bagian 18

205 25 0
                                    


°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Menjadi Asa itu tidak mudah.  Sejak kecil ia hanya tinggal bersama ayah dan bibi. Anak SMA yang mengantarkannya ke taman kanak-kanak itu adalah ayahnya.
Saat itu, Asa tidak mengerti kenapa teman-temannya menanyakan hal itu. Ia hanya menjawab seadanya.

Lalu, saat ia berada di kelas tiga sekolah dasar, beberapa hari setelah menemani ayah wisuda, ayah jatuh sakit.
Tubuh ayah di penuhi alat yang kata suster adalah alat yang membantu ayahnya untuk tetap hidup. Tapi, ayah tidak mau bangun.
Sekeras apa ia membangunkan ayah, ayah masih tetap setia dengan tidurnya.

Kemudian, sepasang paruh baya yang mengaku sebagai orang tuanya ayah itu datang, memarahinya, menampar, dan memukulnya.

Katanya, Asa adalah anak yang menyebabkan ayah sakit. Anak yang menghancurkan hidup ayahnya.
Asa menangis di pelukan bibi yang setia menemaninya menunggu ayah.

Kemudian bibi pergi meninggalkannya. Kata bibi, nenek pecat bibi. Asa tidak mengerti, pecat itu apa?
Yang ia mengerti adalah, orang yang menyayangi dirinya setelah ayah, juga ikut pergi meninggalkannya.

Nenek bilang, Asa bisa berguna bagi hidup ayah dengan memberikan satu ginjalnya buat ayah.
Asa bahagia sekali karena bisa membantu ayah untuk sembuh.

Tapi, setelah operasi besar itu, nenek dan kakek tidak mengantarkannya menemui ayah. Melainkan, mengantarkannya ke panti asuhan.
Awalnya, Asa senang karena banyak teman yang bermain bersamanya.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Asa merasa kesepian. Teman-teman yang bermain dengannya kini menjauhinya. Ibu panti sering menyuruhnya untuk bebersih. Tak jarang jika ada pekerjaan yang tidak beres, ibu panti berubah seperti nenek, memukul dan menamparnya.

Lalu, saat kelulusan SMP, Asa berhasil keluar dari neraka berkedok panti asuhan itu. Asa berhasil kabur bermodalkan uang yang ia kumpulkan hasil bekerja sehabis sekolah, pun dengan beasiswa yang diam-diam ia ikuti.

Asa pergi tanpa meninggalkan jejak apapun di panti itu.

Lalu, untuk bertahan di kota Jakarta yang keras ini, Asa berusaha untuk mencari kerja. Ternyata di luar sana, banyak orang yang peduli dengannya. Asa di terima sebagai pelayan di warung mi ayam yang lumayan besar ini. Pemilik warung juga sangat baik hati.

Asa tidak bodoh untuk mencari dimana ayahnya berada. Sesekali di waktu yang sulit untuknya, ia ingin berlari memeluk ayah, tapi ancaman kakek waktu itu berhasil membuatnya teramat takut.
Yang hanya bisa ia lakukan adalah, memendam kerinduan itu seorang diri, tanpa harus membaginya kepada siapapun.

"Kalau kamu berani menemui anakku, saya nggak akan segan-segan buat bunuh kamu."
Jujur, Asa takut mati. Lebih baik, ia melihat ayah dari jauh dari pada ia harus mati.

Akan tetapi, ketika ia diagnosa gagal ginjal dan akan mati, ia jadi semakin berani untuk menemui ayah.
Ia tidak akan menyesal untuk hidup bahagia bersama ayah sebelum mati.

Dan Asa menikmati saat-saat ini. Ayah adalah semestanya. Sosok yang ia kagumi dan akan ia lindungi sampai ajal menjemputnya, bocah yang belum genap berusia lima belas tahun itu berjanji untuk berpisah dengan ayah karena ajal.

°
°
°

Ini sudah pukul sepuluh malam, tapi ayah tak kunjung untuk tidur bersamanya. Kebiasaan baru untuknya, bahwa ia tidak bisa tidur sebelum di peluk oleh ayah. Maka dari itu, Asa kembali menyalakan lampu dan berjalan keluar untuk mencari ayah.

Dilihatnya ayah yang tengah menghisap rokok bersama om Julian. Asa mengucek matanya dan berjalan pelan menuju ayahnya.

"Ayah."

Kedua pria dewasa itu terkaget dan dengan cepat mematikan rokoknya.

"Kok belum tidur?" Terang mengusap lembut dahi anaknya.

"Asa ngantuk tapi nggak bisa tidur."

"Balik lagi ke kamar ya. Ayah sama om Julian bau rokok. Nanti ayah nyusul." Kemudian pria itu membisikan sesuatu kepada anaknya.

"Om Julian lagi galau karena di tinggal mantannya nikah." Asa terkejut, kemudian mengangguk. Ia menatap Julian iba.

"Yang sabar ya om. Pasti nanti om mendapat pengganti yang lebih cantik," ucapnya sebelum kembali menuju kamarnya.

"Anjir, Lo buka kartu gue?"

"Nggak usah lebai. Gue mau nyusul anak gue dulu. Jangan lupa bersihin semuanya! Jangan sampai ruang tamu gue bau rokok."

Julian mendengus kesal menatap Terang yang kembali menyebalkan itu.

°
°
°

Kehidupan Asa kembali normal setelah tinggal bersama semestanya.
Ia mempunyai teman selayaknya manusia lain.
Punya ayah dan mama. Sesekali, mama menghubunginya dan Asa tidak merasa keberatan.
Kemudian, ia memiliki om Julian yang setiap saat bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak.

Asa bebas mengekspresikan perasaannya. Dulu, ia takut sekali menangis, Asa takut tertawa. Ia merasa tidak pantas memiliki semua emosi itu.

Tapi kini, Asa akan merengek kala ayah tidak mau menuruti permintaannya. Ia akan menangis saat melakukan pengobatan. Ia akan tertawa saat om Julian membuat lelucon. Lalu, ia akan bahagia saat ayah memeluknya dan memberikan kata-kata yang membuatnya tersentuh.

Asa juga, memiliki dokter Jion, sosok pahlawannya.

Tetapi, Asa masih sering menyembunyikan rasa sakitnya. Asa hanya akan berobat saat jadwalnya berobat.

Ia hanya, tidak mau terlalu merepotkan dan membebani ayah. Ia hanya ingin memberikan kebahagiaan kepada ayah. Walaupun ia tau, sakitnya tidak akan bisa sembuh tanpa ginjal baru. Dan lebih baik ia mati dari pada menerima ginjal orang lain.

°
°
°

"Hari ini, kita nginep di rumah lo ya." Zero merangkul pundak Asa dengan gampangnya. Karena Asa pendek jauh lebih pendek dari dirinya.

"Heum, kita nonton apa main PS?" Tanya Asa, menoleh ke sisi kanan dan kiri karena ia di apit oleh dua sosok tiang.

"Nonton aja deh. Gue bosen ps terus," sahut Juna.

Lalu, ketiga pemuda itu berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana sudah ada Julian yang bertugas menjemput tiga bocah ABG itu.

°°°

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang