Bab 18.

1.1K 29 0
                                    

Malam ini Adit tidak pulang, dia tidur di samping Ran karena gadis itu panasnya meningkat saat malam hari. Adit semalaman menjaga Ran agar tetap hangat juga mengganti kompres di dari Ran.

Hingga pagi hari, sebelum Ran bangun Adit memutuskan untuk membuat sarapan agar Ran bisa langsung minum obat nanti.

Begitu Adit membuka pintu kamar, dia langsung melihat Pasya yang bermanja pada Guren yang entah sejak kapan wanita itu berada di sini.

“Kak Pasya ngapain di sini?”

Mendengar suara yang dikenal pun Pasya langsung menoleh, dia memasang raut tersentak lantaran keberadaan Adit yang tidak ia sangka.

“Kau yang ngapain di sini?!” balas Pasya.

Kemudian mata Adit menyoroti Guren yang tampak santai di atas sofa.

Brengsek! Dia menguasai dua kakakku sekaligus, batin Adit.

Lantas, dia pun pergi ke dapur berusaha mengabaikan dua sosok yang membuatnya muak.

Adit memasak nasi goreng, salah satu masakan yang ia kuasai, berbekal kan bahan seadanya, Adit mampu membuat aroma harum yang enak menyerbak luas hingga sampai di hidung Pasya dan Guren.

“Aromanya enak, Adit pandai masak, ya?” tanya Guren pada Pasya.

Pasya mengangguk mantap. “Kayaknya dia masak nasi goreng, itu adalah masakan yang paling dia kuasai.”

Di rumah kan tidak ada beras? Ran beli sendiri, ya?

Guren memang tidak ada membeli bahan baku sama sekali, sebab dia sering makan di luar atau mesan online.

Perut pasangan haram itu jadi lapar akan aroma sedap masakan Adit. Pasya beranjak ke dapur menyusul Adit untuk meminta dua piring Nasi Goreng.

“Dit, sisakan dua piring untuk kakak dan Guren.”

“Hah?” Adit memasang ekspresi mengejek serta songong. “Sisakan untuk kalian?” ulangnya.

“Iya.”

“Sorry ya, aku enggak masak buat pasangan haram. Ini untuk kakakku dan juga aku.” Setelahnya, Adit pergi membawa dua piring Nasi Goreng, juga Air Putih dalam satu tempat.

Pasya ternganga, padahal dia sudah pede akan mendapat bagian tadi. “Memang aku bukan kakaknya, ya?” gumam Pasya.

Wanita itu kembali sembari mengentak-entakkan kakinya tanda sebal.

“Ada apa?” tanya Guren heran.

Pasya mendudukkan dirinya dengan kasar di atas sofa. “Dia tidak menyisakan untuk kita.”

“Menyisakan apa?”

“Nasi Goreng!”

“Wajar sih, itu beras bukan aku yang beli.”

Pasya tersenyum, setidaknya Guren menepati janji untuk memberikan Ran uang sepeser pun.

Waktu Adit membuka pintu kamar, ternyata Ran sudah bangun dan duduk di ranjang sambil termenung menatap cermin yang mencetak dirinya.

“Kak,” panggil Adit melangkah dekat.

Ran berpaling menengok Adit yang membawa sarapan serta obat.

“Nasi Goreng? Kaka tidak ingat ada beras di rumah ini,” tutur Ran.

Adit menggeleng-gelengkan kepala sembari memberikan piring pada Ran. Kemudian dia berkata, “Aku yang beli semalam, masa di rumah enggak ada beras sama sekali apalagi bahan di kulkas cuman ada daun bawang.”

Ran diam, dia belum gajian jadi tidak punya cukup uang untuk mengisi kulkas, beberapa minggu ini dia selalu makan Mi Instan.

“Cepat makan, Kak, setelah itu minum obat.”

“Iya, kamu pulanglah dulu Dit, kakak sudah merasa lebih baik. Kamu semalam tidak sekolah jadi jangan bolos lagi hari ini.”

“Sehat apanya? Tadi malam aja Kaka menggigil.”

“Nanti kamu pulang sekolah baru ke sini lagi,” saran Ran.

Adit berpikir sejenak, memang sepertinya tidak apa-apa meninggalkan Ran hingga dia pulang sekolah, lagian Adit hari ini pulang cepat yakni pukul satu siang.

“Huh, iyalah.” Adit setuju.

“Oh iya, nanti singgah ke indomaret dekat perempatan, ambil sepeda kakak yang tertinggal di sana.” Ran baru ingat akan sepeda yang ia tinggalkan di sana.

“Kok bisa sih,” gumam Adit.

Selesai sarapan bersama Ran, Adit mengemasi sisa piring kotornya. Kemudian dia keluar dan berjumpa lagi dengan pasangan haram yang belum juga pergi.

“Adit, kau tidak sekolah?” tegur Pasya.

“Kaka sendiri enggak ke kampus.”

“Kami sebentar lagi akan berangkat kok.”

“Ya, semoga ditabrak mobil,” sumpah Adit melewati mereka berdua.

Sebelum Adit semakin jauh, Guren menghentikan remaja itu dengan pertanyaan, “Ran sudah sembuh?”

Tanpa berbalik Adit menjawab, “Apa pedulimu?” Setelah itu dia keluar dari apartemen.

Guren masih melihat pintu tempat keluarnya Adit, hal itu tentu mengundang pertanyaan Pasya. “Ran sakit, ya?”

“Hmm.”

Guren berdiri mengambil helmnya di atas meja. “Ayo berangkat,” ajaknya pada Pasya.

Pasya berlari kecil mendahului Guren hilang dari balik pintu, sedangkan Guren melirik sejenak pintu kamar Ran yang tertutup rapat.

Kepala Pasya nongol dari pintu karena Guren tak kunjung keluar. “Sayang apa yang kau tunggu? Ayo.”

Di perjalanan menuju kampus, Guren mengendarai motor dengan pikiran yang tidak fokus, bahkan dia tidak mendengar cerita Pasya di belakang.

Pria itu teringat saat dia memukuli Ran, tiba-tiba hal itu menjadi beban pikiran Guren. Entak kenapa baru sekarang dia merasakan tidak enak hati juga khawatir.

'Sakit, jangan pukul lagi.’

Isakan minta ampun gadis itu terngiang-ngiang di otak Guren, ekspresi yang sebelumnya tidak pernah Guren lihat dari Ran kini menjadi bayangan yang menguasai otaknya.

‘Kak Guren.’

Tiba-tiba Ran yang dulu selalu tersenyum ramah padanya muncul begitu saja di ingatan Guren. Jantung Guren berdenyut kencang dengan napas yang mulai sesak.

'Kak Guren bawa apa hari ini?’

Ran yang menyambut kedatangan Guren saat dulu dia datang berkunjung ke rumah.

‘Kue yang Kak Guren bawa kemarin enak banget'

Ran yang selalu memuji apa pun buah tangan yang Guren berikan.

‘Kak Pasya akan lama, Kak Guren mau minum apa?”

Ran yang selalu menjamu Guren dengan ramah dan ceria. Semua itu terbesit begitu saja seakan Tuhan sengaja membuat Guren termenung.

Aku sudah lama tidak melihat dia tersenyum padaku seperti dulu, batin Guren.

Mendadak Guren menjadi sedih, kepalanya menjadi panas serta tangan yang melemas, karena itu motor Guren menjadi tidak terkendali. Dan selanjutnya ....

“Guren!” teriak Pasya kencang.

Brak!

Motor itu beradu dengan mobil sedan yang melaju kencang.

Guren terbaring di aspal bersimbah 'kan darah. Dia merasakan sakit di sekujur tubuh namun tidak bisa bergerak, perlahan Guren memejamkan mata merasakan suara yang mulai riuh.

Ran pasti akan tertawa melihatku yang terkena karma. Haha, gara-gara memikirkan dia aku jadi lupa kalau sedang bermotor.

Setelahnya Guren kehilangan kesadaran, dia di bawa ke rumah sakit bersama Pasya yang menangis karena luka di lengan juga di lututnya. Pasya tidak mendapat luka yang serius, berbeda dengan Guren yang darahnya membasahi jalan.

Pasya tidak berani melirik Guren sedikit pun karena luka pria itu yang parah, Pasya takut darah.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang