Bagian 22

231 28 0
                                    

°
°
°

Minggu keempat tim SAR dan pihak kepolisian menyatakan untuk berhenti melakukan pencarian terhadap sosok Asa.
Karena berbagai faktor, terutama cuaca yang sedang tidak mendukung juga derasnya arus yang mustahil untuk di temukannya tubuh yang telah menghilang sebulan lalu.

Terang tampak berubah, menjadi sosok menyeramkan dan juga gila. Julian harus tetap berada dua puluh empat jam di samping Terang
Karena beberapa saat lalu, tengah malam Terang nekat untuk menyelam di sungai itu.
Untungnya, Julian punya feeling yang kuat sehingga ia kembali ke apartemen Terang setelah mengantar bosnya itu pulang.

Seperti saat ini, sore yang hampir gelap pun dengan mendung dan angin lebat. Terang berjalan menyusuri tepi sungai sembari berteriak memanggil nama sang anak. Julian hanya mengikutinya dari belakang.

"Udah mau hujan, pulang yuk," ucap Julian yang tidak di gubris sama sekali oleh yang lebih tua.

"Ter."

"Anak gue, sudah sebulan berada di sungai ini. Lo tau nggak, anak gue kepanasan, kehujanan, dan kedinginan. Sedangkan gue, gue enak-enakan tidur di kasur yang empuk, makan enak. Sakit Lian. Gue sakit kalau anak gue nggak segera gue temuin."

"Bintang nggak akan kedinginan Ter, karena dia sudah berada dalam rengkuhan tuhan. Bintang sudah menggapai bahagianya di sana Ter."

Terang tersenyum miris.
"Seenggaknya, kalau anak gue sudah pergi, kembalikan jasadnya pada gue. Biar gue bisa kuburin dengan layak," ucapnya dalam ke putus asaan.

Julian memeluk sosok yang sudah bersimpuh pada tepi sungai itu. Keduanya menangis. Tampaknya Asa sudah memenuhi seluruh afeksinya pada kedua pria dewasa itu.

"Ikhlasin Ter, biarkan Bintang pergi dengan tenang. Lo tau, kenapa Bintang pergi seperti ini. Dia hanya ingin kebahagiaan lo Ter. Lo jangan sia-siakan pengorbanan Bintang. Kalau lo ngga bisa bahagia, lo cukup hidup dengan baik, kan?"

Terang menghela napas dalam. Kemudian ia bangkit.
"Lo bener. Kalau gue nggak bisa bahagia, gue harus hidup dengan baik."


°
°
°



Setelah penyesalan yang terlambat, Asta dan sang istri memutuskan untuk menyerahkan dirinya pada polisi. Dan pasangan itu di jerat pasal berlapis atas tuduhan kekerasan dan ancaman anak di bawah umur, serta mengambil organ dan melakukan operasi secara ilegal kepada anak di bawah umur.
Entah, mereka akan membusuk dan mati di penjara, mereka tidak peduli. Yang mereka rasakan saat ini adalah menyesal karena ia membuat sosok tidak bersalah itu meninggal. Padahal Bintang adalah cucunya. Sosok cerdas, dan periang, juga penurut, adalah sesuatu yang ia idam-idamkan, yang tidak ada pada diri Terang, tetapi ia malah menyia-nyiakan itu semua.

Terang duduk tepat di hadapan kedua orangtuanya. Hanya saja, terhalang oleh kaca tembus pandang, serta tembok Kokoh di ruang kunjungan ini. Terang menatap keduanya dengan tenang, tidak ada emosi. Seakan emosinya telah habis beberapa waktu lalu. Kemudian ia memegang telepon yang menghubungkan kepada kedua orang tuanya.

"Terang nggak bisa bantuin kalian karena kalian memang salah. Kalian pantas mendapatkan hukuman ini."

"Ya... Papa dan mama memang orang tua yang gagal. Tolong maafkan kesalahan kami nak," ucap Asta dengan lirih.

"Maafkan mama Dewa, maafkan mama."

"Aku nggak bisa maafin kalian. Karena kalian, aku kehilangan anakku."

Ada jeda panjang sebelum Terang melanjutkan ucapannya. Ia menatap kedua orang tuanya yang nampak berpenampilan kacau ini.
Beda sekali dengan keseharian mereka yang nampak mewah dengan barang-barang branded.

"Aku tanya, apa tujuan kalian sebegitu membenci anakku?
Bahkan, kalian nggak bahagia, ketika tujuan kalian sudah tercapai.
Anak kecil yang sangat kalian benci kini telah meninggal.
Anak kecil yang kalian ambil ginjalnya dan kalian ancam sedemikian rupa, telah menghilang dari bumi ini.
Apa kalian bahagia? Enggak kan? Bahkan, kalian terlihat kacau, padahal tujuan kalian telah tercapai."

"Kalau tujuan kalian hanya ingin mendekam di penjara, kenapa kalian biarin Bintang memilih mati setelah menemui kalian?
Mama sama papa bisa kan, suruh aku buat laporin semua kejahatan kalian, tanpa harus ngorbanin anakku."

"Aku mau putus hubungan sama kalian."

"Tapi nak, perusahaan papa? Kamu harus jadi penerusnya. Ada banyak kepala keluarga yang mencari nafkah disana Dewa," ucap Asta. Ia menangis tersedu mendengar ucapan pedas Terang dan sialnya, semua itu adalah fakta.

"Tolong kali ini saja, Dewa. Kamu harapan satu-satunya mereka setelah papa membuat mereka kecewa nak. Papa sudah mundur dari perusahaan yang susah payah papa bangun.
Tolong nak."

Terang menghela napas panjang sebelum membalas ucapan papanya.
"Bahkan papa begitu peduli dengan keluarga orang lain. Tapi kenapa? Bintang bukan orang lain pa. Bintang itu cucu papa, dia keluarga papa, cucu kandung papa! Kenapa papa begitu teganya sama anak aku pa?"

"Maafkan papa nak, maafkan papa."

"Oke, aku bakal pimpin perusahaan papa. Tapi, kita tetap putus hubungan. Jangan nampakin wajah kalian di hadapan aku lagi." Setelahnya, Terang menaruh telepon itu ke tempat semula dan beranjak dari sana, tidak menoleh ke belakang sekalipun.
Luka yang di ciptakan orang tuanya begitu besar dan tidak akan bisa diobati dengan apapun itu.

Terang memasuki mobilnya. Mengemudi dan berhenti tepat di tepi jembatan tempat Asa mengakhiri hidupnya.
Lama, ia termenung, menatap kosong pada sungai keruh yang berarus kencang itu.
"Ayah ikhlas nak. Tapi, boleh ayah minta satu hal saja! Tolong, kembali pada ayah. Ayah ingin memeluk tubuhmu nak, untuk terakhir kalinya."

"Jadi, sungai! Bisakah kembalikan tubuh anakku. Kau sudah berhasil mengambil nyawanya. Bolehkan tubuhnya kau kembalikan padaku, sungai?"

Hampir setengah jam Terang berada di sana, sebelum kemudian kembali melakukan mobilnya untuk pulang.

End


°
°
°



Tapi bohong 🙏🙏🙏

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi bohong 🙏🙏🙏








 

SELAMAT MALAM MINGGU SOBAT DAME😭😭😭

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang