Mary menghela nafas, setelah dia tau permasalahannya. Wanita tua itu mengumpulkan ketiga cucunya di ruang keluarga. Sementara Nevan sudah berangkat bekerja meskipun ini hari minggu.
Mary tidak bisa tak mengizinkan putranya bekerja di hari minggu. Karena dia tau, putranya tengah kecewa. Tak ada alasan untuk ia tak memperbolehkan.
"Oma sudah tau masalah yang terjadi disini," ujar Mary.
Henry mengepalkan tangannya. Dia menunduk karena bersalah. Dia tak berniat melakukan itu, Henry tak sengaja. Dia di selimuti emosi. Henry tidak tau jika kelakuannya itu akan membuat ayahnya bahkan enggan untuk menatapnya.
Jika itu dulu, Henry sudah biasa dan tak peduli. Tetapi, baru-baru ini ... Henry tak suka saat ayahnya mengabaikannya kembali. Kakaknya memang memberitahu jika dirinya di maafkan oleh sang ayah. Namun rasanya sangat berbeda. Ada sesuatu yang janggal menurut Henry.
Sesuatu yang membawa ayahnya lebih menjauh darinya.
"Henry ... Meski ayahmu terlihat brengsek menurut kamu, jangan sampai kamu meludahi nya. Apalagi itu ayah kamu nak," tutur Mary berkata lembut. Dia tak ingin cucunya semakin merasa bersalah.
"Henry salah oma. Tapi Henry tanpa sadar melakukannya. Henry hanya takut ayah menyakiti Darren," ungkap Henry. Dia menjelaskan sedikit, setidaknya ... Supaya dia tak terlalu bersalah disini.
"Memang ayahmu pernah menyakiti adikmu? Ayah kalian pernah bermain tangan dengan kamu, atau saudara kamu yang lain?" tanya Mary memberi pengertian, dia mencoba menjelaskan secara halus jika yang dilakukan Henry salah.
Henry menggeleng. "Ayah tidak pernah."
"Lalu kenapa kamu sampai memukul dan meludahi ayahmu nak?"
"Henry kalut oma. Melihat wajah pucat Darren, Henry kalut." tak terasa, air nata Henry menetes. "Henry takut ayah menyakiti Darren dengan kata-katanya." itu tak sepenuhnya salah. Jika bukan karena fisik, Henry takut ayahnya menyakiti sang adik dengan kata kasar.
Mary menghela nafas. "Tapi, tidak seharusnya kamu melakukan itu. Kamu bisa dengar dulu penjelasan adik kamu." Henry diam. Dia tak bisa menampik atau bahkan membalas. Omanya memang benar, tak seharusnya dia meludahi orangtuanya.
"Sudah lah Oma. Abang tidak salah. Ini hanya ketidak sengajaan. Ayah juga udah maafin abang kok," sahut Darren. Dia merasa kasihan pada abangnya yang di pojokkan.
Memang abangnya salah, tetapi tidak sepenuhnya salah. Henry hanya terlalu khawatir padanya. Abangnya itu takut ayahnya menyakiti dirinya. Lagi pula, ayahnya memang jarang peduli dan bertingkah cuek. Jadi, itu memungkinkan abangnya berprasangka buruk.
Meski itu bukan lah penyebab kenapa dia menangis hingga demam.
"Kamu yakin Darren?" Mary bertanya dengan nada tegas. Sedikit rasa kesal hinggap di hatinya.
Darren mengangguk mantap. "Ayah juga tak masalah, sepertinya?" Katanya ragu.
"Kamu tidak memikirkan perasaan ayah kamu saat di rendahkan seperti itu?" ucap Mary sedikit sinis.
"Kenapa ayah harus memikirkan nya Oma? Ayah selalu saja mengabaikan kita. Tak salah jika kita merasa was was kan?" jawab Darren enteng. Dia mengangkat bahu.
"Semenjak ibu pergi, ayah tak pernah peduli pada kami. Dia mengabaikan kami, tak pernah mau tau bagaimana keadaan kami. Ayah juga salah, dia juga penyebab kenapa abang bersikap demikian. Jadi oma jangan hanya memojokkan abang saja." Darren menjelaskan sesuatu yang menurutnya fakta. Dia memang senang ayahnya berubah dan sedikit memperhatikan mereka, tetapi ... Tetap saja dia tak terima ketika hanya abangnya yang di marahi.
"Darren benar." Kinsley yang diam sedari tadi pun menimpali.
"Jika kalian tahu! Betapa ayah yang kalian katakan brengsek dan tak peduli itu menjaga dan melindungi kalian selama ini!" Mary tanpa sadar berucap. Wanita itu berdiri dan pergi. Sebagai ibu Stev, tentu saja dia sakit hati.
Putranya memang terlihat tak peduli. Tetapi, ketiga cucunya itu tak tau. Bagaimana sang putra begitu menjaga putra-putranya.
Darren mengernyit. "Apa maksud oma? Menjaga kita? Kapan? Menemui kita saja jarang, bagaimana ayah menjaga?" sanggahnya. Dia menatap kepergian omanya bingung.
.
"Tidak usah Chris."
"..."
"Stev baik-baik saja."
"..."
"Jadi kau sudah tau?"
"..."
"Itu percuma, anakmu itu sangat keras kepala."
"..."
"Sudahlah. Lebih baik kamu selesaikan pekerjaan kamu. Jangan kesini, aku akan menyelesaikan nya."
"..."
Mary pun menutup sambungan sepihak. Suaminya baru saja menghubungi. Dugaannya pun benar jika sang suami sudah mengetahui sebelum dia mengetahui duluan.
Salahkan Chris yang begitu menyayangi Stev hingga selalu menaruh mata-mata di sekita putranya itu.
Mary memijat pelipisnya. Ia bingung dengan masalah baru yang menimpa anak serta cucunya. Memikirkan betapa keras kepala sang putra, Mengingatkan dia, bagaimana keras kepala sang suami.
Memang, buah jauh tak jatuh dari pohonnya. Maksudnya, buah jauh tak dari pohonnya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi ayah tiga anak. ✔ TERBIT
Teen Fiction( Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbit ) Nevanio Dirga yang kehilangan putranya pada usia 2 bulan. Di berikan kesempatan memasuki raga seorang duda beranak tiga di sebuah Novel. Bukankah itu sebuah keberuntungan? Simak kisahnya.. Btw, j...