bagian 16

247 28 0
                                    





°°

"Setelah Asa pergi, bagaimana kehidupan ayah?" Tanya Asa. Saat ini, keduanya tengah bersantai di dalam kamar. Asa yang tidur dengan paha ayah sebagai bantalan, serta ayah Terang yang tengah membaca majalah.

Terang meletakkan majalah yang di bacanya ke meja samping ranjang. Lalu, atensinya berfokus pada anaknya. Ia mengusap lembut rambut Asa.

"Eum... Dunia ayah hancur nak. Ayah nggak pernah merasa bahagia sejak saat itu. Ayah marah, marah pada diri ayah yang nggak becus jadi seorang ayah." Entah kenapa, membahas masa lalu membuat pria dua puluh tujuh tahun itu menangis.

Asa mengusap air mata ayahnya.

"Jadi, nak, jangan pernah tinggalin ayah lagi ya," lanjutnya.

"Asa nggak bisa janji ayah." Sayangnya itu hanya ia suarakan dalam hati. Asa hanya membalas ucapan ayah dengan anggukan singkat.

"Kalau Bintang? Bintang bahagia hidup di panti?"

Asa menggeleng.
"Setiap hari, Asa hanya merindukan ayah. Asa nggak bahagia ayah. Asa nggak punya teman, ibu panti juga jahat ayah. Mereka suka pukul Asa." Asa menelungkup kan wajahnya pada perut ayah. Ia tidak menangis. Hanya saja, mengingat masa itu sedikit membuatnya takut.

"Maafkan ayah ya nak. Ayah terlambat buat temuin kamu. Ayah janji, akan balas semuanya." Sorot mata tajam itu kelihatan marah, tangan yang tadinya ia gunakan untuk mengelus surai anaknya kini mengepal erat.

"Jangan ayah. Ibu panti jahatnya cuma sama Asa kok. Sama kakak-kakak dan adek-adek pantai nggak jahat. Kasian nanti kalau ayah sakitin ibu panti, mereka nggak ada yang ngurus." Asa mendudukkan dirinya dan memeluk ayahnya dengan erat.

"Asa sudah bahagia bisa bersama ayah lagi," ucapnya.

"Ayah juga bahagia bisa bertemu jagoan ayah lagi. Terima kasih nak, sudah bertahan." Terang mengecup dahi Asa dengan sayang.

"Bintang, kamu mau bertemu ibu mu?" Asa yang tadinya fokus mengelus otot tangan ayah sembari terkagum-kagum, seketika menatap ayahnya kaget.

Membahas sang ibu ini baru kali pertamanya setelah puluhan tahun. Dulu sekali, ia pernah bertanya perihal ibu, tapi ayah tidak pernah menjawab. Dan seiring dengan berjalannya waktu, Asa tidak pernah bertanya perihal itu.

"I..ibu?" Mengatakan kata itu saja, ia begitu kikuk.

"Iya, ibunya Bintang, perempuan yang melahirkan Bintang."

"Asa tidak tau ayah. Selama Asa hidup, Asa hanya memikirkan ayah. Asa tidak pernah berjumpa dengan ibu dan tidak pernah memikirkan beliau."

"Jadi, Bintang mau bertemu ibu atau tidak?"

Terang memperhatikan anaknya yang nampak linglung. Anak itu mengulum ujung bajunya dan menatap kesana kemari tidak fokus. Seperti ketakutan sendiri.

"Kalau tidak mau tidak apa-apa. Ayah tidak akan memaksa, nak."

"Asa takut ayah." Asa menatap ayah dengan berkaca-kaca.

"Asa takut ibu benci Asa. Asa takut di tolak, ayah."

Terang menangkup wajah kecil asa sembari tersenyum tipis.
"Kenapa berfikir seperti itu? Ibu Asa itu baik. Beliau juga bantu ayah buat cari Asa kok."

"Ibu baik? Tapi... Kenapa tidak pernah menemui Asa yah."

"Beliau punya masalah yang Bintang tidak tau. Coba nanti kalau sudah bertemu Bintang tanyakan sendiri kepada ibu."

Asa mengangguk.
"Lalu, kapan Asa bisa bertemu ibu yah?"

"Bagaimana kalau nanti malam? Kita makan malam bersama ibunya Bintang, mau?"

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang