bagian 17

240 29 0
                                        





°°°

Asa sedang menonton Juna latihan basket, bersama Zero yang fokus menggambar. Sembari menunggu ayah yang telat menjemputnya.

Mereka telah memutuskan untuk berteman. Toh, Juna adalah adik mama dan Zero adiknya dokter Jion.

"Kak Zero nggak les?" Tanya Asa, sesekali mengintip gambar Zero yang berusaha di sembunyikan itu.

"Jangan lihat, gue malu." Zero menutup buku sketsanya dengan kesal.
"Mama sudah nggak maksa buat gue les lagi," lanjutnya yang masih agak sebal denga Asa.

Asa mengangguk mengerti. Sepertinya, Tante sosialita itu mau mendengarkan petuah dari bocah ingusan seperti dirinya.

"Mama gue berubah semenjak Lo nolak buat jadi adiknya kak Jion."

"Bagus dong. Kak Zero jadi bisa melakukan apa yang kak Zero mau. Tapi jangan lupa, buat Tante Astrid bangga."

Zero melirik sinis Asa. Walaupun mereka sudah best friend, tapi entah kenapa, kebiasaan dulu masih tidak berubah.

"Dari dulu gue selalu buat mama gue bangga kali," ucap Zero.

"Ngomong-ngomong, Lo sudah mulai pengobatan?"

Asa yang tadinya fokus menonton Juna di bawah sana, kini beralih menatap Zero.

"Pengobatan?"

"Nggak usah di sembunyiin lagi. Gue sama Juna sudah tau kalau lo sakit."

Asa menghela nafas pelan.
"Nggak tau. Ayah nggak pernah ngobrolin ini sama Asa. Tapi, setiap Minggu Asa harus ke rumah sakit."

Zero mengangguk mengerti.
"Enak nggak jadi anaknya kak Terang?"
Pertanyaan macam apa itu Zero?????

"Ayah sayang banget sama Asa. Asa juga sayang ayah banget. Tapi Asa sedikit kesepian kalau ayah pulang malam."

"Kalau itu sih udah biasa buat anak orang kaya. Gue kalau di rumah juga begitu, cuma ada mbak aja di rumah. Makanya gue memilih buat tinggal di asrama."

"Lo mau ngehasut Asa buat tinggal di asrama lagi?" Datang-datang, Juna langsung memfitnahnya.

"Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan," ucap Zero sembari memutar bola matanya kesal.

"Jangan di dengerin omongan Zero, Sa."

Asa mengangguk. Walaupun Juna adalah om nya, ia tetap memanggil Juna dengan sebutan kakak.

"Ayah lo telat lagi ngejemputnya?"

"Iya. Katanya ada sedikit urusan."

Juna mengangguk mengerti. Kemudian ketiganya berjalan meninggalkan lapangan menuju asrama.

"Gue beli minum dulu deh." Zero memutar jalannya menuju kantin.

Juna dan Asa pun berjalan dalam hening. Sesekali Asa menatap Juna. Ia ingin mengucapkan sesuatu tapi ia takut.

"Ngomong aja dari pada di batin." Juna memang terlampau peka hingga membuat Asa tersedak ludahnya sendiri.

"Eum... Mama sudah ke Amerika?"

Pertanyaan Asa berhasil membuat Juna menghentikan jalannya. Kemudian ia menatap Asa dengan tatapan sendunya.
"Maafin kakak gue ya Sa."

"Kak Juna nggak perlu minta maaf. Asa berusaha mengerti kok sama keputusan mama. Asa nggak marah kok, hanya sedikit kecewa, tapi nanti pasti sembuh sendiri." Asa tersenyum tipis kemudian ia menggenggam tanga Juna.

"Kalau kak Juna kesepian, datang saja ke rumah Asa. kak Juna dan kak Zero boleh bermain ke rumah Asa. Nanti kita main PS bareng."

Juna tersenyum simpul, lalu mengusak surai Asa gemas.
"Perhatian banget sih keponakan gue," ucapnya yang membuat Asa tersenyum manis.

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang