Bab 13.

1.1K 23 0
                                    

Semangkuk mi rebus tersaji di atas meja dengan aroma yang khas, Ran yang sejak tadi menahan lapar akhirnya bisa mengisi perut.

Di kala mangkuk Ran hampir kosong, tiba-tiba Guren datang langsung duduk berhadapan dengan Ran yang mulutnya berjuntaian mi.

“Sudah selesai makannya,” tanya Guren.

Ran menatap heran pada pria yang menatapnya serius itu. Ran mengelap sisa kaldu yang ada di mulutnya. “Ada apa?” jawab Ran menghentikan aktivitas makan.

“Jangan membuatku malu, Ran.”

Tiba-tiba saja Guren mengatakan hal yang tak Ran pahami, memang apa yang Ran lakukan hingga Guren berkata seperti itu? Setelah sedikit syok tadi, Ran kembali memasang wajah manis.

“Kakak malu karena apa? Karena istrimu adalah aku?” Ran menggunakan nada bercanda seolah tidak ada yang perlu diseriusi di sini.

“Ya itu juga salah satunya, tapi hal yang paling memalukan darimu itu karena kau simpanan om-om,” hina Guren.

Raut wajah Ran tidak berubah marah atau pun kesal, malah dia terkekeh ringan menanggapi Guren.

“Aku harus bagaimana dong? Suamiku merupakan pria yang tidak bertanggung jawab, istrinya aja enggak dikasih uang, aku harus cari cara untuk bertahan hidup, kan?”

“Murahan!”

“Memang Kak Guren mahal, ya? Ngaca sana Kak. Jangan main-main denganku, reputasi keluargamu akan hancur kalau aku buka suara. Masih mending Kakak tidak kuperbudak, seharusnya bersyukur.” Ran berdiri meninggalkan Guren yang mematung di tempat. Pada akhirnya dia tidak bisa mempertahankan sosok Ran yang dikenal Guren.

“Barusan itu ... Ran?” gumam Guren. Dia tidak pernah mendengar nada bicara Ran yang terkesan cepat, biasanya gadis itu selalu bersikap feminin mempertahankan tempo bicara yang santai dan hangat.

“Murahan katanya? Cih mamang orang mahal itu yang seperti apa? Seperti kak Pasya, gitu?” tutuk Ran sendiri.

Brak!

Gadis itu membanting pintu kamar setelah dia masuk dengan sempurna. Ran melempar diri ke ranjangnya, dia menenggelamkan kepala di bantal yang lembut dan tebal.

“Aku tidak murahan,” ucap Ran pelan. Padahal sebelumnya Ran tidak masalah dikatai seperti itu, tapi kenapa sekarang Ran merasa sangat sakit hati?

“Dia suamiku, seharusnya dia tidak berkata seperti itu ... ah! Apa yang aku pikirkan? Dia tidak pernah mau mengakuiku.”

***

Malam penuh drama telah berlalu, di depan sebuah cermin yang menampung seluruh tubuh, Ran menatap lekat dirinya.

Tubuh tinggi semampai sekitar 170 cm dengan lekukan yang manis, Ran sudah rapi dan siap untuk berangkat ke kampus.

Ketika Ran keluar kamar, dia melihat Guren yang tengah duduk di sofa depan TV. Ran melewatinya begitu saja, memang pada dasarnya mereka jarang berkomunikasi.

“Mau ke mana?” tanya Guren tanpa menoleh namun berhasil menghentikan langkah Ran.

“Ke kampus,” jawab Ran tanpa berbalik, selanjutnya tidak ada percakapan lain lagi, Ran pun pergi begitu saja.

Tak disadari oleh Ran ternyata Guren memandang punggungnya hingga gadis itu menghilang di balik pintu.

“Aneh,” gumam Guren, dia kembali menatap laptop yang ada di pangkuan dan juga sebuah ponsel yang merupakan milik papa Guren.

Semalaman ini Guren mencari tahu tentang si pengirim pesan yang mengancam keluarga Guren. Dia melacak tempat pengiriman serta nomor HP si pengirim.

Guren sudah mendapat jawaban sejak pukul dua malam tadi, asalnya dari warnet yang ada di selatan kota menggunakan nomor sekali pakai.

“Aku tidak yakin Ran bekerja sendiri.” Guren menyenderkan punggungnya di bantalan kursi, dia sangat lelah semalaman memikirkan tentang Ran, hingga saat ia memejamkan mata pun wajah Ran muncul begitu saja.

“Sial!” gerutu Guren kembali menegapkan badan. “Otakku harus istirahat sebentar dari masalah ini, atau bayangan Ran akan muncul terus di otakku.”

Berapa kali pun Guren mencoba dia tetap gagal, akhirnya dia memutuskan untuk tidak tidur dan langsung pergi menuju warnet selatan kota untuk mengecek CCTV pada waktu pengiriman pesan.

Sementara itu, Ran baru saja sampai di kampus. Seperti biasa dia menyapa banyak orang walaupun tidak ditanggapi oleh mereka.

Ran masuk ke kalas. “Selamat pagi teman-teman.”

“Pagi, Ran.”

Ran menoleh pada gadis yang menjawab salamnya, gadis itu tersenyum kemudian berkata, “Ran duduk di sini,” pintanya sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

Ran membuku tidak percaya, tidak hanya Ran tapi seluruh orang yang ada di kelas.

“Ri-Risti?”

“Ah syukurlah kau mengingat namaku, Ran. Sini duduk dekat aku, sekalian aku ingin mengembalikan minyak aroma minggu lalu.” Risti menyengir kikuk, sudah seminggu baru dia ingat mengembalikan minyak itu.

Ran tersenyum tipis, sesuai permintaan Risti dia duduk di samping Risti.

“Terima kasih ya, Ran. Ini milikmu, aku sangat terbantu.” Risti meletakkan botol kecil itu di atas meja Ran dengan pelan dan pasti.

“Iya sama-sama.”

“Oh iya, kita sekelompok loh Ran.”

“Kelompok apa?”

“Itu loh, yang minggu lalu.”

Ran berpikir sejenak, beberapa detik kemudian dia paham. Minggu lalu dosen matematika meminta Aldo untuk membuat kelompok ketika Risti melamun dengan alasan sakit kepala.

“Aku kira enggak jadi,” ujar Ran.

“Jadi kok, Aldo bilang kumpulkan tugasnya minggu depan.”

“Oh ya sudah, nanti aku ke rumahmu, ya.”

“Enggak, kita kerjainya di rumah Aldo aja.”

“Kita sekelompok dengan Aldo juga?” tanya Ran, tadi seingatnya Risti tidak ada menyebut nama Aldo.

“Iya, kamu merasa enggak sih Ran?” ucap Risti tiba-tiba dengan gaya menganalisis.

“Apa?” tanya Ran balik.

“Setiap laki-laki yang membuat kelompok, pasti kamu berada di kelompok yang sama dengannya, padahal katanya mereka membenci kamu.”

Di tempat lain, ada Miztard dan Arif berdiri di jendela suatu ruang yang sudah lama tidak terpakai.

“Tidak mungkin,” gumam Arif lemas dengan tatapan tidak percaya.

“Tidak mungkin apa? Inilah kenyataannya.”

Ruangan itu adalah tempat para penggemar Ran yang membicarakan bagaimana mereka disapa oleh Ran tadi pagi.

“Ran tadi menyapa aku, astaga aku ingin membalas sapaannya tapi ada tiga cewek yang lewat tadi. Ah kapan ya aku bisa membalas sapaan Ran.”

“Jangan terang-terangan, nanti enggak ada cewek yang mau mendekatimu.”

“Aku tahu itu, makanya aku abaikan. Aku suka Ran tapi Ran bukan jodohku, jadi lebih baik mengaguminya dalam diam dari pada dimusuhi cewek satu kampus.”

“Aku iri sama Guren, dia pacaran sama Pasya pasti dengan tujuan Ran, iya kan? Masih pura-pura tidak suka dengan Ran lagi, pasti di rumah dia enak-enak.”

“Tapi Guren jauh lebih cocok dengan Ran dibandingkan dengan kita yang hanya butiran debu di hadapan bidadari.”

Bukan satu atau dua orang di situ, ada banyak orang yang kegirangan menceritakan bagaimana Ran tersenyum manis padanya.

“Ada banyak tempat lagi yang menjadi kumpulan orang yang seperti ini, mau ku perlihatkan?” tawar Miztard, seketika Arif tersandar di dinding.

“Aku pikir Guren akan di tertawakan, ternyata dia malah .... ”

“Makanya jangan terlalu meremehkan Ran, kau malah melempar harta karun yang diinginkan banyak orang pada Guren. Arif, kau sedang balas dendam atau sedang berterima kasih pada Guren?”

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang