Bab 9. Uang sendiri.

1K 27 0
                                    

Hari sudah semakin gelap, Guren sejak tadi berusaha untuk mengabaikan Ran yang tidur di lantai. Harga dirinya merasa ternodai karena membiarkan seorang gadis mengalah.

“Ck,” decak Guren kesal. Pria itu bergerak untuk memindahkan Ran naik ke ranjang. “Aku mengasihanimu karena kau sakit ya,” ujar Guren pelan.

Paginya saat Ran bangun, beberapa pembantu terlihat memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. “Mau kalian apakan bajuku?”

“Kita akan pindah ke apartemen.” Jawaban Ran dapatkan dari Guren yang baru saja masuk.

Ran mengangguk paham, dia tidak bertanya lagi bahkan di saat menyadari dirinya berada di atas ranjang lagi untuk kedua kalinya.

“Aku akan kemasi pakaianku sendiri, kalian pergilah.” Ran beranjak tapi kemudian dia kembali terduduk, kakinya tiba-tiba gemetaran serta tubuh yang terasa lemas.

Melihat itu Guren memerintahkan salah satu pembantu untuk mengambil makanan, setelah itu Guren kembali melirik Ran yang tidak mengerti kenapa dia bisa selemas itu.

“Kau semalam cuman makan satu kali, kan? Sekarang juga sudah siang jadi wajar saja, setelah makan minumlah obatmu, jangan merepotkanku lebih jauh.” sahut Guren. Dia tampak perhatian walaupun dengan wajah datar, jangan salah paham, dia hanya tidak ingin kerepotan jikalau sakit Ran tambah parah.

Siang itu Guren dan Ran pindah ke apartemen, Ran sedikit lega akhirnya dia bisa lepas dari tatapan menusuk keluarga Guren.

“Kita sekamar, Kak Guren?”

“Jangan mimpi, alasanku membawamu pindah ya karena tidak ingin tidur sekamar denganmu,” ketus Guren melangkah menuju salah satu pintu.

Ran memasang ekspresi menggodanya. “Eh kenapa? Masa enggak mau sekamar dengan gadis cantik seperti aku?”

“Cih, melihat tingkat percaya dirimu sepertinya kau sudah sehat.” Setelah itu Guren hilang dari balik pintu kamar. Namun pintu itu terbuka lagi menampakkan wujud Guren, pria itu berkata, “Kamu tidak boleh ikut campur urusanku, aku juga tidak akan ikut campur urusanmu.” Selepas mengatakan itu Guren kembali menutup pintu.

Ran berkedip beberapa kali dengan ekspresi bengong. “Bukannya aku pihak yang mengancam, ya?” Akhirnya dia sadar kalau sebenarnya dia lebih berhak mengatur, karena pernikahan ini terjadi atas ancaman Ran pada keluarga Guren. “Ah sudahlah, tidak penting juga. Yang penting papa aman di rumah.”

Karena ini masih siang, Ran berinisiatif untuk membeli bahan pangan. Apartemen sudah bersih jadi dia tidak perlu membersihkan setidaknya untuk hari ini, Ran mengetuk pintu kamar Guren, tak butuh waktu lama Guren pun muncul.

“Ada apa?” katanya.

“Boleh minta uang untuk mengisi kulkas?” Ran langsung menyampaikan maksudnya, tapi Guren malah menatapnya dengan tatapan jijik.

Terdengar suara helaan napas Guren. “Aku tidak menganggapmu sebagai istriku, jadi untuk apa minta uang denganku?” Kemudian Guren menutup pintu kencang, Ran sampai kaget dan mundur beberapa langkah.

Sekarang Ran bingung harus bagaimana, sebelumnya walaupun dia jarang memegang uang tapi dia tetap bisa makan. Sekarang dia tidak mungkin kembali ke rumah orang tuanya untuk meminta sesuap nasi.

“Kalau aku tidak mencari uang, aku akan mati.” Ran melangkah cepat untuk keluar, dia ingat waktu singgah di indomaret ada pengumuman sedang mencari pegawai baru. “Semoga masih ada tempat.”

Setiba di tujuan, Ran langsung masuk lalu berhadapan dengan kasir yang tengah kerepotan melayani pelanggan seorang diri.

Merasa ditatap oleh Ran, kasir pria itu pun bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”

Ran mengangguk antusias, kasir sedikit heran dengan mata berbinar Ran, selanjutnya Ran menyampaikan maksudnya. “Apa kalian masih membutuhkan pegawai baru?”

“Kamu mau melamar, ya?”

“Iya.”

“Kalau begitu tunggu sebentar ya, aku layani pembeli dulu.”

Lima belas menit Ran menunggu, akhirnya kasir senggang juga. “Aku akan menghubungi bos dulu.” Selanjutnya pemuda itu menghubungi bosnya melalui panggilan video agar bos bila melihat wajah Ran.

Setelah terhubung Ran menjelaskan bahwa adalah pelajaran, dia meminta untuk diberikan shift malam. Beruntunglah Ran memiliki wajah cantik hingga ia diterima, bos sangat senang karena Ran bisa saja membawa pelanggan pria datang.

Setelah panggilan selesai, pemuda itu menjulurkan tangan lalu berkata, “Selamat Ran, oh iya namaku Faisal. Nanti malam kau boleh langsung bekerja, untuk sekarang jangan pulang dulu, aku ajarkan pekerjaan yang perlu kau lakukan.”

Hingga pukul sepuluh malam Ran belum pulang juga, Guren di rumah semakin menilai Ran buruk karenanya. “Wanita liar,” tutur Guren. Tak lama kemudian ponselnya berdering, langsung saja Guren jawab, “Iya Sayang ada apa?” Yang dipanggil sayang adalah Pasya, pacar Guren.

“Aku hanya ingin memastikan, kamu enggak memberikan uang untuk Ran, kan?”

“Iya Sayang, sesuai permintaanmu.”

Oh ternyata, Pasya yang telah menghasut Guren. Cinta membuat Guren mengabaikan akan tanggung jawab yang harus ia penuhi walaupun walau dia nikah karena terpaksa.

Sedangkan Ran di sini bersiap untuk pulang, memang jadwal pulangnya pukul 22.30. Sebelum pulang dia diberikan uang oleh bos yang datang menengok-nengok, Ran berhasil memecahkan target penjualan bermodalkan tampangnya, anak muda yang bukan merupakan dari kampusnya banyak memuji Ran bahkan menggoda gadis itu.

Tentu saja Ran itu cantik, Hanya di kampus dia mendapat tatapan kebencian, di luar dia mengundang kekaguman orang-orang.

“Kerja bagus Ran, ini ada bonus untukmu.” Pak Wahyu memberikan uang 50 ribu.

“Terima kasih, Pak.” Ran menerima dengan senang hati, lagian dia memang butuh uang untuk makan besok, terlebih gajinya diberikan setelah satu bulan bekerja, jadi dia sekarang mamang butuh pegangan. Uang lima puluh ribu pemberian pak Wahyu menjadi penyelamat bagi Ran.

“Kalau begitu saya pulang dulu, Pak.” Selepas berpamitan, Ran keluar. Arah tujuannya bukanlah ke apartemen, tapi ke rumah orang tuanya.

Tengah malam, Ran sampai di rumahnya. Suasana sangat senyap menandakan orang di dalam sana sudah tidur, tapi mungkin satu orang belum tidur, yaitu Adit. Adit memang kebiasaan bergadang hanya karena game.

Ran menelepon Adit, dan untungnya diangkat. “Dit, tolong keluarkan sepeda kakak.”

“Kakak di mana?”

“Kakak di depan rumah.”

Adit langsung beranjak keluar untuk membuka pintu, yang benar saja, Ran ternyata sudah ada di depan Rumah.

“Kaka ke sini sama siapa?” tanya Adit.

“Sendiri.”

“Astaga, Kak. Ini tengah malah loh, enggak takut apa?”

“Engga, sana cepat keluari sepeda kakak.”

Adit bergerak membawa sepeda Ran, kemudian dia berkata, “Bang Guren sering datang menjemput kak Pasya di sini,” katanya menatap sedih Ran.

Ran menjentik kening Adit. “Jangan sedih, kakak tidak apa-apa. Adit juga tahukan kalau kakak tidak menginginkan Guren, pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan bapak, jadi jangan pikirkan soal perasaan kakak, kan kakak tidak punya perasaan pada pria itu.”

“Iyakan tetap saja dia suami Kaka.”

“Dalam satu tahun mungkin kami akan segera bercerai, biarkan dia bersama kak Pasya, mereka memang akan menikah suatu saat nanti. Dah ya, kakak pergi dulu.”

Adit memandang punggung Ran yang semakin ditelan kegelapan di sana. Gadis itu tampak tidak takut mengayuh sepeda di waktu seperti ini, walaupun Ran tadi berkata baik-baik saja tapi Adit tetap merasa kasihan.

Bersambung...

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang