Bab 23.

1.3K 28 0
                                    

Kepala Ran mendongak mengamati tinggi bangunan di hadapannya. Alamatnya benar, ini adalah alamat yang sama dengan apa yang dikirim Risti padanya. Dengan langkah yang ragu serta takut, Ran mulai bertanya pada tukang sapu jalan yang sedang membersihkan dedaunan.

“Pak ini rumah Aldo, ya?” tanya Ran, dia benar-benar ragu karena Aldo bukan cowok populer di kampus. Rumah sebesar itu pasti rumah orang kaya, kan? Biasa orang kaya selalu dikerubungi bagai gula yang beraroma manis.

“Saya enggak kenal, Dek.”

Bukan berarti tukang sapu yang biasa membersihkan lingkungan ini kenal dengan tuan rumah, padahal Ran sudah berharap tadi. Sialnya Risti tidak bisa dihubungi, entah apa yang gadis itu lakukan.

Cuaca cukup panas dan Ran sudah terlalu lama berdiri di depan gerbang, sudah tak tahan lagi Ran pun nekat dengan memastikannya sendiri.

Tangan Ran gemetar hanya karena bel di hadapan. “Harus kulakukan, salah rumah tinggal pergi.” Akhirnya Ran menekan bel itu, lalu keluarlah Aldo.

“Ran, kenapa lama sekali. Ayo masuk,” ajak Aldo.

Napas lega Ran hembuskan. Untunglah tidak salah rumah, pikirnya. Dari belakang Ran mengikuti langkah Aldo, matanya tak henti-hentinya menelusuri ruangan dengan perasaan kagum.

“Ran!” jerit Risti, “Akhirnya kau datang, kami kira kamu enggak jadi datang.” Risti menyengir bak orang yang tidak punya dosa. Padahal tadi Ran berkali-kali menghubungi gadis itu, beraninya dia berucap seperti itu.

“Aku meneleponmu tadi dan—”

“Ah maaf, lihat di sana ponselku sudah hancur,” tunjuk Risti pada benda yang bentuknya sudah tidak normal.

Apa yang terjadi? Kenapa ponsel Risti hancur seperti itu? Risti mengerti akan pertanyaan tak bersuara Ran, gadis itu pun terkekeh. Tidak terdengar lucu, malahan air mata gadis itu menetes.

“Aku bertengkar dengan Miztard, jadi kulempar ponselku karena terlalu kesal.”

Untuk apa tersenyum dengan air mata seperti itu? Kalau mau nangis, nangis aja. Ran ingin mengatakan itu, tapi dia cukup sadar diri kalau dia pernah seperti itu juga.

“A-aku ambilkan minum yang baru ya.” Aldo berdiri, dia tidak tahu menghadapi situasi seperti ini, bahkan sebelum Ran datang tadi dia benar-benar kebingungan. Rumah sebesar ini tak mungkin tidak memiliki pembantu, minuman hanya alasan untuknya kabur.

Tapi sebelum itu Aldo mendekati Ran dan berbisik, “Aku akan sedikit lama di dapur, tolong tenangkan dia. Sebagai sesama perempuan kau pasti mengertikan?” Setelah itu Aldo melangkah cepat.

Aldo salah orang, sebagai gadis yang kesepian sepanjang hidupnya, mana mengerti Ran bagaimana cara menangkan orang.

“Maaf, Aldo pasti tidak nyaman karena aku seperti ini.” Risti menghapus air matanya, dia berusaha menahan air yang ingin turun itu.

“Tidak apa-apa.” Setelah mengatakan itu Ran bingung mau mengatakan apa, dia tidak punya stok kata-kata penenang untuk orang lain.

“Miztard ... dia bilang putus sama aku.” Tangis Risti pecah, dia sangat sayang dengan Miztard, Risti tidak rela putus dengan pria itu. Kepalanya panas, hatinya tercubit, dia kesulitan mengendalikan emosi.

“Risti kayaknya kamu selesaikan dulu urusanmu dengan kak Miztard secara langsung, tugasnya biar aku dan Aldo yang urus.”

“Bagaimana caranya, aku tidak tahu sekarang dia ada di mana.”

Dengan niat membantu Risti, Ran mengirim pesan pada Miztard. Menanyakan keberadaannya tanpa menyebut nama Risti. Belum mendapat balasan, Ran duduk diam mendengar isak Risti. Agak tidak berperasaan memang, beginilah kakunya Ran.

***
Setelah selesai membantu membawa Guren kembali ke apartemen, Miztard menghempaskan diri ke sofa, mengelap keringat yang keluar dari dahinya sebab kelelahan mengangkat barang.

Kemudian Miztard sadar sudah dua jam berlalu sejak pertengkarannya dengan Risti. Otaknya sudah cukup tenang, dan sekarang dia ingin menghubungi Risti untuk menyelesaikan masalah mereka. Tapi ... dia lupa di mana dia meletakkan ponselnya.

Padahal ponselnya ada di ranjang Guren, dan pria itulah yang sedang membaca pesan masuk dari ponsel Miztard.

Miztard masuk ke kamar Guren, langsung mendapat tatapan tajam yang menusuk penuh amarah. “A-apa?” tanya Miztard.

Guren mengangkat ponsel Miztard, saat Miztard ingin mengambil benda itu, Guren terlebih dahulu menghalanginya. Sebagai sepupu yang tumbuh besar bersama, Miztard paham dengan reaksi Guren jika sedang marah.

“Kali ini apa?”

Guren terkekeh sumbang akan pertanyaan Miztard. “Ada hubungan apa kau dengan Ran?” tuduh Guren, mendapat reaksi terkejut dari Miztard.

“Apa maksudmu?”

“Kalian ada janji ketemuan, ya? Kok Ran menanyakan posisimu di mana sekarang?”

Suasana di kamar ini begitu tegang. Guren dengan ketegasannya, Miztard dengan pemikiran seribu tanda tanya.

“Mu-mungkin dia sedang—”

“Sedang menunggumu?”

Tiba-tiba panggilan dari Ran menambah ketegangan di antara dua orang itu. Guren mengangkat membiarkan Ran yang terlebih dahulu bicara.

“Kak Miztard, kau di mana?”

“Ngapain kau menanyakan Miztard? Pulang sekarang, dia ada di rumah kita.”

Kita? Guren barusan menyebut kita, kan? Pria itu langsung terdiam setelah sadar apa yang baru ia ucapkan. Begitu pula dengan Miztard yang menjadi pendengar dari obrolan singkat.

Guren langsung mematikan sepihak.

“Kita?” ulang Miztard sambil mengulas senyum. “Oh jadi kau cemburu, ya?” Tawa Miztard mengundang emosi Guren yang sejak tadi tertahan. Ponsel Miztard di lempar keras ke dinding hingga suara tawa Miztard berubah menjadi teriakan histeris.

“Iblis kau! Aku baru saja menggantikannya kemarin.”

“Salahmu, bicara yang tidak-tidak lagi selanjutnya kau yang kuhempas seperti itu.”

“Terserah, aku mau pergi.” Miztard memungut ponselnya yang sudah rusak lalu menuju pintu keluar. Suara Guren menghentikan langkah itu.

“Kau mau ke mana? Masalah kita belum selesai.”

Selangkah lagi kaki Miztard menjauh, dia tahu selanjutnya kepalanya akan bocor oleh asbak rokok kaca yang ada di nakas.

Ingatan pun berputar ke masa lalu saat Guren bertengkar dengan Miztard untuk memperebutkan mainan yang dibawa kakek dari Jepang. Mereka dipisahkan oleh kakek namun tangan Guren mencekau gelas batu dan melemparkan ke Miztard.

Miztard langsung bergidik ngeri mengingat kepalanya bocor waktu itu. “Iya, aku tunggu di sini sampai Ran datang. Kita minta kejelasan sama dia ... Iblis.” Kata terakhir hanya digumamkan oleh Miztard, Guren tidak mendengar jelas umpatan si kesayangan kakek itu.

“Kau bilang apa tadi?”

“Tidak ada.”

25 menit menunggu akhirnya hadir seseorang yang bukan mereka harapkan. Itu Risti bukan Ran, air di mata bengkaknya belum kering menghadap dua pemuda tampan.

“Kenapa cewekmu yang ke sini?” sinis Guren.

Miztard berdiri menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukannya, mereka saling mengucapkan kata maaf dan penyesalan.

Sedangkan si penonton merasa jijik dengan kata-kata mesra yang diucapkan kedua insan itu. Dia tidak suka dengan pemandangan ini, ingin melempar bantal ke mereka tapi tiba-tiba tangannya terasa sakit. Padahal tadi memegang ponsel Miztard sama sekali tidak terasa.

“Ais, di mana Ran?!” gertak Guren karena dia kesal dengan rasa sakitnya.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang