Bagian 4

269 34 5
                                    

°°
Saat itu, Terang masih berusia dua belas tahun. Sedangkan Hanne, berusia tujuh belas tahun. Mereka teman bermain karena kedua orang tua mereka yang cukup dekat.
Kedua anak konglomerat itu sering bermain bersama dengan adik kecil Hanne yang saat itu masih berusia dua tahun.

Menjadi anak seorang konglomerat, adalah hal yang di idam-idamkan banyak orang. Begitupun Terang, dia begitu menikmati hidup dalam limpahan kasih sayang keluarga yang kekayaannya tidak akan habis tujuh turunan.

Pesaing bisnis mereka, pun banyak yang melakukan berbagai cara kotor untuk menjatuhkan satu sama lain.

Hingga, suatu kejadian membuat kehidupan kedua keluarga itu hancur.

Hari itu, Hanne dan Terang tengah berwisata di sebuah kebun binatang. Tidak di dampingi keluarganya. Melainkan, bersama beberapa bodyguard juga Nany.

"Kak Hanne, kok mau sih main sama Dewa?" Tanya Terang sembari mendongakkan kepalanya karena Hanne jauh lebih tinggi darinya.

"Karena.... Eum.." Hanne nampak berpikir.

"Karena kamu nggak punya teman. Benarkan kamu nggak punya teman?"

Terang mengangguk. Memang dia jarang bersosialisasi dengan teman sekelasnya karena Terang seorang pemalu.

Hanne sedikit berjongkok. Menyamakan tingginya dengan Terang.
"Dewa, manusia itu harus punya teman. Harus bisa bersosialisasi dengan sesama. Jangan malu, kan Dewa nggak melakukan kesalahan."

"Tapi kak Hanne teman Dewa kan."

"Iya. Tapi nanti kalau kak Hanne sudah kuliah, kak Hanne akan semakin sibuk dan nggak bisa main lagi sama Dewa."

"Kak Hanne nggak mau main sama Dewa?"

"Bukan begitu... Eum, ayo kita lihat pertunjukan lumba-lumba." Hanne mengalihkan perhatian dan Terang menurut.

Mereka bermain hingga larut. Sampai, para bodyguard itu kecolongan dengan musuh bisnis orang tua Terang.

Kedua anak itu di bawa di suatu ruangan sempit dan gelap. Mereka sudah berusaha meminta tolong dan beberapa lelaki bertubuh kekar itu sekaan tuli dan malah membungkam mulut mereka dengan lakban.

Sampai dua hari kemudian, polisi berhasil menemukan keduanya dengan keadaan yang memprihatinkan. Mereka sama-sama mendapatkan kekerasan fisik yang parah.
Dan selang tujuh bulan, Hanne berserta kedua orangtuanya mendatangi mansion keluarga Terang dan menyerahkan bayi merah yang baru lahir dua hari.

"Maksud kamu apa Pram?" Asta, selaku papa dari Terang tidak terima kala Pramudya, sahabatnya itu menyebut bahwa bayi itu anak dari Terang.

"Ini gara-gara musuhmu," ucap Pram marah.

"Maksud kamu?"

"Kamu ingat tragedi penculikan tujuh bulan yang lalu? Itu karena musuhmu yang bekerja di laboratorium kan? Profesor itu entah bagaimana menanamkan benih anak mu kedalam rahim anakku. Kamu dan keluargamu sudah berhasil merusak masa depan putriku, Asta."

"Nggak mungkin."

"Bagaimana nggak mungkin? Bayi prematur itu mirip sekali dengan Dewa. Saya nggak minta pertanggungjawaban apapun. Saya hanya tidak menginginkan bayi ini dan jangan berhubungan dengan keluarga saya lagi." Pram meletakkan bayi itu pada sofa dan berjalan keluar dari mansion diikuti anak dan istrinya.

Asta menghela nafas pelan sembari mengacak rambutnya frustasi.
"Ma, buang bayi ini dari hadapanku."

"Nggak, dia bayi ku. Dia anakku." Terang yang saat itu sudah berusia tiga belas tahun itu berusaha melindungi bayinya dari sang mama.

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang