita ada tugas enggak sih dari Pak Gendut,” bisik salah satu siswa.

“Kau sudah selesai?”

“Tahu aja aku enggak, kalau kita ada tugas.”

“Ya sudah pasti banyak yang enggak kerjakan, kan? Nanti kalau ditanya ada tugas apa enggak kita jawab aja enggak.”

“Kau lupa ada Ran di kelas ini? Dia pasti mau caper tuh sama Dosen. Mana mau dia kerja sama kaya begini.”

Yang benar saja, saat Dosen masuk Ran mengakui kalau ada tugas. Tatapan benci mereka lemparkan pada Ran, gara-gara Ran mereka harus mendapat tambahan tugas atau nilai mereka nol.

Saat kelas Pak Gendut selesai Ran bersiap untuk pulang, dia tidak ada kelas lagi dan juga dia tidak ikut acara kampus nanti sore karena dia tidak ada bayar iuran. Tapi baru berdiri dari bangkunya Ran dilabrak oleh teman kelasnya sendiri.

“Kamu bisa enggak sih jangan usah caper!”

“Caper bagaimana?” jawab Ran memasang wajah polos.

“Jangan sok begok, kita sekelas sepakat buat nyembunyiin tugas tapi mulut embermu itu ... iiii enggak bisa ditutup ya?!” geramnya yang ingin sekali mencakar wajah cantik Ran.

Ran tersenyum tipis menanggapi. “Aku sudah semalaman mengerjakan tugas, masa ditelantari begitu saja? Salah kalianlah yang enggak mengerjakan tugas.”

Setelah mengatakan itu Ran langsung pergi keluar. Eh kemudian dia berbalik lagi. “Sampai jumpa besok teman-teman.” Dia hanya ingin mengatakan itu.

“Iiiii geram banget aku sama Ran, kenapa sih dia masuk kelas ini!”

“Ya inilah nasib sial kita.”

Bisa bisanya mereka mengatakan sekelas dengan Ran adalah nasib sial. Padahal Ran masih bisa mendengar mereka, namun gadis itu malah tersenyum sambil melambaikan tangan.

>>>

Baru mau naik sepeda, Ran langsung ke arah mobil-mobil yang terparkir. Namun tiba-tiba tangan Ran ditarik hingga gadis itu terduduk di antara deretan ban mobil. Orang lain tidak mungkin melihat posisinya sekarang, bersama seorang laki-laki yang menarik tangan Ran barusan.

“Kak Arif? Ada apa?” tanya Ran, dia mencoba berdiri tapi ditahan oleh Arif agar tetap terduduk.

Arif adalah sahabatnya Guren, mereka sekelas.

“Minggu depan Guren dan Pasya akan menikah, kan?” tanya Arif memasang raut serius.

“Iya, memangnya kenapa? Kak Arif belum dapat undangannya, ya?”

Tiba-tiba Arif mengeluarkan HP dan menunjukkan satu video yang memperlihatkan papanya Ran.

“Ini papamu sama papaku, mereka berdua sedang bertransaksi tuh. Papamu penjual papaku pembeli, bagaimana menurutmu kalau aku laporkan ke polisi?”

Mata Ran membelalak lebar, ternyata papanya terlibat perbandaran narkoba.

“Kaka dapat video ini dari mana?”

“Ini aku rekam semalam saat papamu datang ke rumahku, papaku itu memang pemakai jadi aku enggak heran lagi sih.”

“Terus maksud Kaka tunjukan video ini padaku untuk apa?”

Arif tersenyum jahat kemudian menyimpan ponselnya kembali. Dia duduk bersandar di ban mobil sambil cekikikan entah apa yang lucu.

“Ikuti rencanaku untuk menggagalkan pernikahan Guren dengan Pasya.”

“Apa!”

“Perlu aku ulang?”

“Engga! Aku tidak mau jadi penjahat di hidup kakakku!”

“Kalau tidak mau ya sudah, aku akan laporkan papamu ke polisi. Dia memiliki pasokan besar, aku tak yakin penjara akan cukup untuk papamu. Apa kau pernah mendengar pembandar dihukum mati?”

Ran ketakutan, bagaimana sekarang? Dia tidak ingin papanya mati. Haruskah dia mengikuti rencana Arif? Ini demi papanya. Jika menghentikan pernikahan Pasya dan Guren, Pasya pasti akan sedih, tapi jika papa ditangkap yang sedih tidak hanya Pasya tapi juga mama, Adit dan tentu saja Ran.

Sudah jelas, kan. Langkah apa yang dipilih Ran?

***

Lima hari menjelang pernikahan, Arif mengajak dua sahabatnya untuk berkumpul di salah satu hotel, mereka adalah Guren dan Miztard. Arif bilang ini pesta kecil-kecilan untuk Guren yang sebentar lagi berubah status.

“Cie yang sebentar lagi nikah,” ledek Arif sambil menyenggol bahu Guren. “Minum lagi Ren, nanti habis nikah kamu pasti lebih sibuk dengan istri,” tawar Arif sembari menuangkan minuman di gelas Guren.

Miztard yang merupakan sepupunya Guren menegur Arif walaupun sebenarnya Miztard juga sudah mabuk namun tidaklah separah Guren. “Rif itu Guren sudah mabuk berat, dari tadi kamu nuangi alkohol terus ke gelas dia.”

“Engga apa-apalah Tar, kan bentar lagi Guren nikah. Iya enggak Ren?”

“Hemm,” sahut Guren yang sudah sangat mabuk.

Dalam batinnya, Arif tersenyum senang melihat Guren yang bahkan sudah tak bisa duduk tegap. Mata Arif teralih pada Miztard, Arif harus menyingkirkan pria satu itu.

“Tar, mobil lu yang di bengkel sudah diperbaiki, pergi sana ambil sendiri,” suruh Arif karena Miztard memperbaiki mobil di bengkel milik papanya.

“Besok saja aku ambil.”

“Ambil sekarang, besok bengkel tutup.”

“Kaulah besok yang antarkan, dalam keadaan seperti ini kau menyuruhku mati di jalan, ya?”

“Lebai, lu enggak mabuk-mabuk amat, pergi sana aku malas mengantarkan mobilmu besok.” Arif kemudian berbaring di lantai, sedangkan Miztard berdiri sebab ingin pergi.

“Aku ambil sendiri mobilku, tapi Guren kau yang urus, ya,” pinta Miztard dan setelahnya hilang di balik pintu.

Arif tersenyum tipis, apalagi ketika Guren sudah terlelap. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi rencananya. Arif membopong tubuh Guren menuju kamar sebelah.

Di situ sudah ada Ran yang menunggu. Sampai sini pasti sudah tertebak apa yang direncanakan Arif. Ya, Arif ingin membuat seolah Guren tidur dengan Ran malam ini hingga pernikahan yang sebentar lagi dilaksanakan bisa dibatalkan.

“Ran, kau mengerti apa yang harus kau lakukan, kan?” tanya Arif pada gadis yang hanya duduk di atas ranjang.

“Aku mengerti, tapi kamu lepaskanlah dulu bajunya,” pinta Ran, walaupun rencananya dan Arif terdengar jahat tapi Ran tidak akan melakukan hal itu. Dia hanya perlu berbohong saja pada Guren saat pemuda itu bangun nanti.

“Kau lepaskan saja sendiri.” Arif malah pergi, dia takut Guren bangun saat dia melepaskan pakaian Guren, rencananya akan berantakan jika seperti itu.

Ran melirik pria yang terlelap itu dengan penuh rasa bersalah. “Maafkan aku, Kak Guren.”

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang