bagian 5

246 29 2
                                    


  °°°°

Asa sedang bekerja, ia mengantarkan dua mangkok mi ayam pada pelanggan.

"Kak Juna." Senyumnya terbit kala yang memesan adalah orang yang di kenalinya. Tak menunjukkan rasa malu sama sekali.

"Lo kerja?" Tanya Juna.

Asa mengangguk.
"Wah... Kak Juna sama kakaknya ya. Kakak cantik, selamat menikmati." Setelahnya Asa kembali bekerja.

Juna menatapnya heran, banyak sekali hal-hal yang tak terduga pada teman sekamarnya itu.

"Teman kamu, Jun?" Tanya wanita dewasa di sebelahnya. Dia adalah kakak yang terpaut cukup jauh darinya, sebut saja Hanne.

"Roomate."

"Tapi kok manggilnya kakak?"

"Murid jenius, lompat kelas dia."

"Kasihan ya Jun, umur segitu sudah kerja aja."

"Namanya juga anak panti, nggak ada orang tua kak. Udah ah, nggak mau bahas dia, aku." Juna memanyunkan bibirnya. membuat Hanne tertawa gemas.

"Aduh... Lucunya adikku."

"Kakak di Indonesia berapa lama?"

"Pengennya sih menetap. Tapi tau sendiri, kan papa orangnya kayak gimana."

Juna menatap kakaknya dengan iba. Walaupun hidupnya bergelimang harta, tapi kebahagiaan tidak pernah bertahan lama dalam kehidupannya.

"Kakak sudah punya pacar?"

"Kamu mau nyuruh kakak menikah? Mentang-mentang umur kakak sudah tua."

"Bukan gitu kak. Kakak bisa mendapatkan kebahagiaan dengan keluarga kakak, kakak bisa cari kebahagiaan dengan pria yang kakak cintai. Kakak bisa membangun keluarga yang kakak inginkan."

Hanne menatap adiknya itu sendu. Di umur yang masih belia, adiknya itu sudah bisa bersikap dewasa.

"Juna juga bisa."

"Maksud kakak?"

"Juna sudah besar, sudah nggak bergantung lagi sama mama papa. Buktinya, Juna bisa keluar dari rumah neraka itu dan hidup damai di asrama. Kakak bangga sama Juna yang berani menentang kekangan papa, nggak seperti kakak yang sampai saat ini takut sama mereka."

"Kak."

"Juna, disini, kakak sedang mencari kebahagiaan kakak. Kakak sedang berusaha memperbaiki kesalahan kakak di masa lalu. Kakak mau cari dia."

"Aku antarin ke tempat Dewangga."

Hanne menggeleng. Memang, adiknya itu sudah tau masa lalu kelamnya. Cuma Juna satu-satunya tempatnya berkeluh kesah.

"Dewa nggak bersama dia. Orang tua Dewa juga membenci dia sehingga memisahkan keduanya."

"Juna nggak usah mikirin urusan kakak. Juna harus fokus sama kehidupan Juna. Kakak bisa kok atasi masalah ini sendiri."

"Yaudah deh." Juna kembali memakan mi ayamnya.

"Itu temen Juna baik ya, ramah juga." Hanne menatap Asa yang tengah fokus melayani pelanggan. Entah kenapa, menatap anak laki-laki itu membuat perasaanya menjadi damai.

"Juna nggak terlalu dekat sama Asa."

"Lho, kenapa? Adik kakak mah cowo kulkas seribu pintu," ucap Hanne menggoda.

"Dia orangnya cerewet, udik lagi. Masak ponsel aja nggak punya."

"Tapi baik kan? Kakak yakin dia baik."

"Udah deh kak, nggak usah bahas Asa. Ini makanan ku sudah mau habis loh. Jam malam ku juga tinggal beberapa menit."

"Yaudah. Kapan-kapan lagi kakak ajak kamu main. Yuk, Kaka antar."

°°

Julian mendengus sebal sembari membawa kresek hitam berisi bakso pesanan Terang.
Ia tidak habis pikir dengan bosnya itu, kenapa gemar sekali memakan makanan kurang sehat itu. Walaupun enak sih, tapi kalau di konsumsi tiap hari kan nggak baik.

Julian melebarkan matanya, ketika bakso itu jatuh berceceran. Menatap seseorang yang di tabraknya itu, tampak melenguh karena terkena kuah bakso.

"Eh, sorry dik." Julian melihat tangan adik kecil itu melepuh.

"Tidak apa-apa kok kak. Lain kali hati-hati ya."

"Eh, kakak obatin dulu, sini?" Julian mengajak anak itu duduk di trotoar samping mobilnya terparkir. Mengambil kotak p3k dan mengobati luka anak itu.

"Nama kamu siapa?" Tanya Julian basa-basi.

"Asa kak. Nama kakak?"

"Julian." Julian dengan serius mengobati luka Asam sesekali Asa meringis karena lukanya.

"Kamu mau beli bakso juga ya?"

"Asa kerja disini."

Dan jawaban Asa berhasil membuat Julian menatap anak kecil yang ia duga masih duduk di bangku SMP itu.

"Nggak sekolah?"

"Sekolah kok. Eum... Ini kan malam, sekolahnya besok pagi."

"Maksud gue bukan gitu, polos banget sih," ucap Julian gemas.

"Kamu tinggal dimana biar kakak anterin."

"Di asrama kak. Asa bisa pulang sendiri kok. Terimakasih sudah di obatin." Kemudian bocah empat belas tahun itu berdiri, dan berlari setelah sebelumnya memberikan senyum perpisahannya.

"Gemes banget sama tuh bocah," ucap Julian. Ia kembali membeli bakso lagi.

°°

"Lama banget." Ini Julian baru sampai apartemen loh, sudah di judesin Terang aja.

"Syukur-syukur gue mau Lo suruh-suruh Ter," balas Julian. Ia meletakkan kantong kresek hitam itu di meja, lalu ia merebahkan dirinya di sofa.

"Thanks, Julian Atmajaya," ucap Terang dengan senyum paksanya. Ia mengambil kresek itu dan membawanya ke pantry dapur.

"Lo doyan banget sih sama tuh bakso," ucapan Julian berhasil membuat Terang mengurungkan niatnya untuk menuangkan baksonya ke dalam mangkok.

"Gue makan ini kalau lagi kangen Bintang. Bagi dia dulu, bakso itu makanan mewah," balas Terang sembari tersenyum tipis. Membayangkan bagaimana bahagianya dulu bersama Bintang.

"Gue nggak ngelarang Lo buat makan bakso Ter. Tapi... Jangan setiap hari lah."

"Iya iya, bawel banget sih Lo. Mau nggak nih?"

"Ya mau lah. Gue beli ini butuh effort yang tinggi tau."

Terang terkekeh sembari menyodorkan semangkuk bakso kepada Julian. Kemudian ia menikmati makanan penuh kenangan itu.

°°

"Bintang, kenapa tidak mau bertemu ayah?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bintang, kenapa tidak mau bertemu ayah?"

"Bukannya tidak mau, hanya... Tidak bisa."

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang