bagian 9

210 30 6
                                    

°°°

Asa telah selesai mandi. Ia menuju ke meja belajarnya, mengambil papper bag titipan kakaknya Juna tadi. Dilihatnya Juna yang masih asik dengan ponselnya. Lalu, ia mendekatinya.

"Kak Juna, ini titipan dari kakaknya kak Juna," ucapnya sembari menyerahkan papper bag itu. Juna meliriknya sekilas lalu mengambil papper bag itu.

"Thanks."

"Sama-sama kak. Jangan marahan lagi ya kak, kasihan kakaknya kak Juna."

"Nggak usah ikut campur," ucap Juna, lalu membelakangi Asa. Asa pun kembali ke meja belajarnya untuk mengerjakan tugas yang menumpuk itu.

Baru mengerjakan beberapa soal saja, Asa sudah hilang fokus. Ia memikirkan kakaknya Juna tadi. Entah kenapa, perasaan asing itu membuatnya nyaman. Ah, kenapa ia jadi memikirkan saudara temannya? Tidak mungkin ia menyukai sosok yang lebih pantas ia panggil Tante itu kan?
Lebih baik, ia kembali fokus mengerjakan tugas yang akan ia kumpulkan besok.

°°

Asa itu terkenal dengan sifat murah senyumnya. Ia tidak pernah menangis di hadapan teman-temannya. Ia selalu tersenyum dan Asa tidak pernah marah walaupun ia tau ia hanya di manfaatkan oleh teman-teman sekelasnya. Asa juga tidak pernah marah, kala beberapa teman sekelasnya mengejeknya lemah karena tidak pernah ikut olahraga. Bahkan, Asa selalu memberi senyuman kepada orang-orang yang mengejeknya miskin dan manusia beasiswa.

Dalam pikirannya, Asa tidak pantas marah, Asa tidak pantas menangis. Ia harus selalu bersyukur dalam hal apapun karena ia adalah bentuk dari kesalahan. Asa itu tidak diinginkan dan pembawa sial. Begitulah pikiran yang di tanamkan oleh kakek dan neneknya dulu.

Hari ini, Asa ada janji dengan dokter Jion. Katanya, dokter baik itu akan mengajaknya makan dan membahas hal-hal penting mengenai dirinya.

Asa telah rapi dengan pakaian seadanya. Jujur saja, Asa hanya mempunyai beberapa pakaian dan di antaranya banyak yang tidak layak pakai.
Asa sedang menunggu dokter Jion di halte. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jadi, ia hanya punya waktu dua jam agar tidak terkunci di luar asrama.

Tidak lama kemudian, mobil Jion berhenti tepat di depan halte. Jion memberinya senyuman dan menyuruhnya untuk duduk di sebelah kemudi.

"Dokter mau bawa Asa kemana?"

"Panggil Kakak dong!"

"Om mau bawa Asa kemana?" Asa sengaja usil. Melihat raut wajah kesal Jion membuatnya tertawa.

"Maaf dok, Asa becanda. Jadi, kakak dokter mau bawa Asa kemana?"

Jion mengusak rambut Asa gemas.
"Kita makan di restoran. Kakak mau perkenalkan Bintang dengan mama kakak."

Mendengar ucapan Jion, berhasil membuat Asa bingung.
"Maksud dokter?"

"Kakak mau angkat kamu sebagai adik. Jadi, kakak mau memperkenalkan kamu dengan mama kakak."

"Tapi dok."

"Bintang, kakak mau jadi wali kamu. Selama ini, kakak hidup sendiri. Orang tua kakak pisah dan kakak memutuskan untuk tidak ikut mereka. Mau kan, nama kamu tercantum di bawah nama kakak di kartu keluarga."

Mata Asa berkaca-kaca. Kenapa orang di sampingnya ini baik sekali. Asa sangat bersyukur di pertemukan oleh malaikat berkedok dokter itu.

"Asa nggak tau dok. Rasanya Asa nggak pantas menerima semua ini."

"Bintang lebih dari pantas. Kakak yang seharusnya nggak pantas punya adek sehebat Bintang." Jion mengeluh surai lebat Asa dengan lembut.

"Terimakasih kakak dokter."

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang