Bab 10. Penguntit.

997 31 0
                                    

Sudah dua hari Ran absen dari kampus, pagi ini dia bangun lebih cepat dari Guren, mengayuh sepeda membelah jalanan kota menuju kampus.

Sebenarnya hari ini Ran masuk pukul sembilan, tapi dia datang sangat pagi karena alasan lapar hendak makan di kampus sekalian mengerjakan tugas di perpustakaan.

Sampai di perpustakaan, Ran duduk seorang diri fokus pada tulisan yang ada di bukunya.

Miztard dan Risti melihat Ran, kebetulan mereka juga berada di ruang yang sama, kemudian Miztard berujar, “Sayang kau lihatlah dia selalu sendiri, apa tidak ada rasa iba melihatnya kesepian seperti itu?”

“Tidak,” jawab Risti cepat. “Gadis ceria seperti itu memangnya terlihat menyedihkan di matamu, ya?”

“Dia hanya terlihat ceria.” Mata Miztard sendu, Risti tidak mengerti ada apa dengan Miztard.

Sedangkan di tempat lain, Guren sudah bangun, dia celingak-celinguk namun tidak mendapati Ran di sudut mana pun.

“Sejak semalam dia belum pulangkah?” gumam Guren, dia memang tidak ada melihat Ran sejak gadis itu pergi siang semalam.

“Peduli amatlah, dia mau mati pun seharusnya aku tidak ikut campur.” Setelah itu, Guren membuka laptop guna mengecek pekerjaan. Kalian ingatkan dia adalah seorang cyber di perusahaan milik kakek yang dipimpin oleh paman? Guren bisa bekerja di rumah ataupun di kantor sesuai dengan moodnya saja.

Hari ini Guren tidak ada kelas, jadi dia bebas mau ngapain saja. Tiba-tiba terbesit di pikiran Guren untuk meretas ponsel Ran guna untuk menghapus video yang menjadi senjata Ran.

Beberapa saat kemudian Guren berhasil memasuki jaringan Ran, dia mengecek satu persatu dimulai dari galeri. Kening Guren menyeringit heran sebab gadis itu tidak memiliki foto diri sendiri, hanya ada satu foto keluarga di mana tidak ada wajah Ran di sana.

“Apa ini foto keluarga, kok dia enggak ada di dalam foto?” Kemudian Guren mencari data-data yang dihapus oleh gadis itu, tapi tidak ada satu pun foto yang di hapus oleh Ran, dengan kata lain Ran memang tidak pernah menyimpan gambar.

“Ini tidak mungkin, ada ya isi ponsel seseorang sehampa ini? Terlebih lagi dia cewek.”

Semakin dalam Guren mencari, semakin bingung pula ia. Ran tidak ada mengirim gambar pada keluarganya, Guren juga tidak menemukan kalau Ran menyimpan nomor keluarganya.

“Kalau bukan dia yang mengirim foto itu, jadi siapa? Atau melalui warnet, ya?” Jika ingin mengecek di mana Ran mengirim gambar, Guren terlebih dahulu harus meminjam ponsel papanya karena papa lah yang menerima pesan dari Ran.

Tapi Guren belum ingin keluar dari jaringan Ran. Dia ingin melihat apa saja yang dibahas Ran dengan Adit melalui WA. Hanya Adit satu-satunya orang yang Ran kirimkan pesan.

“Masa sih dia enggak punya teman? Aku tidak percaya dia hanya chatan sama Adit.” Guren mulai membuka isinya. Ternyata tidak ada yang spesial, hanya Ran yang sering meminta bantuan Adit untuk memintakan uang pada mamanya, itu saja.

“Memanfaatkan adik untuk meminta uang, memangnya dia tidak dikasih uang ya. Ran, kau memang licik,” gumam Guren.

Itu adalah pikiran orang yang tidak mengerti Ran. Padahal gadis itu meminta bantuan pada adiknya karena tahu jika dia tidak akan dapat apa-apa. Hanya Adit yang tahu bagaimana sabarnya Ran menghadapi ketidakadilan ini.

Sudah pukul sembilan, Risti masuk kelas dan kebetulan kursi yang kosong hanya tersisa di belakang Ran. Risti mengambil tempat itu, dari sini dia bisa melihat punggung Ran beserta rambut panjang gadis itu.

Aroma wangi Ran tercium oleh Risti, sangat lembut tidak menyengat sama sekali, saat Ran menghadap ke samping tepatnya ke arah jendela, Risti terpana melihat gesture wajah Ran dari samping. “Cantik banget,” batin Risti.

Rambut Ran yang hitam legam menjuntai hingga pinggang, garis rahangnya sempurna dengan kulit bersih yang putih, belum lagi mata indah dan juga bulu matanya yang lentik, sekarang Risti memaklumi kenapa Ran sangat dibenci oleh para gadis di sekolah. Ran membuat mereka iri dengan kecantikan itu, tubuh Ran tinggi dengan kaki jenjang dan ramping, lengannya juga ramping tanpa tumpukan lemak di sana.

“Oh Tuhan kapan aku bisa seperti itu,” ucap Risti dalam hati, saking fokusnya dia memperhatikan Ran, dia sampai tidak sadar jika dosen memanggil namanya.

Semua orang di kelas memandang Risti, Risti kaget saat Ran berbalik melihatnya, dia langsung salah tingkah karena kepergok.

“Kau dipanggil dosen,” ucap Ran.

Seketika Risti bisa mendengar suara dosen. “Risti, saya sudah memanggil kamu berkali-kali, apa yang kau lamunkan?”

“Ma-maaf, Pak. Saya tidak enak badan, jadi saya mencoba menahan pusing.” Risti beralasan agar mereka tidak menganggap Risti tengah memperhatikan Ran.

“Kalau begitu pulang saja.”

“Saya masih bisa kok, Pak.”

“Baiklah karena Risti sakit, Aldo kamu saja yang nanti menentukan kelompok setelah itu antar ke kantor,” tunjuk Dosen, kemudian melanjutkan penjelasan.

Ran kembali berbalik, dia meletakkan minyak aroma terapi berukuran kecil di atas meja Risti sambil berkata, “Pakai ini agar lebih baik,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Kemudian Ran menghadap depan lagi.

Tangan Risti terulur menyentuh botol hijau kecil itu, matanya berkedip beberapa kali untuk mencerna situasi, selanjutnya Risti tersenyum kecut dengan mata berair. “Dia memang sebaik ini, ya? Sebenarnya selama ini aku membenci Ran karena apa? Dia tidak menyinggungku atau apa pun itu, sepertinya aku sama saja seperti cewek lain yang membenci Ran karena iri.” Air mata Risti hampir jatuh, akhirnya pertanyaan masuk akal itu ia tanyakan pada dirinya sendiri.

Mungkin ini yang namanya introspeksi diri, seharusnya dia lakukan sejak awal. Sebelum membenci kita harus tahu apa alasan kita membenci.

Sejak itu Risti mulai menjadi penguntit yang mengikuti Ran secara diam-diam, banyak hal yang tidak terduga yang tidak pernah terpikirkan oleh Risti.

Saat siang Ran sibuk dengan aktivitas kampus, mulai dari datang ke kampus, mengerjakan tugas di perpustakaan, makan sendiri, dan melamun. Malam harinya Ran kerja di indomaret hingga larut malam, hal itu menjadi pertanyaan utama Risti. “Memang Guren tidak memberikan Ran uang, ya?” Risti heran. Dia tak tahu tentang hubungan Guren dan Ran karena dia tidak menguntit sampai masuk ke rumah.

Risti menghela napas berat, dia menggeleng-gelengkan kepala setelah sadar kalau dia sudah keterlaluan menguntit Ran seperti ini.

“Ok, aku tidak akan menguntit lagi, sekarang aku yakin kalau rumor tentang Ran itu semuanya salah. Pasya menyebarkan hal yang tidak-tidak tentang adiknya, parah banget padahal Ran kan enggak ada mengusik mereka.”

Kemudian Risti diam sebentar, memikirkan tentang Ran yang mendapat julukan pick me gils karena dia selalu tersenyum pada semua orang, juga mengadu tentang tugas padahal dosen sudah lupa.

“Ya kalaupun Ran memberitahu ada tugas pada dosen bukankah itu hal yang wajar ya? Dia kan sudah selesai, pasti butuh usaha dan kerja keras untuk menyelesaikannya, apa karena itu dia dapat julukan caper? Tidak masuk akal,” lanjut Risti.

Bersambung...

Terpaksa Merebut Calon Suami KakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang