Bab 15

1.1K 25 0
                                    

Malam ini Ran bekerja dengan ekspresi yang sedikit, para pelanggan yang menjadi langganan bertanya-tanya kenapa Ran tidak sesemangat kemarin.

“Adek cantik, hari ini banyak diam, ya, lagi sakit?” tegur salah satu ibu-ibu.

“Engga kok Buk.”

“Ini di total dulu, Dek.”

Ran scan semua belanja si ibu hingga tak sadar satu orang yang datang berada di belakang ibu itu.

“Totalnya 130 ribu, Buk.”

Saat urusan dengan ibu itu selesai selanjutnya giliran orang yang di belakang.

“Ok selanjutnya ... Kak Arif?”

Ya, orang yang berada di belakang ibu tadi adalah Arif. Pemuda itu hanya mengambil minuman kopi dan tentu saja sedikit terkejut melihat Ran menjadi kasir.

“Kau kerja di sini, Ran?” tanya Arif dengan jari yang menunjuk Ran.

“Iya.”

“Kenapa? Memangnya uang Guren tidak cukup untukmu?”

Ran diam sejenak, kesal sekali mendengar nada bicara Arif yang sok baik begini. Sudahlah, Arif tidak perlu tahu urusan Ran dan Guren.

“Kenapa diam?”

Ran mendongak menatap mata Arif dengan raut tegas, dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada pria itu dengan sangat jelas. “Totalnya enam ribu,” kata Ran untuk bayaran minuman kopi yang dipegang Arif. Ran tidak ingin Arif berlama-lama di sini hingga dia tidak ingin merespons pria itu.

“Kau membenciku, ya?”

“Bayar cepat, antrean di belakangmu masih panjang.”

Arif berpaling melihat ke belakang, ternyata memang sudah cukup banyak orang yang menunggu giliran untuk membayar, padahal tadi tidak ada.

Dengan begitu Arif mengeluarkan uang 50 ribu. “Sisanya untukmu saja,” ujarnya kemudian pergi keluar.
.
.
“Adit!” bentak Pasya mengejar Adit yang merampas ponsel Pasya.

Adit berlarian ke sana ke mari menghindari jangkauan Pasya, itu ia lakukan agar Pasya tidak menghubungi Guren hari ini.

“Adit kembalikan ponselku!”

“Tidak mau, Kakak harus sadar diri kalau waktu bang Guren bukan lagi untukmu.”

Geram dengan tingkah Adit, Pasya mengambil bantal kursi lalu melemparkan ke Adit. Dan ... berhasil, walaupun tidak mengenai Adit tapi bantal itu menghalangi langkah Adit hingga Adit terjatuh.

“Aduh ....” Adit mengelus kepalanya yang terbentur kuat di lantai, hingga mengakibatkan kepalanya jadi benjol.

Pasya tidak peduli dengan Adit, dia memungut ponsel yang terpelanting dekat depan TV. Langsung saja wanita itu menghubungi Guren.

Tut ... Tut.

Pasya menggeram kesal, sudah sekian kalinya panggilan itu tidak dijawab.

“Is, Guren ke mana, sih?” Jari Pasya kembali menekan tombol hijau.

“Tidak diangkat, ya?” gelak Adit.

Merasa diejek, Pasya melampiaskan kemarahan pada Adit. Dia melemparkan semua bantal ke arah Adit yang tertawa gembira menghindari setiap bantal seolah dia sedang bermain.

Pria yang sejak tadi sulit dihubungi malah termenung membiarkan ponsel yang terus berdering.

Guren tahu Pasya terus meneleponnya, tapi untuk saat ini Guren sangat malas untuk sekedar bicara. Otaknya sedang merencanakan sesuatu yang keji untuk membalas kebohongan Ran.

“Ini akan seru.” Guren tidak sabar memulai permainannya, dia terus membayangkan bagaimana ekspresi Ran nanti.

“Ah, Ran. Cepatlah pulang.” Pria ini tertawa seperti orang gila, di ruangan yang hampa itu suara Guren terdengar seperti psikopat yang buruk.

Lalu Guren mengambil ponsel yang sudah berhenti berdering itu, dia membuka kontak untuk menghubungi Arif.

Ditatapinya nama Arif yang tertera di kontak sambil berkata, “Arif, aku tidak tahu apa alasanmu membantu Ran untuk menjebakku.”

Selanjutnya Guren menekan tombol hijau, dia berbasa-basi sebentar hanya untuk melacak keberadaan Arif.

“Ok sudah dapat,” katanya dengan mata yang terfokus pada laptop padahal ponselnya masih berada di telinga dengan panggilan yang sudah berakhir.

Pukul sebelas malam, indomaret tutup pada pukul itu. Ran melangkah keluar untuk pulang, gadis itu kemudian berhenti, dia ragu harus pulang atau tidak mengingat akan Guren tadi.

“Pulang enggak, ya. Aku takut.”

“Takut apa?” balas sosok yang berada di kursi depan indomaret.

Sontak Ran menoleh ke arah samping, ternyata sejak tadi Arif berada di sana dengan penampilan yang sama dengan yang tadi.

“Ngapain kamu di situ?!” gertak Ran.

“Aku menunggumu.”

“Sekarang apa lagi?” Wajah Arif sudah cukup membuat Ran muak, gara-gara pria itu hidup Ran semakin buruk, tidak ada alasan untuk bersikap ramah pada sosok yang membuatnya tambah dibenci banyak orang itu.

Arif mendekati Ran. “Aku hanya ingin mengobrol denganmu.”

“Aku tidak punya waktu, selamat tinggal.” Ran ingin pergi tapi Arif menahan lengan gadis itu. Ran refleks menepis tangan Arif kasar, sorot matanya mendelik tajam menatap benci Arif.

“Apa maksudnya ini?” tanya Ran dengan nada rendah.

“Aku salah menilaimu, Ran.”

“Maksudnya?”

“Sekarang kau beba-”

Belum selesai Arif bicara, terdengar suara tepukan tangan yang nyaring menengahi antara mereka berdua. Sontak Arif dan Ran melihat siapa orang itu.

“Guren?” kejut Arif.

Ya, orang itu adalah Guren. Guren melacak keberadaan Arif karena berpikir pria itu pasti memiliki hubungan dengan Ran, dan dia menangkap basah Arif yang berduaan dengan Ran di sini.

“Bagus ya, ternyata kalian memang sedekat itu. Arif, kenapa kau membantu Ran menjebakku?”

Arif melotot lebar, dia tidak siap menghadapi Guren sekarang. Tiba-tiba telunjuk Arif lurus menunjuk Ran, Arif berlagak tertekan kemudian berkata, “Ran mengancamku Guren, dia wanita menyimpan bukti tentang rahasia papaku, tolong aku Guren.”

Ran sangat syok, lagi-lagi dia dijadikan kambing hitam. “Ha—hah!”

Arif bersembunyi di belakang Guren, tapi matanya melotot ke arah Ran dengan penuh maksud, walaupun tidak berbunyi tapi entah kenapa Ran bisa mendengar suara Arif hanya dengan melihat mata itu.

“Rahasia papamu ada di tanganku, jangan macam-macam.” Itulah yang dapat Ran perkirakan dari mata Arif.

Plak!

Ran mendapat tamparan oleh Guren, gadis itu tidak bereaksi, tatapan Ran kosong menatap Arif dengan amarah yang tidak bisa dilampiaskan.

“Aku membencimu Arif, aku membencimu!” batin Ran berteriak.

Tiba-tiba Guren menyeret Ran kasar masuk ke dalam mobil, Ran tidak bergeming walaupun tangannya digenggam kuat oleh Guren.

Rasa sakit itu tidak sebanding dengan luka di hatinya.

“Aku tidak akan berbaik hati lagi denganmu, Ran. Aku tidak peduli lagi dengan video itu, terserah mau kau apa ‘kan.” Karena mereka sudah menikah Guren memang seharusnya tidak mengkhawatirkan tentang video, orang akan menganggap itu wajar.

“Tamatlah riwayatmu di tanganku, Ran.” Guren tertawa seram namun Ran hanya diam tidak bergeming.

Arif yang ditinggalkan melirik sepeda Ran yang tertinggal, padahal niatnya tadi ingin membebaskan Ran dari ancaman. Tapi sudah ketahuan oleh Guren, terpaksa Arif lakukan itu.

“Maaf, Ran,” lirih Arif. Hatinya sedikit iba ketika melihat Ran ditampar tadi, tapi tidak ada yang bisa Arif lakukan sekarang, pria itu juga takut pada Guren.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang