bagian 8

313 35 3
                                        

°°°

Asa meminum beberapa obat sebelum melakukan piket. Seharusnya ia melakukan bersama dua orang lainnya. Akan tetapi dua orang itu menyerahkan semua tugas padanya. Sebagai siswa beasiswa yang tak punya kuasa, ia harus menerimanya. Toh, ini sudah biasa. Asa sudah terbiasa hidup sendiri dan melakukan semuanya sendiri.

Asa menghela nafas pelan, kemudian mulai mengangkat satu persatu kursi dan di letakkan ya di atas meja. Ia mulai melakukan piket dengan tenang.

Setengah jam kemudian, ia telah menyelesaikan tugasnya. Asa kembali ke kamar asramanya. Mengganti pakaiannya dan bersiap untuk bekerja. Ia telah libur dua hari dari pekerjaannya. Pasti, Bu Rasti, bosnya itu kerepotan karena kekurangan pekerja.

Asa berjalan dengan santai menuju tempat kerjanya. Menikmati angin sore sembari bersenandung kecil. Asa melihat papan Billboard yang menampilkan gambar seorang pembisnis sukses bersama Terang Dewangga, sedang tersenyum manis sembari mengiklankan sebuah minuman.

Asa tersenyum tipis. Melihat sosok yang sangat di rindukannya itu.
"Ayah, apa ayah hidup bahagia tanpa Bintang? Maafkan Bintang ayah, karena telah meninggalkan ayah," ucapnya dalam hati.

"Tapi, ayah, Bintang hidup dengan baik disini. Aku harap, ayah melupakanku dan hidup dengan baik juga," lanjutnya. Kemudian ia kembali pada niat awalnya. Tak berapa lama kemudian, ia telah sampai di warung mie ayam dan bakso yang sangat ramai di sore menjelang malam ini.

"Kamu temannya Juna kan?" Asa menoleh, pada seorang perempuan cantik yang duduk sembari menunggu pesanannya. Asa mencoba mengingat wajah itu kemudian ia tersenyum dan menunduk sopan.

"Iya kak, saya Asa," balasnya.

"Kamu kerja?"

Asa mengangguk.

"Kakak boleh minta tolong?"

"Kalau boleh tau, minta tolong apa ya kak?"

"Kakak nitip ini buat Juna ya."

Asa menerima papper bag kecil dari wanita cantik itu.

"Kenapa nggak di kasih langsung kak. Kak Juna ada di asrama kok."

Hanne tersenyum manis sembari menatap lekat sosok kecil yang entah kenapa ketika menatapnya, hatinya terasa damai dan fikirannya terasa tenang. Melihat senyum manis bocah empat belas tahun itu.

"Juna lagi marah sama kakak. Tolong ya."

"Oke kak, nanti Asa kasih ke kak Juna. Asa kerja dulu ya kak, selamat menikmati." Asa kemudia berjalan ke belakang. Tugasnya saat ini mencuci mangkuk dan gelas.

"Kamu sudah beneran sehat Sa?" Tanya Bu Rasti ketika melihat keryawan kecilnya itu berwajah pucat.

"Sudah Bu."

"Kamu masih pucet itu lho. Kalau masih sakit jangan di paksain ya. Kamu boleh libur semaumu kok."

"Terimakasih Bu, tapi Asa sudah cukup sehat untuk bekerja kok."

"Yasudah. Hati-hati ya."

"Iya Bu." Asa kembali melanjutkan pekerjaannya. Memiliki bos baik seperti Bu Rasti membuatnya selalu merasa bersyukur.



°°°

Di pinggiran pasar yang hampir sepi ini, kedua pria berpakaian rapi itu berjalan menuju toko jam tangan yang hampir tutup. Keduanya berjalan dengan gagah tanpa melirik orang-orang yang mulai memusatkan atensinya pada mereka.

Keduanya masuki toko sempit itu. Melihat pria setengah abad yang sedang memperbaiki sebuah jam tangan.

"Dokter Aris." Pria tua itu menghentikan kegiatannya. Sudah sangat lama ia tidak mendengarkan namanya di panggil dengan sebuah gelar. Pria itu mendongak, menatap pria muda yang tak asing baginya.

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang