Sudah 20 menit Ran masih berdiam diri di tempat yang sama seperti sebelumnya, padahal cacing di perutnya sudah demo meminta asupan.
Ran tidak ingin masuk agar masalah kedua orang yang tak lain kakak dan suaminya selesai terlebih dahulu. Tapi kapan? Dia tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, bisa saja Pasya menginap.
“Apa aku coba masuk aja, ya? Mungkin mereka sudah baikkan.” Mulutnya memang berkata seperti itu, namun kakinya enggan bergerak karena hati yang ragu.
Bimbang membuat Ran termenung, matanya lurus menatap satu objek namun dia tidak benar-benar melihat apa yang ia lihat, Ran hanya sibuk dengan pemikirannya sendiri.
“Gadis itu kenapa menatapku begitu intens? Dia tertarik padaku, ya?”
Alhasil tatapan tidak sadar itu menimbulkan kesalahpahaman orang lain. Seorang duda gagah mulai melangkah menghampiri Ran yang sejak tadi memandanginya, keyakinan duda itu semakin kuat ketika mata Ran terus mengikuti pergerakannya.
“Dek?” panggil duda itu.
Ran tidak menjawab karena dia memang tidak sadar.
Hingga duda itu duduk di samping Ran pun mata itu masih mengikuti pergerakan si duda.
Guren yang baru saja keluar dari apartemen bersama Pasya pun menangkap penampakan Ran yang tengah duduk bersama seorang om-om gagah.
Ini kesempatan emas bagi Pasya untuk membuat Guren tambah benci pada Ran. “Lihat, kan? Dia itu memang enggak ada harga diri. Kamu enggak kasih uang saja dia masih bisa makan dan jajan, dapat uang dari mana coba? Pasti dari hasil jual diri dengan om-om itu.”
Guren tidak menunjukkan reaksi apa pun selain wajah datarnya, dia ingin marah tapi sadar hubungannya dengan Ran tidak sespesial itu, harga dirinya akan ternoda jika menunjukkan reaksi cemburu.
“Ayo pergi,” ajak Guren dengan tidak merespons hasutan Pasya barusan.
Sedangkan di sisi lain masih ada Ran yang masih termenung menatap om duda, dengan pikiran, “Mereka sudah baikkan belum, ya? Perutku lapar, aku ingin masak mi tadi, oh iya mi aku ke mana perginya, ya? Tadi aku pegang, kan?”
Tiba-tiba Ran bergerak melihat ke sana ke mari untuk mencari mi yang ia pegang tadi. Om yang melihat pun bingung dengan pergerakan lincah Ran yang tiba-tiba padahal barusan gadis itu hanya diam membisu.
Ran menangkap sosok pria itu di matanya kemudian berkata, “Om siapa?” tanya Ran sedikit memiringkan kepala.
Raut heran tergambar jelas di wajah om duda, padahal tadi Ran yang memancingnya untuk datang tapi kenapa sekarang gadis itu seolah baru sadar akan kehadiran si om.
“Tadi kamu yang lihatin om terus, makanya om datang untuk bertanya. Jadi ... kenapa kamu lihatin om sejak tadi, om ajak ngomong kamu enggak menjawab.”
“Benarkah? ... ah, itu aku kalau lagi bengong memang suka lihat satu objek, Om. Mata aku pasti ngikutin Om terus, kan? Sebenarnya itu aku enggak memperhatikan Om kok, maaf ya.” Setelah berkata seperti itu Ran langsung lari masuk ke apartemen, dia sudah kepalang malu untuk terus duduk di situ.
Sepanjang koridor menuju unitnya, Ran terus merutuki kebiasaan buruknya itu yang selalu mengundang kesalahpahaman. “Terjadi lagi, sial!” gumamnya dengan kaki yang tidak berhenti menapak laju.
Setiba di dalam unitnya, Ran segera mengunci pintu. Dia kemudian berbalik membelakangi pintu, selanjutnya tubuh Ran merosot ke bawah bersama kaki yang ia luruskan ke depan.
Ran teringat kembali dengan perkataan Guren tadi. ‘Selanjutnya aku akan sering membawa Pasya ke sini.’ Ucapan itu menjadi pikiran Ran sekarang.
“Kak Pasya akan sering ke sini? ... Dia benar-benar tidak ingin menghargai aku sedikit pun.” Bibir Ran terangkat sedikit, itu adalah senyuman kekecewaan yang sulit digambarkan. “Seandainya dia tahu alasanku ... apa dia bisa membantu atau setidaknya tidak memandangku serendah itu, ya?”
Kembali terbayang oleh Ran dengan tatapan remeh yang selalu Guren lemparkan, hatinya terasa tercabik namun dia berusaha santai bahkan dengan perkataan kasar Guren.
“Mau sampai kapan aku seperti ini, kak Arif?” Ran mendongak ke atas melihat langit-langit agar air matanya tidak jatuh.
Sedangkan orang yang namanya baru saja disebut oleh Ran tengah berhadapan dengan Miztard di sebuah kafe tempat perkumpulan anak muda.
“Jadi, apa alasanmu mengancam Ran seperti itu?” tanya Miztard sambil mengabulkan asap rokok yang ia hisap.
Arif terkekeh kecil kemudian dia berkata, “Sejak kapan kau mengetahuinya.”
“Sejak awal,” jawab Miztard, dia tidak memandang Arif begitu pula dengan Arif yang ikut memandang bintang.
“Kenapa kau tidak memberitahu Guren?”
“Aku kasihan dengan Ran, kalau rencanamu gagal yang kena imbasnya pasti Ran, kan?”
“Ya video papanya masih kusimpan dengan baik, sih. Aku juga membuat salinannya.”
Miztard tiba-tiba menarik kera baju Arif dengan mata yang menunjukkan kemarahan. “Tidak sepatutnya kau mempermainkan orang seperti itu, brengsek!”
Ekspresi Arif menjadi sendu, tatapannya ia lemparkan ke arah lain. “Terus bagaimana dengan adikku?”
“Adikmu?” ulang Miztard.
“Guren menghamili Olif lalu kemudian lari dari tanggung jawab. Sebenarnya siapa yang brengsek, hah!” bentak Arif dengan mata berkaca-kaca.
Cengkeraman tangan Miztard melemah. “O-Olif ... adikmu?” ucap Miztard getir, perlahan Miztard mundur, tangannya gemetaran karena nama Olif cukup terkenal di keluarganya serta ditutup rapat-rapat dari publik.
Arif menghapus air mata yang jatuh ke pipi kemudian pria itu berkata, “ayahku jadi pemakai narkoba semenjak Olif tiada, dia adalah matahari di keluarga kami yang tidak memiliki sosok ibu.”
Mendengar kata 'tiada' sudah cukup memberikan informasi bahwa Olif sudah tak di dunia ini lagi. “Karena apa dia meninggal?” tanya Miztard pelan.
“Tanya aja sama Guren, dia yang tahu jelas bagaimana detik-detik kematian Olif.”
Detik kemudian mereka sama-sama diam. Arif yang berusaha untuk berhenti menangis juga Miztard yang mencoba mencerna semuanya.
Kematian Olif memang tidak jelas, keluarga besar Guren hanya meminta Olif aborsi dan memberi sejumlah uang yang bernilai ratusan juta, namun Olif menolak semuanya, setelah itu tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Olif, bahkan Miztard baru tahu kalau Olif sudah tiada ditambah kenyataan bahwa Olif adalah adiknya Arif.
“Tapi ....”
Arif menoleh mendengar cicitan Miztard. “Tapi apa?”
Miztard menatap yakin Arif, menepuk pundak Arif pelan. “Tapi Ran tidak ada hubungannya dengan masalah ini, dia tidak bersalah, kenapa kau menyeretnya dalam dendammu pada Guren?”
“Ran gadis yang paling dibenci di sekolah, biarkan Guren merasa malu karena istrinya adalah gadis yang suka cari muka sana-sini. Kau lihat bagaimana satu kampus mengolok-oloknya karena menikahi Ran? Ini baru permulaan, aku akan merebut Pasya yang merupakan wanita yang paling Guren cintai, kita lihat bagaimana dia akan menangis darah nanti.”
“Haha.”
“Apa yang kau tertawakan, Miz?”
“Aku minta maaf atas kejadian adikmu, tapi kalau tentang Ran aku akan menunjukkan sesuatu besok di sekolah.” Kemudian Miztard menjauhkan diri dari Arif sambil melambaikan tangan karena dia ingin pulang.
Miztard berhenti sejenak lalu dia berbalik badan menatap mata sama mata dengan Arif. “Aku akan tanyakan tentang Olif pada Guren, tapi tidak sekarang. Sekali lagi maaf atas nama Guren, walaupun kata maaf tidak cukup tapi hanya ini yang bisa kulakukan. Sebenarnya aku masih marah denganmu karena melibatkan Ran, tapi aku tidak tahu cara memarahimu sekarang,” ujar Miztard.
Awalnya tadi Miztard mengajak Arif bertemu untuk memberi pelajaran pada Arif. Tapi setelah mendengar cerita Arif dia langsung merasa kalau dia bukanlah orang yang tepat untuk memarahi Arif.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Merebut Calon Suami Kaka
Romance"Jangan bermimpi Ran, aku tidak akan menikahimu," kata Guren yang malam ini dijebak oleh Ran untuk bermalam dengannya. Ran adalah gadis ceria, namun di mata semua orang Ran adalah sosok gadis jahat yang tega menjebak calon abang iparnya sendiri. Na...