Bagian 13

228 36 4
                                    


  °°°°

Ini pagi pertamanya setelah enam tahun, Asa di antarkan sekolah oleh ayahnya.

Ada banyak pasang mata yang menatap mobil Bugatti la voiture dengan takjub. Mungkin ini pertama kali mereka menatap mobil yang hanya ada sepuluh di dunia ini.

Lebih terkejutnya lagi, ketika Asa, siswa yang terkenal dengan beasiswanya itu keluar dari sana bersama dengan pria tinggi dan berkelas, yang menggandeng tangan Asa. Berjalan dengan begitu angkuh melewati mereka.

Ada banyak bisik-bisik, bertanya siapakah pria tampan dan kaya yang bernama si miskin Asa? Begitulah kira-kira pertanyaan mereka walaupun sebagian dari mereka ada yang tau siapa pria itu.

"Asa malu yah," ucap Asa dengan pelan. Mau bagaimanapun juga, ia merasa di perhatikan oleh para siswa disini.

"Kenapa malu? Mau ayah tegur mereka?"

"Nggak usah yah." Asa menolak. Tidak mau menjadi pusat perhatian walaupun sendari tadi ia memang sudah di perhatikan.
Mereka berjalan menuju ruang kepala sekolah. Kata ayah tadi, ia mau mengurus surat-surat Asa agar mempermudahkan untuk menjadi wali resmi dari Asa. Alias ia ingin hak asuh Asa sepenuhnya.

Mereka berhenti tepat di depan ruang kepala sekolah.
"Asa langsung ke kelas ya yah."

Terang mengangguk. Ia mengelus surai itu dan menciumnya singkat. Asa mencium punggung tangan ayahnya.
"Semangat sayang. Nanti ayah jemput."

"Asa ke asrama dulu pamit sama teman-teman."

"Ayah ikut!"

"Iya ayah. Bye-bye ayah." Asa berjalan menjauh sembari melambaikan tangannya. Terang terkekeh, terlampau gemas dengan tingkah sang anak.

°°

Sorenya Asa langsung ke asrama. Hari ini kebetulan Zero dan Juna tidak ada kegiatan apapun. Jadi, di Pastikan mereka ada di asrama.

Asa membuka pintu asrama. Dilihatnya kamar yang kosong dan ada suara berisik di balkon. Pasti itu Zero dan Juna yang tengah mengobrol.

Asa langsung memasukan pakaiannya ke dalam tasnya. Ia hanya memiliki seragam dan beberapa pakaian saja, jadi cukup muat di dalam tas sekolah. Setelah selesai ia ikut bergabung bersama kedua temannya walaupun pas ia datang Zero dan Juna bungkam.

"Kak, Asa mau pamit tidak tinggal disini lagi." Ucapan Asa berhasil membuat keduanya terkejut.

"Beasiswa Lo di hapus?" Tanya Zero sarkas.

"Nggak kok kak. Asa mau tinggal sama ayah," jawab Asa.

"Ayah? Lo?"

Asa tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Iya. Ayah Asa. Sebentar lagi ayah datang kemari. Kak Zero kenal kok sama ayah. Oiya... Asa mau minta maaf kalau selama di sini Asa ada salah sama kakak kakak."

"Seharusnya gue yang minta maaf karena selalu jahat sama Lo. Maafin gue ya Asa. Tapi, gue kenal ayah Lo?" Zero kembali bertanya sembari memikirkan siapa bapak-bapak yang di kenalnya. Ia hanya mengenal beberapa gue les dan juga sopir pribadi keluarganya. Setelah itu, om om partner kerja papanya. Apakah salah satu dari mereka?

"Iya. Kata ayah, kalian sangat dekat," jawab Asa.

"Kak Juna, tetap semangat latihan basket ya."

"Lo cuma mau pindah tempat tinggalkan bukan pindah sekolah? Ngapain lo semangatin gue."

"Jadi, kakak nggak keberatan Asa nonton Kakak latihan?" Mendengar ucapan Asa, Juna jadi salah tingkah sendiri. Sebenarnya ia ingin mengucapkan maaf dan terima kasih tapi ia terlalu kaku. Tidak bisa menyampaikan perasaannya secara terus terang alias gengsi.

"Arrrghh..." Asa meringis sembari mencengkram perut kirinya kencang. Rasa yang di tahannya sejak tadi malam kembali datang lagi, kali ini dengan rasa yang dua kali lebih sakit. Asa sudah menitikan air matanya, keringatnya sebesar jagung.
Juna dan Zero pun kelabakan. Mereka tidak pernah melihat Asa kesakitan seperti ini.

"Asa Lo kenapa?" Tanya Zero panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat Asa bahkan menjawab pertanyaannya pun tidak mampu.

"Lo jangan pingsan dulu oke," ucap Juna.

"Zero, Lo tolong cari bantuan. Gue akan berusaha buat Asa tetap sadar!" Perintah Juna yang di angguki oleh Zero.

"Sakit kak," ucap Asa dengan lirih. Asa bersandar pada tubuh Juna.

"Iya sakit. Tapi jangan tidur dulu. Kita obati dulu sakitnya ya."

"Asa ngantuk," ucap Asa dengan bergetar.

"Ngobrol sama kak Juna jangan ngantuk. Kakak mau kamu cerita lagi ke kakak. Jangan tidur dulu sebelum di obati ya. Kita ke kamar ya." Juna memapah Asa menuju ke ranjangnya.

Zero berlari keluar Kamar, tidak terlalu memperhatikan jalan sampai akhirnya ia terjatuh karena menabrak seseorang.

"Zero, kamu nggak papa?"

Zero mendongak sembari meringis sakit.
"Kak Terang? Kakak ngapain disini?"

"Kakak ma.."

"Bantu temen Zero kak. Dia kesakitan, Zero nggak tau harus bagaimana." Ucapan Terang terpotong. Ia di tarik paksa oleh Zero menuju ke Asa.

"Juna kakak ba..." Ucapan Zero terputus kala Terang langsung mendekati tubuh Asa dengan raut terlampau khawatir

"Astaga Bintang."

Asa menatap ayahnya dengan sayu. Memaksa senyumnya karena ia tidak mau ayah melihatnya kesakitan.

"Ayah maaf... Ti...tidak jemput ay...yah ke... Depp..pan," ucap Asa dengan terbata. Terang menggeleng, tidak menjawab ucapan Asa. Ia langsung menggendongnya dan membawanya keluar setelah sebelumnya berterima kasih kepada dua yang lebih muda.

Sementara Zero dan Juna tercengang. Mencoba memikirkan ucapan Asa yang menyebut Terang sebagai ayahnya. Juga tatapan terlampau khawatir Terang kepada Asa.

"Tadi gue nggak salah dengar kan?" Tanya Juna. Ia memang tidak saling kenal dengan Terang. Tapi, ia tau Terang itu siapa.
Kata Hanne kakaknya, saat bayi mereka pernah main bareng. Mungkin, Terang sudah lupa dengannya.
Jika Terang adalah ayahnya Asa, maka, Hanne adalah ibu nya. Jadi... Ia pamannya Asa? Lucu sekali.

"Gue juga nggak salah dengar kan," balas Zero. Jujur saja ia masih ngeblank. berbagai kejutan yang bersamaan membuat otak pintarnya tidak bisa memproses secara langsung.

"Ayo kita ikuti mereka." Juna berjalan keluar sembari memesan taksi online. Diikuti Zero yang berjalan dengan linglung.

°°°

"Bintang boleh bahagia ngga sih?"

°°°

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang