Sore itu, Asa berlari kecil menuju ke lapangan basket. Suara riuh penonton terdengar. Asa duduk di paling depan, membawa sebotol minuman dingin sembari mengamati permainan teman satu kamarnya.
Sementara yang di perhatikan, nampak menotice sosok mungil itu. Hanya melihatnya sebentar, ia kembali fokus kepada permainannya.
Baru beberapa menit Asa duduk, permainan sudah selesai dan di menangkan oleh tim basket teman sekamarnya, siapa lagi akalu bukan Juna.
Asa kemudian berjalan mendekati Juna yang sedang mengelap keringatnya dengan handuk.
"Selamat kak Juna atas kemenangannya," ucapnya sembari tersenyum lebar. Kemudian ia menyodorkan sebotol minuman dingin itu.
Juna yang malas meladeni pun, menerimanya dan melemparkannya pada teman setimnya.
"Thanks, kapten," seru teman setimnya.
"Padahal Asa beli untuk kak Juna." Asa menunduk sedih, sedetik kemudian senyuman tampak terbit di wajah manisnya.
"Asa bangga punya teman sekamarnya yang hebat kayak kakak. Pasti keluarga kakak juga bangga, punya anak yang hebat seperti kak Juna. Asa pergi dulu ya kak. Sekali lagi, selamat." Kemudian kaki kecilnya membawanya pergi dari lapangan basket. Juna hanya menatapnya dalam diam, kemudian tersenyum miris.
"Bahkan, orang tua gue, nggak peduli sama apa yang dilakukan anaknya, Asa," batinnya.
°°
"Bisa nggak kamu seperti kakak kamu? Contoh kakak kamu! Mama kecewa sama nilai kamu Zero. Pokoknya mama akan tambahin jam les kamu. Mengerti?"
"Tapi ma, jam tidur Zero cuma lima jam ma."
"Mama nggak peduli. Ini salah kamu karena nggak belajar dengan baik. Coba kalau nilaimu bagus, pasti mama nggak akan tambahin jam belajar kamu."
"Ma."
"Mau membangkang kamu?"
"Nggak ma. Maaf." Zero menunduk. Mau bagaimanapun ia membela diri, tidak akan di pedulikan oleh mama yang gila akan pangkat dan sanjungan.
"Mama akan kesini lagi setelah nilai ujianmu keluar." Kemudian wanita paruh baya itu berjalan meninggalkan sang anak dengan langkah angkuhnya.
Sementara Zero, ia menunduk sedih. Padahal, kejadian seperti ini sering kali terjadi padanya. Tetapi ia tidak terbiasa dengan semuanya. Zero berjalan kembali memasuki area asramanya. Tanpa di sadari, ada seseorang yang tidak sengaja mendengar perdebatan mereka.
°°
Terang memasuki apartemennya dengan raut datar, menutup pintu dengan kasar sehingga membuat Julian yang memang menginap di apartemen Terang, terkejut.
"Lo nggak jadi terbang?" Tanya Julian.
Terang hanya terdiam. Ia melepas jas dan dasinya.
"Ter?"
"Mama sama papa sudah bohongin gue."
"Maksud Lo?" Tanya Julian bingung.
"Tadi gue ketemu sama kak Hanne di bandara. Dan dia bilang, dia nggak pernah merawat Bintang. Dia pulang ke Indonesia juga mau cari Bintang."
Julian tercengang untuk beberapa saat. "Parah banget orang tua Lo Ter. Terus, Lo bakal bagaimana?"
"Cari dia lah. Cuma gue yang tau wajah dia seperti apa."
Di tengah pembicaraan yang serius itu, tiba-tiba lampu padam. Terang menatap sekeliling yang gelap sembari mencengkram dadanya yang terasa sesak. Terang takut gelap, ia pernah berada di situasi paling buruk saat gelap.
"Lo tenang Ter. Gue cari ponsel gue dulu." Julian kelabakan mencari ponselnya. Dan setelah ketemu, ia menyalakan senternya. Julian tau kalau bos sekaligus sahabatnya itu takut gelap, tetapi ia tidak tau apa yang menyebabkan Terang takut akan gelap.
"Lo gapapa kan?" Tanya Julian yang di balas anggukan oleh Terang.
"Gue penasaran, apa kak Hanne juga trauma gelap?" Gumam Terang.
"Kenapa Kak Hanne juga harus takut gelap?"
"Karena... Sejak saat penculikan itu, gue jadi takut sama kegelapan." Dan jawaban Terang berhasil membuat Julian terdiam.
°°
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Asa berada di balkon kamar asramanya. Selalu menengok kebawah, menunggu salah satu teman asramanya yang belum kembali. Padahal, jam malam asrama hanya sampai pukul sembilan malam.
"Kak Juna belum tidur?" Tanya Asa yang berniat mengambil bukunya dan tak sengaja melihat Juna yang sedang memainkan ponsel.
"Lo sendiri?"
Asa tersenyum. "Lagi nungguin kak Zero. Ini sudah malam banget loh."
"Telepon aja."
"Asa nggak punya ponsel kak, hehe."
Juna terkejut atas perkataan Asa. Hal yang lazim karena hampir 99% manusia di sekolah elit ini memiliki ponsel. Mungkin hanya Asa yang tidak punya.
"Yaudah nih pakai punya gue." Juna menyodorkan ponselnya pada Asa.
"Tapi Asa nggak bisa pakai."
"Astaga... Lo manusia jaman purba ya?" Juna mendengus kesal kemudia mulai mendial nomor Zero dan kembali menyerahkan ponselnya pada Asa.
"Kenapa?" Suara lelah di seberang sana terdengar.
"Kak Zero kapan pulang? Ini udah malam banget loh."
"Ini nomor Juna kan?"
"Iya, Asa pinjem ponsel kak Juna."
"Oh."
"Ih, kok nggak di jawab. Asa tanya loh, kak Zero kapan pulang?"
"Bentar lagi."
"Kak Zero sudah makan?"
"Cerewet banget sih Lo. Nggak biasanya Lo ramah sama gue. Ngelunjak ya Lo."
"Nggak. Asa cuma mau bilang, jangan lupa makan. Kak Zero sudah hebat kok. Asa tutup teleponnya ya kak. Hati-hati di jalan."
Setelahnya, Asa mengembalikan ponselnya pada Juna dan tak lupa mengucapkan terimakasih.
Asa kembali ke balkon, menikmati semilir angin dingin sembari melihat angkasa. Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu. Melihat bagaimana Zero yang selama ini di kenalnya sebagai seseorang yang angkuh juga sombong, ternyata mendapat tekanan yang hebat dari orang tuanya. Ya.. tak sengaja Asa mendengarkan perdebatan Zero dengan ibunya tadi.
Ternyata bukan hanya ia yang menderita di dunia ini. Asa hanya berharap, penderitaan orang-orang di sekelilingnya segera usai dan di gantikan dengan kebahagiaan.
°°
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hai Bintang, terimakasih sudah terlahir, terimakasih sudah bertahan."