Brugh!
Ran terhempas di lantai kamar mandi sebab Guren yang mendorongnya. Kepala Ran lalu mendongak ke atas menilik wajah Guren, jantung Ran berdegup begitu kencang, tatapan Guren yang sekarang tidak asing bagi Ran, sesuatu yang ia lupakan berputar buram di otaknya.
“To—long aku, R—an.” Suara lirih penuh derita itu tiba-tiba berdenging di telinga Ran.
Ran menutup kupingnya frustrasi, suara-suara yang entah dari mana mengganggu pendengaran. Ran menjambak rambutnya sendiri, ingatan tentang gadis berlumuran darah terbesit begitu cepat, hingga dia menggigil ketakutan.
Byur.
Ran berhasil sadar sebab guyuran air yang Guren siramkan ke tubuh Ran. Napas Ran terengah-engah seolah habis di kejar hantu, lalu dia melirik Guren perlahan.
“Olif,” gumam Ran sangat pelan hingga Guren pun tidak dengar.
“Kau ini kenapa? Belum juga aku apa-apa ‘kan.”
Ran tidak mendengar suara Guren, otaknya sibuk mengingat sesuatu yang seharusnya tidak ia lupakan.
“Ran!” gertak Guren. “Kau ini kenapa?”
“...”
Guren semakin risi dengan mata Ran yang menatapnya namun gadis itu tidak mengeluarkan suara, dengan begitu tangan Guren bergerak menjambak rambut panjang Ran.
“Masih mau diam, hah?!”
Karena masih tak mendapat respons dari Ran, Guren sekali lagi menampar pipi Ran hingga gadis itu terbaring di lantai.
“Kak Guren,” cicit Ran pelan membiarkan tubuhnya terbaring di lantai yang dingin.
Guren terkekeh. “Perlu dengan cara seperti inikah agar kau bersuara?”
Pandangan Ran begitu hampa, satu objek menjadi sasaran kehampaan itu. “Kakak mau ngapain aku?” tanya Ran masih dalam posisi yang sama.
Pertanyaan Ran bukan tak beralasan, dia di perlakukan kasar seperti ini di dalam kamar mandi milik Guren. Tentu saja sakitnya terasa, walaupun dia sedang sibuk dengan pemikiran sendiri.
“Menyiksamu ... sampai kau menyesal telah bermain-main denganku,” jawab Guren atas pertanyaan Ran.
Ya seperti yang Guren katakan, malam ini menjadi malam yang menyakitkan bagi Ran. Ran ditendang, ditampar, dipukul, bahkan ditenggelamkan ke dalam bak.
“Sakit, Kak,” ringis Ran, dia sudah tak mampu menyembunyikan air mata lagi. Bahkan tubuhnya mengalami hal yang lebih parah dibandingkan dengan pembulian di sekolah.
Bukannya iba, Guren malah menikmati jeritan kesakitan Ran bak suara merdu yang enak didengar. “Memohonlah, Ran.”
“Aku mohon berhenti, Kak. Jangan menyiksaku seperti ini.”
“Haha, ternyata gadis angkuh sepertimu bisa menangis juga, ya.”
Ini begitu tiba-tiba, Guren sepertinya benar-benar tidak takut lagi akan ancaman Ran. Malah dia ingin membalas Ran dengan derita karena berani menghancurkan impiannya dengan Pasya.
Setelah merasa cukup untuk hari ini, Guren meninggalkan Ran yang sudah tak sadarkan diri di dalam kamar mandi.
Dengan santainya pria ini duduk di atas ranjang dengan sebatang rokok yang bertengger di antara jarinya. Saat ia memeriksa ponsel, banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Pasya.
“Tidak untuk hari ini,” katanya dengan melemparkan ponsel ke bantal sebelah.
Belum lagi habis batang rokok itu, Guren sudah mematikan api rokok. Perhatikannya beralih pada pintu kamar mandi di depan sana. “Dia tidak mati, kan?” tuturnya terkesan tidak peduli.
***
Saat pagi tiba, Guren bangun dengan sangat terpaksa mengingat ada tugas kampus yang harus ia antar hari ini.
Dengan mata separuh pejam Guren jalan menuju kamar mandi, tapi sebelum menyentuh knop pintu dia terdiam sebentar memikirkan akankah Ran sudah pergi ke kamar sendiri?
Perlahan ia buka pintu itu, setelahnya dia mematung sejenak melihat Ran terkapar di lantai.
“Bangun!” gertak Guren tiba-tiba.
Ada sedikit pergerakan pada Ran, gadis itu sudah bangun sejak tadi, namun dia kesulitan bergerak karena badan yang terasa sangat sakit.
“Aku ... tidak bisa,” lirih Ran terdengar menyedihkan.
Karena Guren tidak punya waktu, pria itu memindahkan tubuh Ran ke kamar Ran sendiri karena Guren ingin mandi.
“Dia demam lagi,” ucap Guren dalam hati.
Biarpun begitu, Guren tetap kasar pada Ran. Sampai di kamar gadis itu, Guren langsung melempar Ran ke atas ranjang, tidak ada niatan baginya untuk berbaik hati pada Ran yang telah menipunya.
“HP, tolong ambilkan HP milikku di atas meja,” pinta Ran tak berdaya.
“Padahal dia sudah kusiksa sampai seperti itu, dia tidak ada jeranya, ya?” Guren membatin, ya seharusnya sekarang Ran takut.
Tapi, sekalipun Ran akan dipukul lagi oleh Guren dia tidak peduli itu selagi Guren menyisakan napas untuknya, yang jelas Ran harus menghubungi seseorang untuk merawatnya sementara.
“Ini.” Guren menaruh ponsel Ran di atas meja, setelah itu dia kembali ke kamarnya lagi.
Selang 15 menit setelah itu, bel apartemen berdenting. Guren yang baru selesai berpakaian membuka pintu untuk menyambut tamu.
“Kau ngpain ke sini?” sambut Guren pada anak berpakaian SMP yang menjadi tamunya di pagi ini.
Adit, dialah remaja yang datang, dengan memasang tampang permusuhan, anak itu melongos masuk ke dalam tanpa dipersilahkan.
“Woi.”
Adit berbalik. “Kamar kak Ran di mana?”
Sekarang Guren mengerti atas kedatangan Adit, pasti Ran yang meminta anak itu untuk datang.
“Kau pulanglah, tidak ada urusanmu di sini,” usir Guren. Dia tidak ingin perlakuan dia pada Ran terdengar sampai ke telinga lain.
Adit menggelengkan kepala tanda tidak setuju, lalu Adit berkata, “Kaka katanya sakit, dia sulit bergerak sebab memar yang ia dapat saat terserempet mobil tadi malam. Abang mau pergi, kan? Siapa yang akan membantu kak Ran kalau dia hanya sendiri di sini?”
Penjelasan Adit cukup meyakinkan Guren kalau Ran tidak akan mengadu pada siapa pun perihal masalah rumah tangga.
“Baiklah.” Lantaran Guren tidak ingin Ran mati sekarang, dia membiarkan Adit masuk.
Ketika Adit telah masuk ke kamar Ran, dia memanggil nama Ran namun tidak mendapat sahutan dari Ran.
Anehnya posisi Ran berantakan dengan kaki yang terjuntai ke bawah serta selimut yang masih rapi tertindih oleh tubuh Ran seolah kakaknya itu tidak tidur di situ malam tadi.
“Adit,” panggil Ran, dia sendiri sudah menyadari keberadaan Adit semenjak adiknya itu masuk dan memanggil Ran.
“Iya, Kak?” Adit bergerak mengecek suhu tubuh Ran. “Kaka panas banget, baju kakak kayaknya lembab.”
“Ambilkan baju kakak di lemari.”
Adit membantu Ran berganti pakaian, matanya membulat ketika melihat tubuh Ran yang banyak memar. Adit menutup matanya sendiri ketika membukakan pengait bra Ran, setelah berhasil mengaitkan yang baru, barulah Adit membuka mata.
“Kakak terserempet di mana?”
“Lapar,” balas Ran untuk menghindari pertanyaan Adit.
“Adit belikan sarapan sama obat ya, Kak. Keluhan Kaka apa saja?”
“Beli obat meredakan panas saja.”
“Ok, Adit juga belikan obat untuk memar juga, Kaka tunggu di sini jangan bergerak dari tempat.” Sebelum pergi Adit memperbaiki posisi Ran dengan baik dan nyaman.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Merebut Calon Suami Kaka
Romance"Jangan bermimpi Ran, aku tidak akan menikahimu," kata Guren yang malam ini dijebak oleh Ran untuk bermalam dengannya. Ran adalah gadis ceria, namun di mata semua orang Ran adalah sosok gadis jahat yang tega menjebak calon abang iparnya sendiri. Na...