Bab 11. Isak tangis kakak.

1.1K 28 0
                                    

Hampir setiap harinya Ran mendapatkan bonus, entah lima puluh ribu ataupun dua puluh ribu. Dengan begitu Ran bisa makan walaupun belum gajian.

Tiga minggu semenjak pernikahan, Ran dan Guren seperti orang asing, jarang berkomunikasi bahkan bertemu pun jarang walau tinggal di bawah atap yang sama.

Malam ini, saat Ran baru saja pulang dari kerja, apa yang ia lihat sekarang menjadi awal setelah sekian lama Ran mengeluarkan suara untuk Guren.

“Kalian!” bentak Ran tak bergeming dari tempat.

Yang ia lihat adalah Pasya yang tengah menari tanpa busana sedangkan Guren merekam tarian Pasya yang tampak sengaja dibuat menggoda.

Mendengar suara Ran, Pasya refleks menyembunyikan diri di balik tubuh Guren. Pemuda itu membuka jaketnya untuk menutupi tubuh polos Pasya. Lalu, Guren malah bergerak mendatangi Ran yang perlahan-lahan mundur.

“Kenapa kau malah ke sini?” Ran sedikit panik, saat ia ingin lari ke kamar, Guren berhasil mencekal lengan Ran.

Guren menatap Ran dengan sangat intens, mata itu terpaku pada raut panik Ran. Bisunya Guren semakin membuat Ran takut, dia terus menarik-narik tangannya agar terlepas dari genggaman Guren.

“Lepas! Kak Guren ini kenapa?”

Guren mencondongkan tubuhnya, tepat di kuping sebelah kanan Ran dia berbisik, “Apa kau cemburu?”

Mendadak mata Ran membulat, dia tidak percaya Guren mengatakan hal itu. Apa di mata Guren, Ran terlihat sedang cemburu?

“Tidak,” jawab Ran langsung.

Selepas itu, Guren memberikan jarak antara mereka juga tangan Ran sudah dilepas olehnya. “Selanjutnya aku akan sering membawa Pasya ke sini.”

Mata Ran berpaling ke arah Pasya yang sedang mengamati mereka, tergambar jelas raut kebencian di wajah wanita tidak tahu malu itu.

“Sebenarnya sudah berapa jauh hubungan kalian,” gumam Ran yang masih dapat didengar oleh Guren, mata Ran masih terpaku pada Pasya.

Guren mengikuti arah tembakan mata Ran, pria itu tersenyum lalu dengan bangganya berkata, “Sangat jauh sampai kau tidak punya kesempatan untuk mengusik.”

Netra Ran berganti melihat Guren, begitu pula dengan pria itu. Kini fokus mereka tertuju satu sama lain, cantiknya mata Ran yang jernih serta berkilau seperti permata mengunci Guren untuk terus melihatnya. Sampai permata itu menutup dengan sang pemilik yang memalingkan wajah untuk bergerak pergi.

Guren tampak kecewa, dia masih melihat punggung Ran yang kian menjauh. Sampai satu teguran menyadarkan pria itu.

“Sayang!”

Guren akhirnya tersadar jika sejak tadi ada seorang lagi yang berada di rumah itu.

“Aku antarkan kamu pulang, pasang bajumu,” ucap Guren sembari menghela napas berat, entah apa yang membuatnya tiba-tiba merasa kesal.

“Aku mau menginap di sini!” rengek Pasya mengentak-entakkan kakinya memasang wajah manja plus sebal.

“Lain kali saja, malam ini aku ada urusan.”

“Bercinta dengan Ran!?” sela Pasya menuduh Guren yang tidak mungkin Guren lakukan.

Sekali lagi Guren menarik napas panjang. “Aku tidak pernah menyentuhnya, juga tidak akan pernah, percayalah padaku.”

“Pembohong! Tadi kau menatap Ran begitu lama, apa maksud tatapan itu?”

Guren berpikir sejenak, memang seperti apa tatapannya tadi? Dia juga tidak tahu dan tidak sadar. Maka dari itu Guren tidak merasa kalau dia salah di sini.

“Kenapa malah diam!” bentak Pasya beserta napas yang menderu. Dadanya turun naik bersama air mata yang kian menetes, dia takut, takut sekali. Bagaimana jika suatu saat Guren luluh pada Ran? Atau sekarang benteng itu perlahan mulai terkikis.

Guren memalingkan wajahnya ke tempat lain, lalu berkata, “Kalau kau tidak mau pulang maka aku yang pergi.” Guren menarik langkah menuju pintu keluar, dia tidak melihat sedikit pun ke belakang.

Tubuh Pasya merosot ke bawah, tangannya menutup muka dengan suara isakan yang terdengar pilu.

Sepasang mata menyaksikan Pasya yang tengah meringkuk, dia adalah Ran.

Ran yang tadinya ingin keluar kamar dengan niat memasak mi instan malah tak sengaja melihat pertengkaran kecil sepasang kekasih itu.

Ran rasanya ingin menangis, rasa bersalah menyelubungi hati mungil itu. “Maaf, Kak. Aku janji tidak akan berebutan kak Guren denganmu,” batin Ran.

Tangisan Pasya semakin kencang, wanita itu menepuk-nepuk dadanya sendiri merasakan sakit yang luar biasa baginya. Dia yang jarang makan hati, tentu saja tidak terbiasa dengan penyakit yang satu itu.

Ran tidak tega, dia ingin membujuk Pasya tapi Ran tahu itu tidak akan berhasil. Ran berlari keluar melewati Pasya, tujuannya mencari Guren untuk menenangkan Pasya.

“Kak Guren, di mana dia?” Ran mencari hingga ke luar apartemen. Akhirnya Ran menemukan Guren yang tengah merokok di salah satu kursi dekat pohon ujung.

“Kak Guren,” panggil Ran berlari menghampiri Guren.

Kaki Ran rasanya seakan lepas, lari sepanjang koridor apartemen yang besar cukup membuat lelah. Di hadapan Guren, Ran ngos-ngosan kesulitan bicara.

“Stabilkan napasmu dulu baru bicara,” ujar Guren datar.

“Iya, tunggu sebentar.” Ran duduk di samping Guren, dia melihat botol air yang tinggal setengah, tanpa berpikir panjang Ran langsung menenggaknya hingga habis.

Mata Guren membulat, itu adalah air minum bekasnya. Tapi Ran tampak tidak sadar bahkan gadis itu sudah bersandar lega di kursi kayu itu, Guren pun memilih diam, tak memberitahu Ran akan itu.

“Jadi kau ngapain menghampiri aku?” tanya Guren.

Ran langsung tegap kembali memasang wajah panik. “Kenapa kau tinggalkan kak Pasya? Dia menangis kencang di dalam!”

“Dia peduli dengan Pasya?” ucap Guren dalam hati, pemuda itu tahunya Ran adalah sosok adik yang selalu iri dengan sang kakak, itu pun berdasarkan cerita Pasya.

Guren terdiam tidak bergerak dari tempat bahkan saat Ran menarik-narik tangannya untuk beranjak. Guren meneliti apakah raut panik Ran itu Palsu?

“Dia sedang tidak berakting,” batin Guren dengan tatapan kosong.

Ran yang memang kelelahan kehilangan keseimbangan di kala gadis itu mencoba menarik Guren, dirinya terhempas ingin jatuh ke tanah.

Sadar akan hal itu, tubuh Guren bergerak dengan sendirinya untuk menyambut tubuh Ran, tapi aksi Guren malah gagal karena kakinya menginjak tali sepatunya sendiri hingga dia menimpa tubuh Ran.

“K-Kak?” Jantung Ran seakan ingin meledak, Guren tepat di atasnya dengan mata mereka yang saling bertatap-tatapan. Guren seperti orang yang kehilangan kesadaran dengan mata terbuka, Ran bergerak gelisah namun Guren tidak segera menyingkir.

“Kak, kamu berat, awas!”

Guren pun tersadar, dengan cepat dia beranjak dari tubuh Ran.

“Ehem, a-aku akan melihat Pasya,” kata Guren kemudian pergi untuk menghindari rasa canggung.

Ran duduk di atas rerumputan, dia menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya. “Pipiku rasanya panas.” Selanjutnya Ran mengecek suhu tubuh melalui kening. “Aku tidak demam kok.” Gadis ini jadi salah tingkah, untunglah Guren sudah pergi dari sana.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang