Bab 8.

1K 27 0
                                    

Ran bangun setelah cukup lama dia tidur, perasaannya tidak enak, dia sadar kalau dia sakit. Karena perut yang terasa lapar, gadis itu turun dan berpapasan dengan ibu mertua di tangga.

“Baru bangun?” sinis Muti.

Walaupun mertuanya begitu sinis, Ran tetap menampakkan senyumnya kemudian menyapa, “Selamat pagi, Ma.”

“Pagi kepalamu! Ini sudah lewat tengah hari.”

“Oh aku kesiangan, ya. Pantas saja perutku ini sakit sekali, aku mau masak, Mama mau mencoba masakan aku enggak?”

“Cih, enggak sudi.” Muti melanjutkan langkahnya menaiki tangga, Ran menghela napas berat karena dia sebenarnya cukup gugup.

“Tidak apa-apa Ran, semua akan baik-baik saja,” gumamnya menyemangati diri sendiri. Kemudian Ran pergi ke dapur, dia berhenti sejenak mendengarkan apa yang menjadi obrolan para pembantu.

“Kita disuruh anterin obat enggak sih ke kamar Ran?”

“Tadi kulihat dia belum bangun, lagian aku malas pergi ke apotek membeli obat, kau saja sana gih pergi.”

“Malas banget aku ngelayani dia, biarkan saja dia mati.”

“Ehem.” Deheman Ran mencuri perhatian mereka. “Kalian melalaikan tugas kalian, ya? Itu tidak bagus loh, sana belikan obat untukku.”

“Ba-baik.” Salah satu dari pembantu langsung pergi, namun ada satu pembantu yang berani menatap mata Ran dengan tatapan menantang.

“Jangan sok jadi nyonya di rumah ini, ingat kau masuk ke sini dengan cara yang kotor,” tutur Soni, Ya Soni. Pembantu yang sama dengan kemarin, dia begitu membenci Ran padahal semua masalah Ran tidak ada hubungannya dengan Soni.

Ran menatapnya dengan datar. “Kau sangat membenciku, ya?”

“Memang siapa yang akan menyukaimu di rumah ini?” balasnya tak kalah ketus dengan mulut mama mertua.

Ran melewati Soni, tapi tidak begitu saja ada beberapa kata yang Ran gumamkan. “Mau dengan cara kotor pun, aku tetaplah menantu keluarga ini. Sedangkan kau?”

Perkataan yang sederhana, tapi itu seperti sebuah sindiran yang membuat Soni tersinggung. Dia terdiam di tempat sedangkan Ran sudah sibuk dengan tujuan sendiri. Soni merasa terhina, apalagi di sana ekspresi Ran terlihat biasa saja, saat Soni melirik, Ran malah tersenyum.

“Apa maksud senyuman itu?” batin Soni, dia tidak mengerti kenapa Ran sama sekali tidak terlihat seperti orang yang terundung. Bukankah sudah jelas di rumah ini hanya kakek dan Miztard saja yang tidak menunjukkan permusuhan pada Ran? Selebihnya sangat membenci gadis itu.

Soni kembali melirik Ran, hanya terlihat punggung gadis itu saja. Gadis itu tengah memotong dada ayam dengan tenang seolah ini adalah rumah yang nyaman baginya.

Benarkah begitu? Tidak, dalam lubuk hati Ran sangat memberontak ingin keluar dari rumah itu. “Oh Tuhan, tatapan mereka saja sudah membuatku remuk,” batin Ran.

Masakan Ran akhirnya siap, wanginya begitu sadap menggugah selera, mungkin orang-orang yang sudah kenyang itu akan merasa lapar lagi setelah mencium harum masakan Ran.

“Selamat makan,” ucap Ran sendiri, yang lain sudah makan jadi Ran tidak perlu menawarkan mereka.

Ia sangat menikmati makanannya sampai tidak sadar ada Guren yang ternyata pulang dengan perut kosong tengah melihatnya dari kejauhan.

“Itu kayaknya enak.” Tatapan Guren tertuju pada ayam yang dicincang kotak masuk ke dalam mulut Ran. Guren melangkah mendekat hingga Ran sadar akan kehadiran pria itu.

“Kenapa dia melihat seperti itu?” ucap Ran dalam hati. Guren duduk di hadapan Ran, mereka di batasi oleh meja makan. Ran tidak peka, bahkan suaminya kelaparan pun dia tidak tahu.

Guren tidak bisa membiarkan ini, kalau dia tidak bicara maka Ran akan menghabisi semuanya. “Melihat kau makan lahap, sepertinya kondisimu sudah lebih baik.” Guren membuka obrolan.

“....”

Sayangnya Ran tidak merespons Guren, hingga Guren merasakan canggung sendiri. “Sial!” umpat Guren pelan.

“Nanti malam aku tidak akan membiarkanmu tidur di kasurku lagi.”

Ucapan Guren membuat Ran berhenti mengunyah sejenak, kemudian tiba-tiba gadis itu bergerak mengangkut piringnya pergi mencari meja lain.

“A-apa?” Guren hanya bisa melihat gadis yang menjauh darinya dengan membawa piring. Rasa tidak percaya dia akan diabaikan sampai seperti ini, terlebih pelakunya adalah Ran.

“Kenapa malah dia yang terlihat terpaksa menikah denganku?”

“Pffft.” Miztard datang menertawakan Guren, dia duduk di sebelah Guren dengan tawa sambil memukul-mukul Guren.

“Apa yang kau tertawakan?” bentak Guren kesal.

“Engga ada, Lucu aja melihat kau diabaikan.” Miztard bicara masih dengan tawanya yang cukup menggelitik perut.

“Kau pikir aku ingin mendekatinya? Aku hanya ingin makan, tapi sepertinya dia tidak ingin berbagi.”

Penjelasan Guren malah semakin membuat Miztard tertawa. “Seorang Guren mengemis makanan? Kalau mau ya bilang saja, tidak perlu menunggu ditawarkan.”

Guren melirik Ran yang makan di meja pantry, gadis itu benar-benar tidak mengheraninya bahkan menghabiskan apa yang di piring tadi.

“Dia menghabiskan semuanya.” Guren sedih sambil menggosok perut yang kempes.

Selang beberapa detik kemudian, pembantu muda datang menghampiri Ran dengan memberikan sebuah plastik.

Dari sini Guren bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. “Nona ini obatnya, katanya diminum tiga kali sehari setelah makan.”

“Terima kasih,” balas Ran.

Kening Guren menyeringit. “Kenapa baru diberikan obat sekarang? Bukankah aku suruh dari pagi tadi, ya?” ucapnya dalam hati.

Setelah Ran minum obat, gadis itu pergi melewati Guren dan Miztard. Tatapan Ran lurus tidak mengherani kehadiran ke dua pria itu.

Miztard menyenggol Guren. “Kalian berantem, ya?” tanya Miztard.

Guren menggeleng bingung, dia juga tidak tahu kalau Ran bisa mengabaikan orang. Langsung saja Guren berdiri mengikuti langkah Ran yang masuk kamar.

Ran langsung merebahkan diri di atas sofa, dia mulai memejamkan mata karena rasa kantuk yang mungkin efek obat.

“Kau mengabaikanku, Ran?”

Pertanyaan Guren berhasil membuka mata Ran, Ran duduk bersama helaan napas yang dihembuskan berat. “Maaf Kak, kepalaku sangat pusing, kata-kata yang biasa keluar dari mulut Kakak untukku biasanya hanya berupa hinaan, untuk sekarang aku tidak ingin meladenimu.” Kemudian Ran kembali merebahkan tubuhnya.

Guren tak menyangkal, selanjutnya Guren pergi ke ranjang melupakan dirinya yang belum makan siang. Dia memainkan ponsel sok sibuk, tapi sebenarnya sikap Ran yang seperti ini berhasil menjadi beban pikiran Guren. “Dia lagi sakit memang seperti ini ya?” Pertanyaan itulah yang timbul di benak Guren.

Ran belum tidur, mamang matanya terasa berat tapi tempat yang ia tempati kurang nyaman, Ran kesulitan bergerak, putar badan saja bisa membuatnya jatuh ke lantai.

“Aku tidur di lantai sajalah,” pikir Ran, selepas itu dia membuka lemari yang ternyata sudah ada beberapa selimut di sana. Ran melirik Guren kemudian menampilkan senyum khas Ran kemudian berkata, “Terima kasih Kak Guren.”

Guren mengabaikan, ya walaupun dialah yang telah meletakkan selimut di situ. Selanjutnya Guren sedikit kaget ketika Ran membentangkan kain di lantai.

“Hei apa yang kau lakukan?” tanya Guren.

“Aku akan tidur di lantai saja,” jawab Ran, sesudah itu dia dapat bergerak dengan bebas tanpa takut jatuh.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang