Bagian 10

316 32 8
                                        




°°°


Terang memang dekat dengan Zero, adik dari dokter sekaligus teman dekatnya. Terang sudah menganggap Zero seperti adiknya sendiri. Apa yang Zero minta sebisa mungkin Terang turuti. Mungkin, itu suatu tebusan akan kerinduannya pada anaknya.
Terang merasa puas melakukannya. Terang juga berterimakasih, karena Zero hadir di tengah luka yang sulit untuk diobati.

Seperti malam ini, Zero menghubunginya sembari menangis. Meminta di jemput di sebuah jembatan layang.

Terang menatap Zero, yang saat ini duduk di sampingnya. Mereka telah sampai di apartemen Terang.

"Kamu ngambek sama Jion?" Tanya Terang.

"Bukan ngambek kak, tapi marah!" Zero berucap ketus.

"Kenapa?"

"Kak Jion mau angkat adek baru dan itu teman sekamarnya aku yang nggak tau asal usulnya."

"Jadi, Zero merasa iri dengan adek barunya Jion?" Terang terkekeh menatap ekspresi marah Zero.

"Bukannya iri. Tapi... Selama ini kak Jion aja masih belum bisa bersikap selayaknya kakak. Aku belum merasakan peran kakak di diri kak Jion. Malah, yang lebih bersikap selayaknya Kakak itu kak Terang." Zero kembali menangis. Sebenarnya ia jarang sekali menangis. Tetapi, entah kenapa tangisnya tumpah di hadapan Terang.

Zero bingung dengan perasaannya. Di lain sisi, ia iri dengan kedekatan Asa dan kakaknya, di lain sisi juga, ia takut, takut Asa akan berharap lebih dengan Jion dan merasakan seperti dirinya yang kehilangan peran seorang kakak. Ia juga takut, Asa akan memanfaatkan kebaikan kakaknya karena Asa selama ini hidup susah.

"Zero, dengar kakak, mungkin Jion ingin membangun sebuah keluarga. Jion mungkin kesepian selama ini. Atau mungkin... Jion ingin membantu adek baru itu, katanya, dia nggak jelas asal-usulnya?"

"Nggak tau ah, Zero pusing mau tidur." Zero melipat tangannya kedepan. Memikirkan semua itu membuatnya menjadi pusing.

"Bentar, selesaikan dulu masalah kamu. Cari jalan keluarnya bareng-bareng." Terang menahan Zero yang ingin ke kamar itu. Apartemen Terang memang luas. Ada dua buah kamar yang sering dipakai Julian ketika menginap.

"Yang bermasalah, Asa sama kak Jion aja nggak ada di sini."

"Kita selesaikan masalah hati sama pikiran kamu dulu."

Zero menghela napas pelan kemudian kembali duduk seperti semula.

"Jadi, menurut kamu, adek baru kamu itu jahat?"

"Bukan adek baru aku. Dia Asa." Zero menyangkal.

"Jadi, menurut kamu, Asa itu bagaimana?" Tanya ulang Terang

"Nyebelin. Sok kenal sok dekat," jawab Zero.

"Katanya kalian satu kamar. Masa, nggak dekat? Berarti Asa itu jahat ya?"

Zero termenung mendengar pertanyaan Terang. Memikirkan Asa membuatnya sadar. Asa itu tidak pernah jahat. Hanya... Dia sering tersenyum, sering memberinya perhatian kecil. Juga... Tidak pernah merepotkannya. Jadi, bagian mana yang membuatnya membenci pemuda dua tahun lebih muda darinya itu.

Mungkin masalah kasta. Zero terbiasa hidup dengan hal mewah. Ia tidak pernah berteman dengan orang miskin seperti Asa. Dan dari pertemuan pertama mereka, Zero sudah menanam benih kebencian dengan Asa. Zero jadi teringat dengan Juna, apa pria itu membenci Asa dengan alasan yang sama?

"Zero, kok malah melamun?"

"Eum... Asa nggak jahat. Dia cuma... Miskin makannya Zero benci."

"Astaga... Zero, siapa yang ngajarin hal seperti itu? Tante Astrid sama om Reno nggak mungkin ngajarin kamu hal jahat seperti itu. Zero... Yang jahat itu pikiran kamu. Besok, minta maaf sama Asa ya."

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang