bagian 20

210 24 0
                                    





°°°


Pagi tadi, Terang dan Asa kembali menginjakkan kaki di pulau Dewata. Tempat dimana berbagai kenangan mereka ciptakan enam tahun lalu.

Terang ingin berlibur bersama Asa, hanya berdua. Mengenang tempat dimana ia membesarkan anaknya seorang diri walau ia dulu juga masih sangat muda.

Bayangkan saja, Terang mengantarkan Asa ke taman kanak-kanak dengan menggunakan seragam sma.

"Ayah tau tempat bibi?"

Bibi Nana, salah satu orang yang berjasa bagi hidup Terang. Perempuan tua yang menuntun Terang dari serpihan kaca yang di ciptakan keluarganya.
Bibi Nana bagaikan pahlawan bagi Terang yang saat itu masih awam dalam merawat bayi yang masih merah.

"Ayah sering berkunjung ke rumah bibi saat ayah kesini mau cari kamu."

Asa mengangguk mengerti, sepanjang perjalanan Asa hanya menurut dan mengikuti ayahnya saja.
Walaupun Bali banyak menciptakan sakit bagi Asa.

Ia berhasil meninggalkan pulau ini enam bulan lalu, dengan susah payah tentunya.
Banyak kejadian yang membuat Asa trauma. Di mana ia di pukul, di bentak, di acam, dan di kucilkan.

Asa menggenggam erat ujung baju ayah, kala kenangan itu kembali terlintas di benaknya.
Terang menyadarinya, raut Asa menjadi pucat dan ketakutan. Terang pun menghentikan jalannya. Menggenggam tangan anaknya.
"Tidak ada yang menyakiti Bintang sekarang. Ayah di sini, akan melindungi Bintang dari mereka."

Asa mendongak, menatap wajah teduh ayahnya. Kemudian tersenyum tipis dan mengangguk.
Terang pun menggandeng tangan anaknya, berjalan beriringan menuju rumah yang ada di sebuah desa ini.

"Om suastiastu bibi," ucap Terang kala melihat bibi Nana tengah menyirami tanaman di kebun samping rumah sederhana khas Bali tersebut.

Wanita tua itu nampak terkaget setelah melihat mantan majikannya bersama anak kecil yang tak asing bagi dirinya itu.

Bibi Nana menghampiri mereka.
"Terang, ini... Ini Bintang?" Bibi Nana langsung menghambur memeluk Asa. Lalu, Bibi mempersilahkan keduanya masuk.

"Syukurlah, kamu sudah ketemu nak. Bibi setiap hari selalu berusaha mencari kamu, Bintang. maafkan bibi dulu yang tidak bisa menjagamu."

Asa tersenyum tipis.
"Bibi tidak bersalah. Bibi tidak perlu meminta maaf."

Wanita tua itu meneteskan air matanya. Mengingat bagaimana ia terpisah dengan majikan kecilnya dulu.

"Bagaimana kehidupanmu nak? Pasti berat ya nak?"

"Lumayan sih bi, tapi... Asa bisa melewati semuanya. Asa berhasil bertemu ayah dan hidup bersama ayah lagi."

"Ya.. kamu memang anak hebat dan kuat."

"Bibi bagaimana keadaanya?" Tanya Terang.

"Bibi baik, bibi hidup dengan baik dengan uang yang setiap bulan kamu tranfer. Sebenarnya, itu tidak perlu karena bibi sudah tidak berkerja denganmu lagi nak."

"Walaupun bibi tidak berkerja lagi dengan kami, bibi tetaplah pahlawan kami. Jadi, Terang mohon supaya bibi mau menerima uang dari Terang karena itu bentuk terima kasih Terang untuk bibi."

"Baiklah bibi akan menggunakannya secara bijak. Terimakasih Terang."

"Tidak perlu  berterima kasih bi."

Setelah berbincang-bincang, Terang dan Asa memutuskan untuk undur diri.
Terang menjalankan mobil yang ia sewa, menuju pantai Kelan, untuk melihat senja dan sunset.



°
°
°


"Indah banget ya yah." Asa mendongak, menatap siluet ayah yang indah dengan senja sebagai bagroundnya.

"Bintang juga indah." Terang menunduk untuk melihat Asa yang terlihat malu-malu itu.

"Asa nggak pernah lihat pantai lagi setelah berpisah dengan ayah."

Terang menarik sang anak ke dalam pelukannya. Ia mengerti apa yang di bicarakan oleh Asa.
"Sekarang, Bintang bisa kapan saja lihat pantai bersama ayah. Ayah akan senang hati menemani Bintang."

"Terima kasih ayah. Asa cukup lihat ayah hidup dengan bahagia saja, itu suatu kebahagiaan bagi Asa. Tidak perlu lihat pantai lagi."

"Anak ayah so sweet banget sih." Terang mencubit pipi Asa gemas.

"Ayah tolong foto Asa dong, nanti kirim ke mama ya!"

Terang memotret Asa yang tersenyum manis itu.

"Bintang, jangan terlalu terpaku akan keindahan senja, karena itu hanya sementara nak. Senja itu bagai pengantar kegelapan malam dari terangnya dunia."

"Tapi ayah, karena senja, kita bisa menikmati indahnya semesta walau hanya sebentar. Senja dan malam punya keindahan sendiri yah. Senja punya warna jingga yang indah, malam punya Bintang dan bulan yang saling menyinari."

Terang kembali menatap atensi anaknya. Ia kembali mendekap tubuh kecil itu.
"Bintang bisa rangkai kalimat indah itu dari mana?"

"Dari rasa sakit yah. Tapi sekarang rasa sakitnya sudah nggak kerasa lagi. Soalnya ada semestanya Asa yaitu ayah yang mengobati."

Terang tertawa kecil. Terlalu gemas dengan kelimat-kalimag anaknya.

"Bintang juga obat bagi ayah."

Kemudian, keduanya kembali menikmati langit senja dan menjadi saksi Bagaskara yang tenggelam termakan gelapnya malam.



°
°
°



Kedua pasangan anak ayah ini masih tertidur kala, matahari sudah hampir berada di atas kepala.
Janji tadi malam yang katanya akan bangun pagi untuk melihat sunrise hanya tinggal kenangan.
Nyatanya, hari terakhirnya di Bali, mereka hanya bergelung di atas selimut hotel bintang lima ini.

Asa mengerjapkan matanya, ia kembali terjaga. Netra khas bangun tidur itu menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas itu. Seketika, matanya terbuka lebar.
Ia berlari menuju jendela yang tertutup gorden, menyibaknya dan membuka mulutnya lebar-lebar.

Kemudian, ia kembali ke ranjang. Menguncang pelan tubuh ayah yang masih bergelung dalam dunia mimpi itu.

Tak menunggu waktu lama. Pria dua puluh tujuh tahun itu kembali terjaga. Menatap kaget Asa yang terlihat panik itu.
"Ada apa nak?"

"Sudah siang ayah. Kita gagal lihat sunrise."

Terang menghela nafas pelan. Kemudian menarik Asa kembali ke dalam kasur. Terang kembali memejamkan matanya.

"Sudah terlanjur kesiangan kan, lebih baik tidur," gumamnya.

"Tapi ayah."

"Shut... Tadi ayah sudah bangun. Tapi lihat kamu kelelahan membuat ayah nggak tega buat bangunin kamu. Lebih baik Bintang tidur lagi. Ayah akan bangunkan setelah pesanan makanannya datang."

Asa memanyunkan bibirnya dan menurut. Terlampau kesal karena wacananya hanya tinggal wacana.

"Gih tidur, besok-besok kita lihat sunrisenya di Jakarta."

"Iya ayah."





°°°

Senja, ayah, dan Asa❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja, ayah, dan Asa❤️

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang