Respons Ran yang berujar tanpa menghadap kakek Tarmizi sangat kurang ajar menurut Soni, wanita itu pun menggertak, “Hei kamu! Di mana rasa hormatmu pada Tuan besar, cepat membungkuk!”
“Kau saja yang membungkuk, kau kan pembantu, sedangkan aku menantu. Apa menantu keluarga ini juga membungkuk padamu, Kakek?” Ran masih dalam posisi sama. Dia hanya tidak ingin telur gorengnya gosong, setidaknya biarkan telur itu selesai dimasak.
Namun pertanyaan Ran cukup membuat Tarmizi tersinggung, Ran ternyata sekurang ajar ini, pantas saja mama dan papa Guren tidak menyukai Ran.
“Kurang ajar, kau sama sekali tidak menghormati aku sebagai orang tua.”
“Maafkan aku, aku tidak tahu tradisi keluarga kalian. Sepertinya Kakek salah paham, aku sedang bertanya bukan sedang menyinggung.” Akhirnya Ran berbalik memperlihatkan senyum tipisnya.
Kakek sempat kaget dengan wajah ramah Ran, padahal tadi saat ia hanya melihat punggung gadis itu, dia menilai Ran adalah menantu yang sombong tapi setelah melihat senyum manis Ran, dia jadi meragukan penilaiannya yang barusan.
“Kau benar, menantu tidak perlu membungkuk seperti pembantu di rumah ini.” Setelah mengucapkan itu, kakek pun pergi membawa tekonya yang sudah pergi.
Kemudian Ran melirik Soni. “Kau dengar tadi? Bedakan menantu sama pembantu, ok.”
Soni menggeram kesal dalam diam, apalagi melihat Ran yang beralih mengambil nasi di sana. Nasi itu Soni yang masak, dia jadi tidak rela melihat Ran yang memakannya.
“Jangan melihatku seperti itu, aku tidak tahu alasan kau membenciku.”
“Yang seharusnya menikah dengan Guren adalah Pasya, bukan gadis licik yang menjebak tuan muda Guren sepertimu, kau ular, seluruh orang rumah ini tahu tentang kelicikanmu.”
“Oh begitu, ya tidak salah sih,” jawab Ran santai. Dibenci bukanlah hal yang mengejutkan bagi Ran, pada dasarnya dis memang dibenci oleh banyak orang.
Ran menyantap makan malamnya dengan ekspresi biasa, tidak sadar ada mata mama mertua yang melihat Ran di sudut ruangan yang berbeda.
“Wanita tidak tahu diri,” gumam Muti, mamanya Guren.
***
Pukul 5.39 Guren bangun, tak biasanya dia bangun sepagi ini, mungkin tidur cepat menjadi alasan dia bangun cepat.
Guren duduk, matanya langsung tertuju pada gadis yang tidur tanpa selimut di sofa dekat jendala. Tubuh gadis itu meringkuk, sepertinya ia kedinginan.
“Cih, memang tidak ada selimut lain apa?” Guren bergerak melihat isi lemarinya, memang ternyata tidak ada lagi selimut di sana, pantas saja Ran tidur begitu saja, pasti dia kedinginan.
Ya, dia mengerti kenapa Ran tidak meminta selimut dengan orang rumah, kalau Ran melakukan itu mereka akan tahu kalau Ran dan Guren pisah ranjang.
15 menit kemudian Ran bangun, gadis itu masih merasa kedinginan di sekujur tubuhnya, Ran meringis pelan sembari menggosok-gosok lengannya.
Tangannya berhenti menggosok di saat ia menemukan sosok Guren di sebelah sana. “Oh selamat pagi,” sapa Ran pada Guren yang terlihat hanya duduk memainkan ponsel di atas ranjang.
Guren menoleh, akhirnya yang ditunggu bangun. Pemuda itu jalan kemudian duduk di sofa lainnya yang berbeda dengan tempat Ran tidur.
“Ada apa?” tanya Ran.
Guren menyerahkan selembar kertas lalu berkata, “Tandatangani itu.”
Ran menerima kertas, ia membaca apa yang tertulis di surat itu dengan saksama. Ran menggeleng-gelengkan kepala lalu merobek kertas itu di hadapan Guren.
“Kontrak nikah? Apa-apaan, kayak di novel saja, jangan terlalu ngedrama, Kak. Jika kau ingin ceraikan aku setelah satu tahun ya sudah nanti tinggal ke pengadilan, repot banget padahal begitu doang.” Ran berdiri meninggalkan Guren yang sempat syok dengan tingkah Ran.
“Di robek,” gumam Guren masih dengan raut terkejut.
Ya sebenarnya kalau ingin cerai mudah saja, apalagi yang menginginkan itu pihak laki-laki, dengan kata-kata saja tali penghubung mereka bisa putus. Sedangkan perempuan harus ke pengadilan dulu mengurus ini itu agar bisa berpisah.
Tapi bagaimana cara Guren lepas di saat Ran masih mengancamnya dengan video. Guren memperhatikan tingkah Ran yang seakan tidak ingat kalau gadis itu sebenarnya adalah pihak yang mengancam.
30 menit kemudian, Ran dan Guren turun untuk sarapan bersama keluarga Guren.
Ran duduk bersebelahan dengan Guren, bisa gadis itu rasakan tatapan tidak suka dari seluruh keluarga Guren kecuali Miztard yang tersenyum pada Ran yang tertekan dengan aura yang lainnya.
“Selamat pagi Ran, apa tidurmu nyenyak?” tanya Miztard, kebetulan dia berhadapan dengan pemuda itu.
“Iya,” jawab Ran, dia tidak berani banyak bicara dengan keadaannya yang penuh tekanan dari berbagai mata.
Muti membuka suara, dia ingin sekali merundung gadis yang ia anggap licik karena telah menjebak Guren dan berani mengancam keluarganya. “Kenapa ular licik harus duduk bersama kita, Pah.”
“Sudahlah Mah, kita makan saja jangan pedulikan dia.”
“Tapi mama geli banget, bagaimana ini?”
Brak!
Kakek memukul meja hingga pasangan suami istri itu terdiam. “Muti, Arman. Dia menantu kalian, jangan keterlaluan.”
Walaupun dia orang itu diam, percayalah dalam batin mereka mengutuk Ran dengan segala hal buruk.
Ran hanya diam fokus mengisi perutnya, begitu pula dengan Guren yang tidak peduli jika istrinya direndahkan oleh orang tuanya sendiri.
Selesai sarapan Ran pergi ke kamar untuk mengambil tas, walaupun pengantin baru tapi dia memutuskan untuk berangkat ke kampus dari pada menghabiskan waktu di rumah yang membuatnya hanya akan menjadi sasaran hinaan mertua.
Saat Ran keluar ternyata Guren sudah pergi duluan meninggalkannya.
“Terus aku pakai apa?” tanya Ran pada dirinya sendiri. Biasanya kan dia pakai sepeda, tapi di sini tidak ada sepeda terlebih jarak yang jauh harus di tempuh dari rumah itu ke kampus.
“Denganku saja.” Miztard lewat sambil berkata begitu, Ran pun langsung mengikuti langkah Miztard menuju mobil pria itu.
Sedangkan Guren, pemuda itu pergi ke rumah Pasya. Ya, dia berniat menjemput wanita itu untuk pergi ke kampus seperti biasanya.
Pasya sudah menunggu di depan pintu.
“Sya kau menunggu siapa?” tanya mama Salsa.
“Menunggu Guren, Mah.”
“Tapi Guren sama-” Belum selesai Salsa bicara, Guren sudah tiba di rumah mereka.
“Dah Mah, aku pergi dulu.” Mereka pergi begitu saja.
Salsa jadi bingung, padahal Guren sudah menikah dengan Ran tapi ternyata Guren juga masih mempertahankan hubungannya dengan Pasya.
“Biarkan sajalah.” Salsa masuk ke rumah, dia tidak peduli dengan perasaan Ran yang penting baginya Pasya tidak sedih lagi.
Kemarin saja waktu pernikahan Ran dan Guren, mereka sekeluarga tidak ada yang datang, padahal yang menikah juga anak mereka. Adit ingin datang tapi malah dikurung oleh papanya. Sampai sekarang Adit belum di perbolehkan keluar dari kamar.
“Kaka, maaf.” Ucapan itu keluar beriringan dengan air mata jatuh dalam tidurnya.
Sebagai satu-satunya anggota keluarga yang menganggap Ran ada, Adit sadar bertapa kuatnya mental Ran yang selalu diabaikan dan mendapat perlakuan berbeda seolah Ran bukanlah anak mereka.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Merebut Calon Suami Kaka
Romance"Jangan bermimpi Ran, aku tidak akan menikahimu," kata Guren yang malam ini dijebak oleh Ran untuk bermalam dengannya. Ran adalah gadis ceria, namun di mata semua orang Ran adalah sosok gadis jahat yang tega menjebak calon abang iparnya sendiri. Na...