Bab 22.

1.3K 28 1
                                    

Tidak seperti biasanya, hari ini Ran bangun begitu siang, namun Guren membiarkan gadis itu terlelap sampai suster datang membawa sarapan yang mudah dicerna untuk orang sakit.

“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?” sapa suster dengan ramah ketika memasuki ruangan.

“Taruh saja di situ, aku akan makan nanti,” pinta Guren dan suster pun menuruti keinginan Guren setelah melihat ada sosok yang tertidur di sofa yang biasa menyuapi Guren makan.

Sebelum suster keluar, wanita itu memperingati Guren untuk segera makan dan minum obat, tapi Guren menunggu Ran untuk membantunya.

10 menit berlalu sejak suster pergi, Ran tak kunjung bangun dan tentu saja sarapan sudah jadi dingin. Guren setia menunggu Ran tanpa ada niat untuk mengusik lelap gadis itu.

Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan sosok Pasya yang tersenyum dan memanggil nama Guren dengan nada khawatir.

“Sayang aku sangat mengkhawatirkanmu, maaf baru hari ini aku mengunjungimu. Kau pasti mengertikan kalau aku juga sakit,” tuturnya sembari meletakkan plastik yang berisi buah Apel dan Jeruk.

Padahal kemarin-kemarin Guren menanyakan kapan Pasya akan datang, tapi setelah sosok yang ditanya datang Guren malah tidak memiliki antusias sama sekali.

Kenapa dia datang?

Malah kalimat itu yang muncul di benak Guren, dia seakan sudah tidak membutuhkan kehadiran Pasya lagi. Matanya menatap Pasya kemudian Guren menolehkan kepala ke arah Ran dan membuat perbandingan dalam pemikirannya sendiri.

“Sayang kenapa kau diam saja?” Pasya mulai mengikuti ke mana mata Guren tertuju.

Sialan! Umpat Pasya setelah menemukan ada Ran di ruangan itu yang tengah pulas.

“Sayang, kenapa kau melihatnya? ... Gadis itu pemalas, sudah jam delapan tapi dia masih tidur.”

“Dia lelah, biarkan saja.”

Selagi merutuk dalam hati, Pasya tak sengaja menemukan piring yang masih utuh di atas meja.

“Kenapa belum dimakan?”

“....” Guren diam tak menjawab tapi matanya melirik tangan yang terdapat luka dan terasa perih jika memegang sesuatu.

Menyadari hal itu Pasya bergidik ngeri, dia segera mengalihkan perhatiannya karena Pasya tidak sanggup melihat luka yang seperti itu.

“Sa-sayang aku baru ingat ada kelas sebentar lagi,” Pasya mundur perlahan-lahan lalu kemudian hilang. Dia tidak peduli dengan Guren yang belum makan, yang terpenting dari Pasya ialah lari dari pemandangan yang mengerikan itu.

Pasya tidak sadar tindakannya barusan melukai harga diri Guren, seakan pria ini adalah kotoran yang menjijikkan.

“Ran!” teriak Guren yang malah melampiaskan kemarahan pada Ran.

Ran tersentak dan langsung duduk, Rambut yang berantakan serta mata yang berusaha menerima cahaya itu meredakan emosi Guren yang tadinya ingin meledak.

“Apa?” tanya Ran sambil menguap.

Guren menahan senyum, dia seakan lupa akan kekesalannya tadi. Dengan nada normal Guren berkata, “Aku lapar.”

“....” Terdiam sejenak hingga suara jarum jam terdengar jelas di antara kesunyian itu.

Ran menoleh sumber suara itu untuk mengetahui waktu. “Hah?!” Seakan tidak percaya gadis itu melihat sudah lebih dari pukul delapan.

“Suster sudah mengantar—”

“Di atas meja,” lirik Guren dan diikuti oleh mata Ran.

Ran beranjak mengambil piring sambil bergumam kecil menanyakan kenapa tidak membangunkan dia sejak tadi. Suara kecil itu masih bisa Guren dengan, namun ia abaikan.

“Minum dulu,” suruh Ran dengan tangan yang menyodorkan gelas ke mulut Guren.

Seperti biasa Ran menyuapi Guren dengan lembut bersama porsi per sendok yang tidak terlalu banyak juga tidak terlalu sedikit.

Guren menikmati sikap lembut Ran yang seperti ini, mungkin ini salah satu alasan kenapa Guren marah saat Miztard yang menjaganya kemarin.

Memang apa yang dirasakan lelaki normal ketika mereka mendapat suapan romantis dari teman sesama jenis?

“Sudah habis,” seru Ran.

Selanjutnya gadis itu memberikan Guren obat dan membenahi selimut Guren hingga membuat Guren merasa Ran adalah bidadari.

Entah ke mana perginya pemikiran bahwa Ran adalah gadis ular.

“Aku panggil kak Miztard ke sini, ya.” Tiba-tiba Ran menghancurkan mood Guren yang lagi bagus-bagusnya.

“Kenapa? Kau mau pamer kemesraan di hadapanku?” ucap Guren dengan nada ketus serta tatapan yang tidak senang.

Kemesraan katanya? Jelas sekali dia menunjukkan reaksi cemburu, tapi Ran bukanlah orang yang mengerti tentang perasaan yang seperti itu, setidaknya untuk saat ini.

Kepala Ran menggeleng. “Aku mau pergi, ada tugas kampus, kemarin aku tidak ikut mengerjakan, setidaknya hari ini aku ikut serta.”

“Miztard sibuk, kau di sini saja. Teman-temanmu tidak keberatan, kan?”

Keheranan menyelimuti kalbu Ran, biasanya Guren senang jika tidak ada dia, apa karena dia sedang tidak bisa apa-apa makanya dia hanya ingin memperbudak di sini?

“Tidak bisa, ah iya aku akan telepon mamamu saja, aku ingat hari minggu dia senggang.”

Baru saja namanya disebut, kehadirannya pun tiba. “Mau ke mana kau?” tanya Muti dengan mata yang sama, mata yang memandang Ran dengan rendah.

Entah sebuah keberuntungan atau sial? Antara takut dan senang tentunya, Ran menjelaskan keperluannya secara mendetail pada Muti, tapi ....

“Bilang saja kalau kau tidak mau mengurus Guren, segala pakai alasan tugas kampus. Dasar wanita ular, kau menikah dengan anakku sebenarnya demi apa, sih? Uang, nama, atau obsesi?”

“....” Ran tidak menjawab hinaan Meti, dia sangat berpengalaman menghadapi orang dengan kebencian. Percuma menjawab, itu hanya akan membuat masalah semakin panjang.

“Pergilah,” ucap Guren tiba-tiba, dia jadi tidak tega melihat Ran dipojokkan oleh mamanya seperti itu.

Muti langsung menatap lurus anaknya dengan tanda tanya. “Kau membela dia, Guren?” tunjuk Muti.

“Pergilah Ran, kembalilah sebelum matahari terbenam,” sambung Guren mengabaikan kekesalan Muti.

Dengan cepat Ran keluar dari ruangan padahal dia belum mandi, dari pada mendapat tekanan dari Muti lebih baik dia kembali ke apartemen untuk mandi.

Muti seperti orang yang kepanasan, dia duduk dengan kasar di kursi yang dekat dengan Guren.

“Kau membela dia dari pada mama, Nak?”

“Aku tidak membela dia, Ma.”

“Tapi—”

Guren memejamkan mata serta membalikkan tubuhnya ke arah lain sehingga Muti berhenti bicara. Jika seperti ini berarti Guren tidak ingin dengar apa-apa lagi, Muti hafal itu.

“Baiklah, lagian mama juga sesak satu ruangan dengan dia .... oh iya, dokter bilang kau sudah boleh pulang mulai hari ini.” Setelah diabaikan oleh Guren, Muti mencari topik lain agar mendapat respons Guren.

Ya, dia berhasil. Guren berbalik menatap Muti dengan raut senang. “Benarkah?” katanya.

“Ia, katanya agar kau tidak stres dan lebih rileks dalam proses penyembuhan.”

“Baguslah, aku memang sudah bosan di ruangan ini.” Guren tersenyum manatao langit-langit, entah apa yang ia pikirkan.

“Mama yang akan merawatmu.”

Guren berpaling cepat dengan mulut yang menganga, kebebasannya seakan hilang jika ada Muti yang mengatur dan merawatnya.

Guren pun memberi alasan yang masuk akan agar mamanya itu tidak sakit hati. “Mama kan sibuk, biarkan Ran saja yang mengurusku, enak saja dia tidak melakukan apa pun.”

“Oh iya benar juga.”

Guren bernapas lega karena berhasil mengelabui mamanya.

Bersambung...

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang