Bab 17.

1.1K 27 0
                                    

Adit kembali membawa obat-obatan yang ia beli menggunakan uang Ran sendiri, sehabis Ran makan dan minum obat barulah Adit membuka suara.

“Dari pada diserempet mobil, Kaka lebih terlihat seperti orang yang dianiaya. Apa yang sebenarnya terjadi, Kak?” tutur Adit dengan tatapan yang serius.

Ran tidak menjawab, dia memejamkan mata agar Adit tidak menyadari kerlingan air yang ia tahan.

“Kak, jujur saja padaku. Kaka dipukul bang Guren, ya?”

“Tidak,” jawab Ran masih dengan mata yang tertutup, dia enggan menatap Adit yang berusaha mencari tahu.

Adit menghela napas berat, walaupun dia tidak mendapat jawaban tapi dia yakin lebam di tubuh Ran bukanlah hasil terserempet mobil, tapi hal lain yang entah apa itu.

Teringat pula Adit pada perkataan Ran saat gadis itu diusir dari rumah. “Aku melakukan itu demi papa.” Adit mengulang perkataan Ran dulu, Ran pun membuka mata, ia sudah menebak pertanyaan Adit selanjutnya.

“Tidak usah dipikirkan,” jawab Ran langsung, padahal Adit belum sempat bertanya.

“Beritahu aku, Kak. Apa maksudnya itu? Kau pernah bilang kalau aku adalah orang yang paling Kaka percaya, benarkah itu?”

Ran diam tidak menjawab, memang Adit adalah orang yang paling ia percaya, tapi masalahnya ini sangat berat hingga Ran pun tidak berani berbagi.

“Aku tidak akan bilang pada siapa pun,” tawar Adit.

Kebimbangan memenuhi benak Ran, hingga air mata turun begitu saja tanpa suara, dia sudah tidak bisa menahannya lagi.

Adit tertegun dengan apa yang ia lihat, ini pertama kali dalam seumur hidupnya ia melihat Ran menangis, ternyata begini rupa sedih seorang Ran yang tidak pernah melunturkan senyuman.

Kaka menangis? Batin Adit, dia terdiam tidak mengeluarkan pertanyaan lagi, air mata Ran cukup membuat Adit bungkam hingga takut dirinya tidak sengaja mengorek luka Ran.

Sampai suara Ran memecah kesunyian sesaat barusan. “Kaka diancam.”

Adit semakin terhenyak dalam keterkejutan.

Ujian seperti apa yang kau berikan pada kakakku, Tuhan.

Ran menceritakan semuanya dari Arif hingga Guren yang melakukan KDRT padanya tadi malam.

Hati Adit ikut tersayat, Ran yang menceritakan segalanya secara tersedu-sedu memicu api dendam yang membara.

Sembari menahan emosi, Adit berkata, “Tidak usah pedulikan papa, Kak. Biarkan saja dia, dari pada Kaka yang sakit seperti ini,” Lirih Adit dengan kepala yang tertunduk.

Pak Dani, papanya sendiri, sosok kepala keluarga yang Ran lindungi dari tindakan kriminal yang seharusnya tidak mendapat pembelaan.

Adit kesal dengan kebaikan Ran, entah itu bisa disebut baik atau malah bodoh?

“Kalau papa ditangkap apa dia akan dihukum mati, Dit?”

“Pengadilan yang memutuskannya, aku tidak tahu. Tapi Kaka cerai saja sama bang Guren dari pada menjadi korban KDRT seperti ini, jangan pedulikan tentang papa sebab papa saja tidak peduli dengan Kaka.”

Ran menghapus air matanya, selepas itu dia kembali menutup mata dan menaikkan selimut hingga batas dada.

“Kaka tidak setuju?” tanya Adit.

“Tidak usah dipikirkan, Dit. Ini urusan kakak, seharusnya kakak simpan saja sendiri,” tutur Ran terdengar ketus, sepertinya dia marah pada Adit.

Sekali lagi Adit menghela napas berat, bagaimana cara dia membantu Ran keluar dari masalah jika Ran sendiri masih ingin berada di masalah itu.

“Baiklah, aku akan bicara dengan bang Guren untuk tidak melakukan KDRT pada Kaka.” Hanya ini satu-satunya yang bisa Adit lakukan untuk sekarang, tapi percayalah dia ingin sekali mendorong Guren dan Arif ke jalan tol yang penuh kendaraan.

“Jangan ikut campur Dit, kau bisa kena imbasnya juga nanti.”

“Jadi bagaimana car-”

“Kubilang jangan ikut campur!” bentak Ran terduduk bahkan selimutnya sampai terpelanting ke bawah.

“...”

Adit diam mematung, ternyata bentakan Ran cukup mengerikan sampai tangan Adit gemetaran terlebih air mata Adit turun begitu saja.

“Maaf, kakak tidak bermaksud membentakmu,” sesal Ran yang sadar akan suara tingginya.

***

Sehabis pulang kampus, Guren pergi ke rumah Pasya karena hari ini dia tidak menemukan Pasya di kampus.

“Ma, Pasya ada?” tanya Guren pada Salsa yang tengah duduk santai di kursi halaman rumah.

“Pasya belum pulang, tadi katanya mau jalan-jalan sama teman. Adit juga belum pulang, ke mana ya anak itu.” Salsa mengkhawatirkan Adit, tadi dia sempat menanyakan Adit pada teman-teman Adit, tapi kata mereka Adit tidak ada masuk sekolah.

“Adit ada di apartemen aku, Ma, dia menjenguk Ran.”

“Jadi dia enggak sekolah karena Ran? Benar-benar ya Ran, dia memang anak rusak,” caci Salsa di hadapan Guren, suaminya Ran.

Kening Guren mengerut heran atas perkataan seorang ibu yang tega mengatai anaknya sendiri rusak. Dengan begitu Guren paham bahwa Ran dianaktirikan oleh mereka.

“Kapan kau akan menceraikan Ran, Ren?”

Guren diam sejenak, video atau pun foto bukan lagi ancaman bagi Guren, karena status mereka yang merupakan suami istri tidak disembunyikan dari publik.

Jika bukti itu tersebar, media akan menganggap penyebarlah yang kurang ajar mengambil dokumentasikan hubungan suami istri. Nama keluarga Guren tidak akan rusak karena itu.

Tapi, Guren ingin Ran sendiri yang meminta cerai. Maka dari itu dia menyiksa Ran untuk menguji seberapa lama Gadis itu akan bertahan.

Ran sangat terobsesi memilikiku, aku yakin ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

“Ren?” panggil Salsa ketika melihat Guren termenung.

“Iya, Ma?”

“Jadi kapan kau dan Ran berpisah? Kasihan Pasya loh kalau terlalu lama menunggu.”

“Nanti ada masanya, Ma. Sudah ya, Guren mau balik dulu.”

Guren menghidupkan mesin motornya dan selanjutnya dia hilang dari hadapan Salsa.

Sampai di apartemen, dia melihat Adit yang tengah memasak telur dadar di dapur, langsung saja Guren mendekati Adit.

“Masak untuk siapa?” tanya Guren.

“...”

Adit mengacuhkan Guren, alasannya karena kebencian Adit pada Guren yang sekarang begitu besar.

“Hei, Adit. Aku bicara denganmu.”

Lagi-lagi Adit cuek.

“Mamamu mencarimu, kau tidak pulang?”

Adit berbalik untuk menatap tajam mata Guren, dengan ketusnya Adit berkata, “Kak Ran sakit, siapa yang akan merawatnya kalau bukan aku?”

Ingin sekali Adit menampar Guren menggunakan panci panas, namun dia teringat dengan penegasan Ran untuk tidak ikut campur.

“Kau begitu baik pada Ran, tapi kenapa kurang ajar dengan Pasya?”

“Jalang itu? Asalkan kau tahu, ya. Dia itu sirik dan dengki pada kak Ran, dia juga menyebar fitnah hingga banyak yang membenci kak Ran. Wanita seperti itu yang kau pertahankan, Guren?” Tidak ada kata ‘Abang’ lagi dalam sebutan Adit untuk Guren, dia sudah kehilangan rasa hormat pada pria itu.

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Adit pergi dari dapur menuju kamar Ran dengan membawa mapan berisikan makan malam dan juga segelas air putih.

Guren hanya diam saja, dia juga tahu kalau Pasya sangat iri dan dengki pada Ran, tapi tetap saja dia merasa lebih baik dengan Pasya dibandingkan dengan cewek cari perhatian ke sana ke mari.

Bersambung...

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang