Bab 7. Tidak peduli.

1K 26 0
                                    

Sudah pukul 10 malam, namun satpam kampus disuruh dosen untuk mengambilkan laptopnya yang ketinggalan di dalam kantor. Dia dapat upah untuk itu, jadi dengan senang hati satpam lakukan.

Setelah melewati cahaya yang meremang, entah kenapa bekas toilet lama di ujung sana serasa memanggilnya untuk datang. Di sana cahayanya sangat sedikit, bulu kuduk pak satpam merinding akan tetapi kakinya terus melangkah dekat.

“Kenapa aku ke sini?” Dia bingung sendiri, instingnya memaksa untuk membuka salah satu pintu toilet yang satu-satunya tertutup di situ.

Pintu pun dibuka, dia menembakkan cahaya senter ke dalam, seketika pak satpam berteriak dengan suara yang melengking seperti wanita.

Ran, gadis itu ada di dalam terduduk di lantai kotor dan lembab. Dia menoleh saat cahaya terang mengenai dirinya, setelah itu teriakkan kencang pun terdengar.

“Siapa?” Ran tidak bisa melihat orang di depannya, cahaya senter itu mengganggu penglihatan Ran.

“R-Ran?! Kamu ngapain di sini malam-malam?”

Walaupun tidak melihat wajahnya tetapi Ran mengenali suara itu, suara pak satpam kampus yang selalu ia lihat setiap memasuki gerbang kampus tentunya. “Pak Pino, ya? Aku mencari jangkrik di sini, Pak.” Ran berdiri, sekarang dia sudah bisa keluar. Ran melewati pak Pino yang mesin tetap berdiri di sana, biarkan saja, tapi baru beberapa langkah Ran pun berbalik. “Pak, kunci kelas bapak yang pegang, kan?”

“I-iya.”

“Kalau begitu, bukakan kelasnya Pak, saya mau mengambil tas.”

Malam itu pukul setengah sebelas, Ran akhirnya bisa keluar dari toilet lama. Dia tetap tegar seolah tidak terjadi apa-apa, Ran berjalan seorang diri di tengah malam yang gelap berangin.

Embusan angin seakan ingin membuat Ran membeku, tak lama kemudian tetesan air hujan turun ke bumi membasahi Ran yang berjalan seorang diri.

“Masih jauh,” gumam Ran, akhirnya dia terduduk lemas di jalanan yang sepi, tidak ada rasa takut lagi, dinginnya suhu menghilangkan kesadaran Ran, penglihatannya sudah buram dan dia sudah terbaring di aspal.

Sedangkan di tempat lain, Guren tengah asyik memainkan game PC, derasnya hujan di luar sana tidak membuat Guren mengantuk. Tapi bisakah dia setidaknya memikirkan istri yang tidak pulang-pulang? Tidak, dia bahkan berharap Ran tidak kembali lagi ke hadapannya, berharap dengan Guren adalah hal yang sia-sia.

Ting!

Ponsel Guren mengeluarkan suara tanda pesan masuk, si pengirimnya adalah Miztard.

[Ren, istrimu sudah pulang, enggak?]

Guren berdecak kesal setelah membaca pesan dari sepupunya itu, Guren langsung melempar ponselnya ke atas ranjang. “Aku tidak peduli, jangan tanyakan jalang itu padaku,” gumam Guren kemudian melanjutkan aktivitas main gamenya.

Hujan di luar sana sudah dua jam tidak berhenti dan juga belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, itu berarti sudah pukul setengah dua sekarang. Guren masih terjaga, hingga tiba-tiba pintu kamar itu pun terbuka.

Guren menoleh, selanjutnya dia memutar kursi gamingnya menghadap sosok yang baru saja datang. Guren menunjukkan senyum remeh sambil berkata, “Hari ini main di hotel mana? Atau di Club malam, Ran?”

Ya, yang datang adalah Ran, gadis itu basah kuyup bahkan air menetes deras ke lantai dari tubuhnya. Ran mengacuhkan perkataan Guren, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Air hangat dalam bathup sedikit membantu menghangatkan Ran. “Bisa-bisanya aku pingsan di jalan, untung cepat sadar kalau enggak pasti akan dilindas mobil,” tutur Ran pelan, memang Ran sadar sendiri tadi. Bahkan dia memaksakan diri untuk berlari agar cepat sampai, setelah sampai dia malah dituduh yang tidak-tidak oleh Guren, bukankah itu menyakitkan?

“Pusing, apa aku akan pingsan lagi kali ini?” Ran bergerak pelan, dia masih memiliki cukup kesadaran untuk keluar. Bermodalkan handuk saja, Ran tidak peduli dengan tatapan tajam di sebelah sana.

Guren memperhatikan Ran, dia menangkap sesuatu dari tubuh putih nan elok itu. “Lebam?” Di paha, bahu dan lengan Ran terlihat jelas memar biru keunguan, bahkan cara jalan Ran sudah seperti orang mabuk. “Oh kau main gila, ya? Tak aku sangka kau serendah itu, Ran.” Lagi-lagi Guren salah paham, dia yang membenci Ran tidak bisa menilai Ran dengan baik, semua berdasarkan kebenciannya saja.

Ran mengabaikan Guren, gadis itu hanya melilitkan jubah mandi karena dia sudah tak sanggup berdiri, langsung saja Ran menjatuhkan diri ke atas ranjang.

“Ran kau tidur di kursi!” Guren berdiri menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, namun Ran tidak kunjung bangun seolah dia pingsan, atau sebenarnya Ran memang Pingsan? Ya, tapi Guren tidak sadar itu.

“Ck, aku tidak mau mengalah.” Saat Guren ingin menggendong tubuh Ran untuk pindah, seketika dia berhenti merasakan tubuh panas Ran ditambah gadis itu sangat pucat.

“Dia demam?” Guren menatapi wajah Ran, cantik sangat cantik bahkan dia terpana. Mata itu mulai menelusuri setiap lekuk tubuh Ran yang tertutupi bathrobe, dia tergoda. Guren langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh Ran, hampir saja kewarasannya hilang karena Ran.

“Sial,” umpat Guren.

Sinar matahari dari sela-sela jendela yang tertutupi gorden mengusik nyenyak seorang gadis yang masih belum ingin membuka mata, Ran terbangun merasakan dingin yang luar biasa. Ran semakin menggelung diri dalam selimut, sedangkan pria yang tidak tidur malam ini melihat pergerakan Ran dengan tatapan datar.

Guren menarik napas dalam, ia ingin marah tapi rasanya lebih baik membiarkan Ran seperti itu sedangkan dia bersiap untuk mandi dan sarapan pagi.

“Ck, menyusahkan,” keluhnya.

Saat Guren turun, keluarganya sudah mengumpul di meja makan, Guren ikut duduk bergabung bersama mereka.

“Ran sudah pulang?” tanya kakek Tarmizi.

“Hem,” Guren menjawab malas,

“Terus kenapa dia tidak turun?”

“Dia demam, nanti antarkan obat sama makanan saja ke kamar.”

Muti tertawa kecil, bukan karena lucu tapi tawa itu terdengar seperti merendahkan. “Ck itulah akibat terlalu liar, tahu rasakan. Sejak awal melihat gadis itu aku sudah tidak suka dengannya.”

“Muti,” tegur kakek. Muti tidak bersuara lagi, selanjutnya hanya terdengar suara denting sendok saja.

Setelah selesai sarapan, Guren langsung pergi untuk menjemput Pasya. Ya, setiap harinya memang begitu, walaupun kini statusnya telah menjadi suami Ran, Guren masih sama dengan kebiasaannya.

“Selamat pagi, Sayang,” tegur Pasya ketika Guren sudah sampai di rumahnya, gadis itu langsung naik ke motor Guren dan memeluknya erat hingga tidak ada jarak.

“Jadwal kelasku hari ini agak siang, kamu bagaimana?” tanya Guren yang belum menjalankan motornya.

Pasya tersenyum senang, dia tahu niat Guren. “Bilang saja kalau mau ngajak aku jalan, yuk lah. Aku masih sempat kalau hanya satu jam.”

Selanjutnya mereka jalan-jalan entah ke mana, bersuka ria seakan tidak ada penghalang dalam hubungan mereka. Sedangkan penghalang yang di maksud masih terlelap di kasur yang nyaman.

Bersambung....

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang