Semua menjadi kacau, saat tiba-tiba Asa menghilang dari apartemen. Sore tadi, Terang memang menjemput Asa dan mengantarkan sampai apartemen dengan selamat. Tetapi, Terang harus kembali ke kantor untuk mengurus berkas-berkas sebelum ia meninggalkan perusahaan milik orang tuanya.
Terang memang memiliki perasaan yang tidak enak seharian ini. Ia menjadi sering melamun dan tidak fokus.
Terang mencari Asa dengan bantuan Julian dan juga Jion. Sudah sekitar satu jam ia mencari tempat yang sekiranya pernah di jamah anaknya. Tetapi, sosok mungil yang tubuhnya sudah agak berisi itu tidak juga ketemu.
Terang mengerang marah. Marah pada dirinya yang tidak becus menjaga anaknya. Ia lalai pada janjinya, yang akan menjaga anaknya sampai akhir.
Julian menatap Terang yang terlihat sangat kacau itu. Saat ini, mereka tengah berada di dalam mobil, sementara Julian yang mengemudi. Jion mencarinya secara terpisah.
"Lo tenang dulu Ter."
"Gimana gue bisa tenang? Anak gue hilang."
Julian menghela napas pelan. Bagaimana pun, temannya ini sedang dalam keadaan yang tidak waras.
"Mending lo istirahat. Biar gue yang cari nanti gue minta bantuan teman-teman gue," ucapnya final.
"Gue mana bisa istirahat."
Lagi, Terang mendesah frustasi, berbagai pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Baru saja kemaren ia liburan bersama sang anak, tapi kenapa kini ia di pisahkan kembali. Padahal, baru dua bulan mereka tinggal bersama.
° ° °
Sehabis sekolah tadi, Asa mendapat kabar dari Juna tentang Mamanya yang mengalami kecelakaan tunggal di sebuah jalan di Amerika.
Lalu, ingatan Asa kembali pada ancaman kakek beberapa hari lalu. Asa pun berniat menemui kakek di kediamannya.
Asa menatap kakek dengan marah. Tidak ada raut takut lagi jika mengenai keluarganya. Mamanya terluka karena kakek. Itulah yang terlintas dalam otak kecilnya.
"Kakek yang buat mama sakit kan?" Tanyanya kepada lelaki paruh baya itu.
"Otakmu cerdas sekali, Bintang."
Asa tidak habis pikir. Kenapa kakek yang darahnya sama dengannya ini begitu tega melakukan hal ini kepada dirinya.
"Kenapa kakek jahatin mama? Mama nggak ada hubungannya sama Asa kek."
"Karena kamu tidak mau mendengarkan ku. Kamu sudah merasa hebat dan tidak takut padaku lagi Bintang."
Asa menghela napas lelah. "Tolong jangan sakitin mama Asa kek. Beliau tidak ada hubungannya dengan Asa."
"Lalu, apa imbalan yang pantas untukku?"
"Kakek mau apa? Mau aku mati kan?"
Seharusnya pria separuh abad itu menjawabnya dengan senang. Tetapi entah kenapa, mendengar kalimat itu langsung dari cucu yang tidak ia anggap ini hatinya sedikit ngilu.
"Asa bakal mati kek. Asa janji, sehabis dari sini Asa akan mati. Jadi, tolong jangan sakitin mama dan biarkan ayah bahagia kek. Jangan kekang ayah karena ayah punya kehidupan sendiri." Bocah empat belas tahun itu bersimpuh, setetes air mata jatuh. Asa tidak bisa kalau tentang keluarga. Walaupun sepenuhnya bukan miliknya. Tetapi, mama tetap yang melahirkannya kedunia dan ayah, sosok yang menyanyanginya tiada tanding.
Sedangkan pria paruh baya itu melengos dan berjalan menjauh dari cucu satu-satunya ini.
"Asa bakal mati!!" Asa berteriak. kemudian, ia berlari dan menjauh dari mansion itu. Asa berlari tak tentu arah hingga ia sampai di sebuah jembatan, tempat dimana Zero menolak dirinya untuk dijadikan adek oleh dokter Jion.
Asa menatap kosong pada pagar pembatas itu. Kemudian, ia tersenyum pada air tenang di bawah sana. Perlahan, kakinya mendekat, seolah kebahagiaan telah menantinya di depan sana.
"Kalau Asa pergi, ayah bisa hidup tanpa kekangan kakek dan nenek. Mama bisa melanjutkan hidup dengan bahagia di Amerika. Lalu, kakek dan nenek akan bahagia karena tidak ada hama seperti Asa." Pria kecil itu bergumam lirih.
"Ayah, maafin Asa karena tidak pamit sama ayah. Terimakasih sudah menjadi ayah yang baik buat Asa." Asa menaiki pagar pembatas itu dan menjatuhkan dirinya pada sungai yang airnya terlihat tenang itu.
Di dalam air yang kedalamannya tiada ujungnya itu, Asa tersenyum. Seolah ia di rengkuh dalam kebahagiaan yang selama ini ia dambakan.
° ° °
Pria setengah abad itu bersimpuh pada jembatan tempat Asa mengakhiri hidupnya beberapa menit lalu. Ia terlambat, terlambat menahan Asa untuk tidak loncat dan ia terlambat meminta maaf pada sosok yang selama ini ia sakiti tiada ampun itu.
Dalam pengejarannya tadi, ingatan betapa kejinya ia terhadap sosok mungil yang merupakan cucu kandungnya itu begitu menyakitkan. Padahal, ia bisa mengatakan hal-hal kejam beberapa saat lalu. Kini, ia menyesalinya. Akan tetapi, untuk apa ia menyesalinya. Toh, ia tidak bisa merubah semuanya. Cucunya tetap pergi, atas kemauan dirinya.
Tangannya bergetar, memegang ponselnya, untuk meminta bantuan kepada siapapun agar cucunya selamat.
"Tolong... Tolong saya."
"Papa kenapa?"
Ternyata ia menghubungi anaknya. Persetan dengan rasa malunya. Ia hanya ingin seseorang membantunya untuk menyelamatkan Asa.
"Tolong papa nak!" Ia berucap dengan putus asa.
"Tolong, Bintang mengakhiri hidupnya dengan loncat di jembatan. Tolong selamatkan Bintang, Dewa."
"Papa jangan becanda," Terang berteriak di seberang sana.
"Tolong Dewa, papa akan kirim lokasinya sekarang."
Sementara itu, beberapa warga yang lewat turut membantunya menyusuri sungai untuk mencari sosok yang beberapa menit lalu ia suruh mati.
° ° °
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.